"Berawal dari DM Instagram, lalu berujung sakit hati."
Khansa Aria Medina tidak pernah menyangka DM yang ia kirimkan untuk Alister Edward Ardonio berujung pada permasalahan yang rumit. Dengan munculnya pihak ketiga, Acha-panggilan Khansa-menyadari kenyataan bahwa ia bukanlah siapa-siapa bagi Al.
Acha hanyalah orang asing yang kebetulan berkenalan secara virtual.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Answer
Setelah turun dari mobil, Acha menarik lalu mengembuskan napas beberapa kali. Bagi Acha, hari ini adalah hari penentuan antara hidup dan matinya. Ah, terdengar lebay tetapi jika Al menolaknya, berarti Acha akan mati. Tentunya bukan mati yang sebenarnya, kata 'mati' menunjukkan arti tersirat.
Acha merapikan rambut dan pakaiannya sebelum menekan bel. Di tangannya sendiri terdapat sebuah kantong berisi lauk ayam yang dimasak dengan bumbu kecap. Sengaja Acha memasak lauk tersebut agar semakin memberikan kesan baik pada Al. Barangkali saja Al semakin menyukainya karena ia pandai memasak. Acha terkikik memikirkannya.
"Eh, ini mantunya Bunda ya?"
Acha terlonjak kaget lalu menoleh ke belakang. Ada Marlina yang baru saja pulang dari pasar. Terlihat dari beberapa kantong plastik berisi sayur-mayur di genggamannya.
"Tanteee!" pekik Acha senang. Ia menempelkan pipinya dengan Marlina sesuai ala-ala ibu-ibu ketika menyapa. "Wah, belanja apa aja nih, Tan?"
Marlina terkekeh. "Cuman sayur aja! Eh, kamu mau ketemu Al ya?"
"Sama ketemu Tante cantik nih," tambah Acha sembari mengedipkan sebelah matanya—membuat Marlina tidak kuasa menahan rasa geli.
Lalu, Marlina segera mengajak Acha memasuki rumahnya. Mereka berjalan menuju dapur untuk menaruh makanan yang Marlina beli dan Acha bawa. Karena hari masih pagi, Al masih berada di dalam kamar—tentu saja tertidur pulas.
"Kamu bisa bangunin Al?" tanya Marlina tiba-tiba.
Acha langsung gelagapan. Apa ia tidak salah dengar? "Eh? B-bisa kok."
Marlina tersenyum mendengarnya. Ia melakukan ini bukan agar memancing anaknya melakukan dosa, tetapi justru ia percaya Acha bukan gadis yang memanfaatkan kesempatan. Selain itu, ini bisa menjadi ajang latihan Acha membanguni Al ketika mereka menikah nanti.
Setelah Marlina menunjukkan arah kamar Al, Acha mulai berjalan pelan. Tidak disangka Marlina memberikan lampu hijau padanya. Bukankah harapan Acha pada Al semakin besar?
Tok! Tok! Tok! Acha mengetuk pintu kamar Al sembari memanggil nama laki-laki itu. Setelah Al menyuruhnya masuk, barulah derit pintu perlahan terdengar. Acha bisa melihat Al yang masih berada di kasur dengan selimut menutupi bagian leher hingga kakinya.
"Alister Edward Ardonio, wake up!" Acha menggoyang kaki Al pelan dari balik selimut.
"Huh?" Al membuka kelopak matanya yang terasa berat. Sepertinya ia mendengar suara Acha di tempat yang tidak seharusnya ia datang. "Oh, damn, why are you here?"
Langsung saja, Al mengambil posisi duduk meski rasa kantuk masih menyerang. Matanya saja masih ia pejamkan.
"Nyokap lo nyuruh gue buat bangunin lo. Tadi, gue juga udah ketuk pintu kok." Acha duduk di ujung kasur sambil tersenyum. "Eh, itu nggak penting. Give me the answer, now!"
Al mengusap-usap wajahnya. Tidak disangka Acha seniat itu meminta jawaban padanya di jam tujuh pagi. Masalahnya, jawaban Al bertolak belakang dengan harapan Acha. Jika begini, Al tentu sulit untuk menjawabnya. "Well, lo beneran butuh jawaban gue sekarang?"
Acha menatap manik mata Al cukup lama. Lalu, terdengar helaan napas berat. "Lo belum suka gue, ya?"
Al menggaruk-garuk tengkuknya. "I ... don't know, gue cuman belum siap pacaran."
"Terus, perhatian-perhatian dari lo kemarin, maksudnya apa?" Belum sempat Al menjawab, Acha kembali berbicara. "Selama ini, lo cuek sama gue. Akhir-akhir ini, lo jadi perhatian. Nggak salah dong, kalau gue berharap. Dan, jangan bilang, lo cuman iseng baik sama gue?"
"Nggak, gue nggak iseng," jawab Al cepat. "Gue baik karena lo baik. Nggak mungkin kebaikan lo selama ini, gue bales dengan kejahatan kan?"
"J-jadi lo cuman nganggep gue temen?" Acha tertawa sumbang. "Jahat banget lo."
"Bukan temen juga sih. Gimana ya ...?" Al tampak kesulitan menjelaskan. Bagaimanapun, sebisa mungkin ia tidak menggunakan kalimat yang menyakiti hati Acha. Meski sebenarnya Acha sedang menahan tangis. "G-gue sayang sama lo kok! Tapi, gue nggak tahu rasa sayang ini buat friend atau lover."
Sepertinya sudah cukup bagi Acha untuk mendengar jawaban Al. Semakin banyak mendengar penjelasan Al, semakin susah menahan tangis. Lebih baik ia segera memakai tasnya lagi lalu beranjak pergi.
"Cha, sorry karena gue ngecewain lo," ucap Al tulus dan berhasil menghentikan Acha di dekat pintu. "Tapi, kita masih bisa temenan kan?"
Acha berbalik badan lalu menatap Al dengan tajam. Tidak bisakah laki-laki itu peka sekali saja? "Lo jangan egois dong. Gue ini lagi nyimpan perasaan sama lo, mana mungkin gue bisa bebas ngobrol sama lo kalau cuman sebatas teman?"
"Sorry, Cha." Lagi-lagi hanya kalimat minta maaf yang mampu Al ucapkan.
Acha segera meninggalkan kamar Al tanpa ucapan perpisahan atau pamitan. Gadis itu berusaha mencari Marlina di dapur untuk berpamitan.
"Acha pulang dulu ya, Tan," kata Acha dengan suara sedikit serak.
Marlina menatap Acha dengan heran. Baru sepuluh menit yang lalu gadis itu terlihat ceria, tetapi kini berubah murung. "Eh, sarapan dulu yuk? Tante udah—"
"Kapan-kapan aja, Tante," potong Acha sembari membalikkan badan.
Marlina merasa ada yang tidak beres dengan Acha. Ia langsung mengejar Acha yang sudah berada di ruang tamu. Dipegangnya lengan itu agar Acha menghentikan langkahnya. "Emangnya udah dijemput? Kamu pulang naik apa?"
Pertahanan Acha runtuh. Air mata yang ia tahan sedari tadi menetes pelan membasahi pipi. Kini, Acha menangis sesenggukan. Ia ingin menghentikan tangisannya, tetapi tak kuasa. "A-Acha, mau ... pu-pulang aja, Tante." Tenggorokan Acha terasa sakit karena sedang menahan air mata.
"Kok nangis? Kamu diapain sama Al?" Marlina semakin panik. Ia mengambil tisu dari meja ruang tamu lalu membasuh pipi Acha seperti anaknya sendiri. "Udah ya, jangan nangis dulu. Coba cerita sama Tante. Tadi kamu diapain sama Al?"
Air mata sudah berhenti menetes, tetapi Acha masih sesenggukan. Acha tidak berani menatap Marlina. "Al baik-baik aja kok. Tolong biarin Acha pulang, Tan. Acha nggak suka Al lihat Acha nangis."
Karena merasa iba, Marlina mencoba memanggil taksi online lalu membiarkan gadis itu pulang.
***
Al mengacak-acak rambutnya frustrasi. Sudah selesai hubungannya dengan Acha sekarang. Sepertinya kehidupannya akan kembali semula sebelum ia mengenal Acha. Posisi Al benar-benar serba salah. Ia tidak mungkin menjadikan Acha sebagai pacarnya jika ia belum selesai berdamai dengan masa lalu. Sementara saat Al menolaknya, Acha akan menjauhinya sesuai perjanjian itu. Karena Al tidak mungkin membiarkan Acha terus mendekatinya tanpa kepastian.
Al mendongak ketika seorang wanita paruh baya langsung memasuki kamarnya tanpa mengetuk. Matanya yang tajam membuat Al meneguk ludah sekaligus bertanya-tanya.
"Acha udah pula—"
Marlina melipat tangan di dada. "Bisa jelasin ke Bunda, kenapa Acha menangis habis keluar dari kamar kamu?"
"Acha nangis?!" tanya Al yang langsung menghampiri pintu kamarnya. Benarkah sikapnya se-keterlaluan itu hingga membuat Acha yang ceria menjadi menangis? Al tidak suka mengetahuinya. Ia benci membuat wanita menangis.
"Mau ngapain? Dia udah pulang. Kalau mau ngejar, harusnya dari tadi kan?" Sorot mata Marlina menunjukkan kekecewaan. Bisa-bisanya anak laki-lakinya membuat seorang perempuan menangis. "Sekarang cerita! Nggak ada yang boleh ditutupin dari Bunda!"
Mau tak mau, Al membuka mulut dan menceritakan kejadian dari awal hingga akhir. Mulai dari Acha yang pertama kali mengirim pesan padanya hingga acara Dufan kemarin. Selama bercerita, Al berusaha menghilangkan rasa bersalah yang menjalar di hatinya.
"Al harus gimana, Bunda?" tanya Al frustrasi.
"Kok tanya Bunda? Yang paling mengerti kamu adalah dirimu sendiri. Coba tanya dirimu sendiri. Kalau kamu masih gagal move on, kamu harus gimana? Ya, jangan berhubungan dengan orang baru dulu. Jangan sampai kamu jadiin Acha sebagai pelarian," jelas Marlina panjang lebar.
"Terus Acha gimana?"
Marlina menghela napas. Kisah percintaan Al jauh lebih rumit dari kisahnya dulu. "Maaf banget, Acha harus terima resikonya. Nggak semua yang dia sukai harus suka balik sama dia. Karena hidup nggak selalu berputar tentang dia."
Al termenung mendengarnya. Sepertinya memang Al harus mencari waktu agar bisa bertemu Acha dan menjelaskan semuanya. Ia juga sadar karena ia salah sudah memberi perhatian yang sepertinya berubah menjadi harapan bagi Acha.