Permintaan Rumi untuk mutasi ke daerah pelosok demi menepi karena ditinggal menikah dengan kekasihnya, dikabulkan. Mendapatkan tugas harus menemani Kaisar Sadhana salah satu petinggi dari kantor pusat. Mereka mendatangi tempat yang hanya boleh dikunjungi oleh pasangan halal, membuat Kaisar dan Rumi akhirnya harus menikah.
Kaisar yang ternyata manja, rewel dan selalu meributkan ini itu, sedangkan Rumi hatinya masih trauma untuk merajut tali percintaan. Bagaimana perjalanan kisah mereka.
“Drama di hidupmu sudah lewat, aku pastikan kamu akan dapatkan cinta luar biasa hanya dariku.” – Kaisar Sadhana.
Spin off : CINTA DIBAYAR TUNAI
===
follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CLB ~ Perasaan
Mela dan Ardi sudah kembali ke apartemen mereka. Tidak ingin berujung perdebatan apalagi emosi. Ardi sudah lelah hampir seharian mengikuti rapat dengan pimpinan pusat, setelah membersihkan diri ia memilih untuk tidur. Belum lelap sepenuhnya, ia mendengar Mela mengoceh mengeluh mengeluh pegal dan sakit badan. Padahal ulahnya sendiri muter-muter tidak jelas di mall.
“Ardi, kok udah tidur sih. Kamu dengar aku nggak?”
“Hm.”
“Pokoknya minggu ini kita temui orang tuaku lagi dan pastikan kapan pesta resepsi pernikahan kita.”
Lagi-lagi Ardi hanya membalas dengan dehaman. Mela menggerutu lalu keluar dari kamar merasakan lapar lagi.
“Ck, udah tidur begitu mana mau dia belikan aku makanan apalagi masak. Harusnya Ibu aku ajak aja tinggal di sini biar gampang mau makan apapun.”
Teringat dengan ibunya Mela menghubungi wanita itu. Tentu saja yang dibahas lagi-lagi masalah resepsi.
“Taulah Bu, orangtua Ardi masih sibuk. Aku minta minggu ini temui mereka lagi.”
“Jangan sampai nggak. Ibu malu Mel, kemana-mana bilang kamu menikah dengan orang kaya. Apalagi pernikahan kamu mendadak dan langsung dibawa pergi ke Jakarta, tetangga pada curiga.”
“Nanti kita buktikan kalau aku beruntung menikah dengan Ardi. Bu, Rumi apa kabarnya sih, aku hubungi nggak pernah direspon.”
“Bapakmu bilang Rumi pernah kirim pesan pindah kerja ke daerah jawa barat dan agak susah jaringan di sana. Biar aja dia pindah yang jauh. Kalau dekat dengan kalian nanti dia rebut Ardi lagi,” tutur Ibunya Mela di ujung sana.
“Enak aja rebut Ardi. Tapi bu, aku lihat perempuan wajahnya mirip dengan Rumi.”
“Di Jakarta?”
“Iya Bu, tapi kayaknya nggak mungkin. Lagian mau ngapain dia di sini.”
“Pokoknya kamu hati-hati, jangan sampai Ardi direbut lagi sama Rumi atau perempuan lain. Buktikan kalau kamu pantas untuk Ardi.”
Komunikasi dengan Ibunya sudah berakhir, tapi pernyataan kalau ia harus hati-hati jangan sampai Ardi direbut perempuan lain menjadi pikiran Mela. Tentu saja kekhawatiran itu ada karena ia pun mendapatkan Ardi dengan merebut dari sepupunya.
Jabatan bagus di perusahaan bonafit dan penampilan Ardi lumayan bahkan Mela pun tergoda untuk menghalalkan berbagai cara mendapatkannya dan sekarang mereka akan punya anak.
Rekan kerja Ardi harus tahu kalau ia adalah istrinya, pikir Mela. Terbersit rencana dibenaknya.
***
Rumi memandang banyak paper bag yang ada di walk in closet berisi belanjaan miliknya. Sedangkan deret lemari dan laci yang ada di sana sudah penuh milik Kaisar.
“Ini mau disimpan di mana,” keluh Rumi lalu memandang koper dan tas miliknya yang belum dibongkar.
“Kenapa melamun?” tanya Kaisar yang baru saja selesai mandi dan hanya handuk melilit pinggang dan bertel4njang dada. Rumi langsung menunduk merasa canggung jika terus menatap Kaisar.
“Ini mau disimpan di mana?”
“Oh iya, aku lupa bilang. Besok pagi lemari baru diantar, sementara kamu pinggirkan saja dulu. Lemari yang itu masih ada space bisa digunakan.” Kaisar membuka salah satu lemari mengambil kaos, celana pendek dan boxer. Ia tersenyum karena Rumi salah tingkah melihat tubuhnya.
“Besok pagi aku ke kantor, sore aku jemput kita ke rumah Om Jo,” tutur Kaisar lalu memakai kaosnya.
“I-ya, pak pakai bajunya jangan di sini atau saya saja yang keluar.” Rumi menutupi pandangannya dengan tangan lalu gegas meninggalkan ruangan itu.
“Padahal aku mau tunjukan pedang ajaib biar, biar kenalan. Mana tahu udah kenal terus pengen,” gumam Kaisar lalu terkekeh.
Kecanggungan berlanjut saat akan tidur. Kaisar bersandar pada headboard fokus dengan tablet, Rumi ragu-ragu untuk ikut naik ke ranjang. Memandang Kaisar malah terbayang tubuh pria itu hanya mengenakan handuk, gegas menggeleng pelan mengusir bayangan tersebut.
“Mau sampai kapan berdiri di situ?”
“Ehm ….”
“Sini,” titah Kaisar menepuk ranjang di sisinya setelah meletakkan tablet di atas nakas. “Ranjangnya besar kok, waktu di kontrakan aja muat masa di sini nggak muat. Nggak usah ngarep minta tidur di kamar lain,” seru Kaisar lagi.
Memang ada dua kamar di apart tersebut hanya saja satu kamar lagi digunakan Kaisar untuk bekerja. Bukan ranjang yang ada di sana, melainkan meja kerja dan perangkat lainnya.
Dengan pelan Rumi ikut naik ke ranjang dalam pandangan Kaisar yang mengulum senyum. Sudah beberapa malam dia tidak bisa merasai bibir Rumi, berharap malam ini bisa kembali beraksi.
“Rum,” panggil Kaisar membuat Rumi menoleh. “Kenapa selama ini kamu sembunyikan wajahmu?”
“Saya hanya ingin fokus bekerja sambil mengobati hati saya, pak.”
“Apa mantan kamu yang brengs3k itu meninggalkan luka yang begitu dalam?”
Untuk memulai hubungan memang harus saling mengenal, Kaisar mulai tertarik dengan Rumi. Awal perkenalan mereka memang aneh apalagi pernikahan terpaksa yang dilakukan, justru perasaan Kaisar dimulai karena wajah Rumi ternyata menggemaskan di balik topengnya.
“Tidak juga. Kalaupun ada pria yang datang, paling tidak dia bisa terima saya dengan kondisi tersebut.”
“Dan pria itu … aku,” sahut Kaisar membuat Rumi bergeming. “Aku sempat tertipu topengmu itu.” Perlahan Kaisar mendekatkan wajahnya. “Ternyata kamu … cantik.”
Rumi mash diam saat wajah mereka hanya berjarak beberapa centi.
“Kamu percaya kalau aku bilang mulai menyukaimu?”
“Bapak suka dengan saya?”
Rasanya tidak percaya, yang Rumi yakini kalau Kaisar ingin mereka mencoba menjalani pernikahan itu. Tidak menduga kalau Kaisar ada perasaan dengan dirinya, kalau dilihat mereka bagaikan bumi dan langit.
“Hm.”
“Bapak … yakin?”
“Hm.”
Dengan wajah begitu dekat dan mata saling memandang, Rumi bagai terjerat pesona Kaisar. Rasanya ingin berteriak karena bangga, bagaimana tidak Kaisar pasti banyak penggemarnya. Di cabang saja, para perempuan sengaja ingin menarik perhatiannya, nyatanya Kaisar cuek dan sekarang Rumi bisa sedekat itu dengan Kaisar.
Tujuan Kaisar tentu saja bibir Rumi. Sepertinya dia tidak akan merasakannya saat Rumi dalam keadaan sadar. Bibir mereka sudah menempel dan Rumi diam saja. Kaisar memagut lebih dalam, tangannya sudah berada di tengkuk Rumi.
Saat ingin membaringkan gadis itu, mereka dikejutkan dengan getaran ponsel di atas nakas membuat Rumi mengurai pagutan mereka.
“Pak ….”
'Shittttt."
\=\=\=\=\=\=
Cie cie Kaisar
Kaisar : au ahhhh ...