Seorang wanita yang hilang secara misterius, meninggalkan jejak berupa dokumen-dokumen penting dan sebuah jurnal yang penuh rahasia, Kinanti merasa terikat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya wanita itu.
Namun, pencariannya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap halaman jurnal yang ia baca membawanya lebih dalam ke dalam labirin sejarah yang kelam, sampai hubungan antara keluarganya dengan keluarga Reza yang tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Di mana setiap jawaban justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Setiap langkah membawanya lebih dekat pada rahasia yang telah lama terpendam, dan di mana masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aaraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Stasiun Kereta
"Ini dia," kata Pak Darmawan, mengeluarkan sebuah peta usang dari laci kerjanya. "Denah stasiun timur tahun 1945."
Kinanti yang duduk di seberang meja ayahnya, langsung mencondongkan tubuh dengan antusias. Matanya berbinar melihat kertas yang sudah menguning itu. Di sampingnya, Reza dan ayahnya, Pak Hendro, ikut memperhatikan dengan seksama.
"Dulu stasiun ini memang jadi tempat transit senjata dan dokumen penting," Pak Hendro menjelaskan. "Ayahku, maksudku Kolonel Pratama sering bercerita tentang bagaimana mereka menggunakan sistem kereta api untuk mengelabui Belanda."
"Dan Nek Kartika adalah salah satu kurir utama mereka," sambung Kinanti bersemangat. "Iya kan, Yah?"
Pak Darmawan mengangguk, tersenyum melihat antusiasme putrinya yang tidak pernah surut. "Ya, berdasarkan cerita Eyang Karso, Kartika sangat berani. Dia bisa menyelundupkan dokumen-dokumen penting tanpa pernah ketahuan."
"Tapi kenapa ia tiba-tiba menghilang?" tanya Reza pelan.
Ruangan itu hening sejenak. Pak Hendro menghela napas. "Itulah yang harus kalian cari tahu. Tapi ingat, kalian harus sangat berhati-hati. Stasiun itu sudah tidak terurus selama puluhan tahun."
"Tenang saja, Om," Kinanti tersenyum lebar. "Kami sudah mengajak Arya, Nadia, dan Dimas. Kami akan saling menjaga."
Kedua ayah itu bertukar pandang, tersenyum melihat tekad anak-anak mereka. Awalnya mereka memang tidak ingin Kinanti dan Reza terlibat dalam pencarian ini, tapi melihat kegigihan mereka, akhirnya mereka memutuskan untuk membantu.
"Oh iya," Pak Darmawan teringat sesuatu. "Kalian sudah memberitahu Kolonel Pratama tentang rencana ini?"
Reza menggeleng. "Kakek masih di rumah peristirahatan veteran dengan teman-temannya. Tapi aku sudah mengirim pesan, mungkin nanti sore akan dibalas."
Pagi berikutnya, lima remaja itu berkumpul di depan stasiun timur yang terbengkalai, yaitu Stasiun Kalasan. Bangunan bergaya kolonial itu masih berdiri tegak, meski sebagian besar catnya sudah mengelupas dan tanaman rambat menutupi hampir seluruh dindingnya.
"Serius kita mau masuk ke sana?" Dimas menatap ragu bangunan di hadapannya.
"Tentu saja!" Kinanti menjawab riang.
"Kita sudah sejauh ini, tidak mungkin berhenti sekarang."
Arya tersenyum melihat semangat Kinanti yang tak pernah padam. "Aku sudah mempelajari denah yang diberikan Pak Darmawan. Menurut artikel-artikel koran kemarin, kita harus mencari pintu ketiga di gudang belakang."
"Tapi hati-hati," Nadia mengingatkan. "Strukturnya mungkin tidak sekuat dulu."
Mereka bergerak mengendap-endap ke bagian belakang stasiun. Reza memimpin di depan, sesekali menoleh ke arah Kinanti yang berjalan di belakangnya. Gadis itu tampak tenang dan fokus, sangat berbeda dengan kebanyakan orang yang akan gugup dalam situasi seperti ini.
"Lihat," bisik Kinanti tiba-tiba, menunjuk ke sebuah pintu yang setengah tertutup tanaman rambat. "Itu pintu ketiganya!"
Mereka mendekati pintu itu dengan hati-hati. Arya mengeluarkan sarung tangan dan mulai membersihkan tanaman rambat yang menutupi pegangan pintu.
"Terkunci," gumam Arya setelah mencoba membuka pintu itu.
"Tunggu," kata Kinanti, mengeluarkan sesuatu dari tasnya. "Salah satu kunci yang kita temukan... bentuknya mirip dengan lubang kunci ini."
Dengan tangan gemetar karena excited, Kinanti memasukkan kunci itu. Dan ternyata pas! Pintu terbuka dengan suara berderit yang memecah kesunyian pagi.
"Kinanti, kau jenius!" puji Reza spontan.
Arya berdeham pelan, sementara Nadia dan Dimas bertukar senyum penuh arti.
Ruangan di balik pintu itu ternyata adalah gudang yang cukup luas. Berbagai peralatan kereta api berkarat berserakan di mana-mana. Debu tebal menutupi lantai, membuat jejak kaki mereka terlihat jelas.
"Menurut artikel koran," Nadia membuka catatannya, "harusnya ada semacam pintu rahasia di sini."
Mereka mulai memeriksa setiap sudut ruangan. Kinanti, dengan semangatnya yang tak kenal lelah, bahkan memeriksa di balik tumpukan peti-peti tua.
"Hei, lihat ini!" seru Kinanti tiba-tiba. Ia menunjuk ke sebuah simbol kecil yang terukir di lantai, hampir tak terlihat di bawah debu tebal.
Arya berlutut untuk memeriksa simbol itu. "Ini... ini simbol yang sama dengan yang ada di album foto kalian!"
Reza dan Kinanti berpandangan. Mereka ingat album foto lama yang mereka temukan, yang berisi foto-foto kakek buyut mereka yang selalu bersama dalam berbagai acara.
"Coba geser lantai di sekitar simbol ini," usul Dimas.
Mereka bergotong-royong mendorong lantai kayu itu. Setelah beberapa saat, terdengar suara 'klik' pelan, dan sebagian lantai bergeser, menampakkan tangga yang menuju ke bawah.
"Ruang bawah tanah!" seru mereka bersamaan.
"Aku akan turun duluan," kata Reza, menyalakan senternya.
"Tidak," Kinanti maju dengan senyum percaya diri. "Biar aku yang duluan. Nek Kartika pasti akan melakukan hal yang sama."
Sebelum ada yang bisa mencegah, Kinanti sudah mulai menuruni tangga. Reza dan Arya bergegas mengikuti, sama-sama khawatir sekaligus kagum dengan keberanian gadis itu.
Ruang bawah tanah itu ternyata berupa lorong panjang dengan beberapa ruangan di kanan-kiri. Di dinding-dindingnya, masih tersisa bekas-bekas peta dan pengumuman yang sudah usang.
"Ini pasti tempat mereka menyimpan senjata dan dokumen," kata Arya sembari mengamati bekas-bekas rak di dinding.
Mereka memeriksa setiap ruangan dengan hati-hati. Di salah satu ruangan, Kinanti menemukan sebuah meja kerja tua dengan laci yang masih terkunci.
"Kunci yang satunya lagi!" Kinanti mengeluarkan kunci terakhir yang mereka miliki. "Mungkin cocok dengan laci ini."
Benar saja, kunci itu pas. Di dalam laci, mereka menemukan sebuah amplop usang dan... sebuah foto.
"Astaga," bisik Kinanti, tangannya gemetar memegang foto itu. "Ini foto Nek Kartika dengan Kolonel Pratama, tepat di ruangan ini!"
Dalam foto itu, Kartika dan Kolonel Pratama muda terlihat sedang berdiri di depan meja yang sama, tersenyum ke kamera. Di belakang mereka, terlihat peta besar yang ditempel di dinding.
"Lihat tanggalnya," Reza menunjuk tulisan di belakang foto. "Ini diambil dua hari sebelum Nek Kartika menghilang."
Kinanti membuka amplop dengan hati-hati. Di dalamnya ada selembar surat yang masih terlipat rapi.
"Bacalah," kata Arya lembut, menyentuh pundak Kinanti untuk memberi dukungan.
Dengan suara bergetar, Kinanti mulai membaca surat itu.
"Untuk siapapun yang menemukan surat ini,
Jika kau membaca ini, berarti kau telah berhasil mengikuti semua petunjuk yang kami tinggalkan. Aku, Kartika, menulis ini untuk menjelaskan segalanya. Apa yang terjadi padaku bukanlah kesalahan siapapun, terutama bukan kesalahan Pratama. Kami menemukan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang harus dilindungi dengan cara apapun. Maafkan aku, Ayah, karena harus pergi tanpa pamit. Dan maafkan aku, Pratama, karena membuatmu menanggung tuduhan yang tidak benar. Suatu hari, ketika waktunya tepat, kebenaran akan terungkap. Sampai saat itu tiba, jagalah kotak peninggalanku baik-baik.
Salam,
Kartika"
Ruangan itu hening setelah Kinanti selesai membaca. Air mata mengalir di pipi gadis itu, tapi senyumnya memancarkan kelegaan.
"Jadi benar," kata Reza pelan. "Mereka berdua bekerja sama melindungi sesuatu."
"Dan sekarang," Kinanti mengusap air matanya, kembali bersemangat seperti biasa, "kita tinggal selangkah lagi untuk mengungkap apa yang mereka lindungi!"
Nadia dan Dimas mulai memotret semua temuan mereka, sementara Arya mencatat detail-detail penting. Reza tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Kinanti yang kini sibuk memeriksa sudut-sudut lain ruangan, semangatnya sama sekali tidak surut meski telah menemukan fakta mengejutkan tentang neneknya.
"Kita harus memberitahu Kolonel Pratama," kata Kinanti akhirnya. "Dia harus tahu bahwa namanya akhirnya bisa dibersihkan."
Reza mengangguk. "Dan kita juga semakin dekat untuk membuka kotak peninggalan Nek Kartika."
Mereka keluar dari stasiun dengan hati yang lebih ringan, meski masih ada misteri yang belum terpecahkan. Kinanti berjalan di antara Reza dan Arya, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Ia tahu, apapun yang akan mereka temukan nanti, kebenaran akhirnya akan terungkap.
Di mobil dalam perjalanan pulang, Kinanti membuka kembali album foto lama yang ia bawa. Foto-foto kakek buyutnya dan Kolonel Pratama yang selalu bersama kini memiliki makna yang lebih dalam. Mereka bukan sekadar sahabat, tapi dua orang yang berjuang bersama melindungi sesuatu yang sangat penting bagi bangsa ini.
"Besok kita temui Kolonel Pratama," kata Kinanti mantap. "Sudah saatnya semua kebenaran terungkap."
Yang lain mengangguk setuju. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menyinari mobil yang membawa lima remaja dengan satu tekad: mengungkap misteri yang telah tersimpan selama hampir delapan dekade.
Dalam perjalanan pulang, Nadia membuka buku catatan biologinya yang sudah penuh dengan highlight warna-warni. "Guys, jangan lupa besok ada try out untuk persiapan ujian sekolah."
"Ah!" Kinanti menepuk dahinya. "Aku hampir lupa! Bab sistem koordinasi kan?"
"Dan respirasi," tambah Dimas dari kursi kemudi. "Ditambah soal-soal HOTS yang bikin pusing."
Reza menghela napas. "Tetap saja rasanya waktu tidak cukup untuk semua ini."
"Kalian beruntung masih SMA," Arya terkekeh. "Aku harus menyelesaikan paper tentang sejarah perjuangan kemerdekaan di wilayah ini. Deadline-nya minggu depan."
"Tapi bukankah penelusuran kita ini bisa jadi bahan yang bagus untuk paper-mu?" tanya Kinanti antusias. "Maksudku, kita menemukan fakta-fakta baru yang belum terdokumentasi!"
Arya tersenyum lebar. "Tepat sekali. Prof. Rakhmad, dosen pembimbingku, sangat tertarik ketika aku menceritakan tentang sistem kode di koran-koran lama itu. Beliau bilang ini bisa jadi temuan yang signifikan untuk historiografi lokal."
"Wah, sepertinya kita harus membagi waktu dengan lebih baik," kata Nadia. "Besok setelah try out, kita langsung ke rumah peristirahatan veteran untuk menemui Kolonel Pratama?"
Dimas mengangguk. "Setuju. Lagipula try out selesai jam 10. Masih ada banyak waktu."
"Aku bisa menjemput kalian di sekolah," tawar Arya. "Kebetulan besok tidak ada jadwal matakuliah."
Kinanti tersenyum melihat bagaimana teman-temannya bisa mengatur waktu antara tanggung jawab akademis dan misi pencarian mereka. Ia sendiri sudah membuat jadwal belajar yang ketat, memastikan pencarian ini tidak mengganggu persiapannya menghadapi ujian sekolah.
"Oh iya," Reza teringat sesuatu. "Minggu depan ada gladi bersih untuk ujian sekolah. Kita harus pastikan sudah menemukan petunjuk berikutnya sebelum itu."
"Tenang saja," Kinanti mengeluarkan notes kecil dari tasnya. "Aku sudah membuat timeline. Kalau besok kita berhasil bertemu Kolonel Pratama dan mendapatkan informasi tambahan, kita masih punya waktu di akhir pekan untuk penelusuran selanjutnya."
"Kau memang selalu terorganisir, Kinanti," puji Nadia. "Pantas saja nilai-nilaimu tetap bagus meski sibuk dengan semua ini."
Reza dan Arya tersenyum kagum ke arah Kinanti.
Mobil Dimas melaju menembus sore yang mulai gelap. Di dalamnya, lima anak muda dengan berbagai tanggung jawab akademis tetap bertekad untuk mengungkap misteri yang telah tersimpan selama puluhan tahun. Meski ujian sekolah semakin dekat bagi para siswa kelas tiga, dan deadline tugas mengejar Arya si mahasiswa, semangat mereka tidak pernah surut untuk menemukan kebenaran tentang Kartika dan Kolonel Pratama.
"Sampai bertemu besok setelah try out," kata Kinanti saat mereka tiba di rumahnya. "Jangan lupa belajar untuk besok!"
"Siap, Bos!" sahut yang lain kompak, membuat Kinanti tertawa.
Malam itu, di kamar masing-masing, mereka membagi waktu antara belajar untuk try out dan memikirkan petunjuk-petunjuk baru yang mereka temukan. Kinanti tersenyum menatap foto Kartika di meja belajarnya, berjanji dalam hati akan membanggakan neneknya tidak hanya dengan mengungkap misteri ini, tapi juga dengan prestasi akademisnya.