Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 Cemburu
Daniel berjalan menuju parkiran kampus, niatnya hanya ingin mengambil beberapa tugas yang ia simpan di dalam jok motor. Namun, langkahnya terhenti saat melihat mobil hitam elegan berhenti di parkiran kampus. Dari sana, seseorang turun. Daniel mengerutkan kening, matanya membelalak saat melihat siapa yang keluar dari dalam mobil itu.
"A... Aqila?"
Daniel terpaku melihat gadis itu turun dari mobil dengan wajah yang terlihat santai. Namun, yang lebih membuatnya terkejut adalah sosok pria yang berjalan di belakangnya.
Pak Vano.
Daniel merasakan jantungnya berdebar cepat. Matanya membulat, napasnya tercekat.
"Kenapa dia bisa sama Pak Vano...?"
Aqila yang hendak berjalan ke depan melihat Daniel yang menatapnya dengan kaget penuh kecurigaan. Ia langsung panik, jantungnya berdegup kencang. Dengan cepat, ia berpura-pura seolah-olah tidak ada yang terjadi.
"M-makasih banyak ya, Pak. Bapak sudah mau memberi saya tumpangan," ucap Aqila tergesa-gesa, melirik Alvano memberi kode agar pria itu ikut bersandiwara.
Alvano sempat terkejut, tapi dengan cepat menangkap maksud Aqila. Dengan ekspresi tegas, ia berkata,
"Iya, sama-sama. Lagi pula, mahasiswa di kampus ini harus disiplin. Masuk kelas tepat waktu adalah hal yang penting."
"Iya, Pak! Kalau begitu saya permisi ke kelas dulu." Aqila membungkuk sopan lalu melangkah cepat pergi sebelum Daniel semakin curiga.
Alvano hanya mengangguk, lalu berjalan menuju ruang dosen.
Sementara itu, Daniel yang mendengar percakapan mereka menghela napas lega.
"Oh... Jadi cuma sekadar tumpangan. Aku kira mereka punya hubungan lebih dari itu," gumamnya, berusaha mengabaikan kecurigaan yang sempat muncul.
Ia pun melanjutkan langkahnya ke motor untuk mengambil tugasnya.
Di sisi lain, Aqila berjalan cepat menuju gedung perkuliahan sambil mengusap dadanya yang masih berdebar.
"Hufttt... Hampir aja ketahuan!" batinnya lega.
Begitu hampir sampai di kelas, matanya menangkap sosok Amel yang tengah berdiri di dekat pagar pembatas, menatap kosong ke arah halaman kampus.
"Amel?" panggil Aqila, menghampiri sahabatnya.
Amel menoleh dan tersenyum kecil. "Eh, Qila..."
"Kamu kenapa melamun?" tanya Aqila penasaran.
Amel menggeleng ringan. "Nggak apa-apa kok, Qila. Aku cuma bosan aja di kelas."
Aqila terkekeh. "Yaudah, yuk masuk. Sebentar lagi dosen kita pasti datang."
Amel mengangguk, tapi sebelum mereka masuk ke kelas, langkah mereka terhenti.
Alvano berjalan mendekat. Aqila menatap pria itu, tapi perhatiannya langsung teralihkan pada seseorang yang berjalan di belakangnya—Areta.
Areta melangkah dengan angkuh, membawa tumpukan kertas di tangannya. Caranya melirik Alvano dan tersenyum manis menunjukkan kalau ia sedang berusaha menarik perhatian pria itu.
Aqila merasakan sesuatu dalam hatinya—cemburu. Tapi ia memilih untuk diam.
Saat Areta tepat berada di dekat Aqila, gadis itu berhenti sejenak dan berbisik pelan di telinganya,
"Jangan liatin Pak Vano segitunya. Ingat, kamu bukan siapa-siapa. Lagi pula, nggak mungkin dia melirik balik gadis seperti kamu."
Areta tersenyum sinis sebelum melangkah pergi, meninggalkan Aqila yang membeku di tempat.
Amel yang menyaksikan semua itu langsung mendengus kesal. "Idih... Caper banget tuh kakak tiri kamu! Dia belum tahu aja kalau Pak Alvano itu punya kamu seutuhnya!"
Aqila buru-buru menutup mulut Amel. "Ssst! Jangan keras-keras, nanti ada yang dengar!" bisiknya.
Amel hanya tertawa kecil. "Biarin aja. Lagian, kamu nggak cemburu, Qila?" godanya.
Aqila menghela napas. "Nggak kok... Yang jelas, yuk kita masuk kelas."
Namun dalam hati, Aqila merasa tidak tenang. Ia tidak suka melihat Areta dekat dengan Alvano, tapi di sisi lain ia juga tidak bisa berbuat apa-apa di depan umum.
Tanpa ia sadari, sejak tadi Alvano meliriknya sekilas dengan senyum penuh arti.
🌸🌸🌸🌸🌸
Setibanya di kelas, Alvano meletakkan barang-barangnya di meja dengan tenang. Areta, yang sejak tadi mengikutinya, masih berdiri di sampingnya dengan ekspresi penuh percaya diri.
"Areta, sekarang bagikan hasil ulangan kalian kepada teman-temanmu," perintah Alvano dengan nada tegas.
Areta mengangguk dan mulai membagikan lembaran ulangan ke seluruh mahasiswa. Saat ia sibuk melakukannya, Alvano kembali berbicara, kali ini suaranya terdengar lebih tegas.
"Kalian bisa melihat sendiri hasil nilai yang kalian dapatkan dari ulangan kemarin. Dari sini bisa terlihat mana mahasiswa yang benar-benar bersungguh-sungguh dan mana yang tidak."
Mendengar ucapan itu, para mahasiswa saling berbisik, penasaran dengan nilai yang mereka dapatkan. Beberapa terlihat lega, sementara yang lain tampak tegang.
Areta kembali ke bangkunya dan dengan perlahan melihat lembar ujiannya. Namun, begitu melihat angka yang tertera di kertas, matanya langsung membulat.
"Apa?! Nilai 40?!" suaranya hampir melengking.
Sontak beberapa mahasiswa menoleh ke arahnya, sementara beberapa lainnya menahan tawa.
Sementara itu, Alvano mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. "Baik, kalian semua sudah melihat hasilnya. Apakah ada yang tidak puas dengan nilai yang saya berikan?" tanyanya.
Suasana kelas hening. Mayoritas mahasiswa tampaknya puas dengan hasil yang mereka dapatkan. Tapi berbeda dengan Areta, gadis itu dengan cepat mengangkat tangannya.
"Pak, kok nilai saya rendah banget?! Perasaan saya udah jawab dengan benar semuanya!" protes Areta dengan wajah tak terima.
Alvano menatap gadis itu dengan ekspresi datar. Dengan tenang, ia mengambil lembar ujiannya dan membacanya sekilas.
"Coba kamu perhatikan lagi jawaban kamu, Areta," ujarnya. "Jawaban kamu penuh dengan kalimat bertele-tele tanpa substansi yang jelas. Dari sini saya bisa lihat kalau kamu tidak benar-benar memahami materi. Kamu lebih sibuk dengan hal lain dibanding memperhatikan penjelasan saya di kelas."
Seisi kelas mulai berbisik-bisik, beberapa mahasiswa menahan senyum puas.
"Ta... Tapi, Pak! Masa cuma saya aja yang nilainya jelek? Saya nggak mau ngulang, Pak!" ucap Areta dengan nada memohon.
Alvano berpikir sejenak, lalu sebuah ide terlintas di kepalanya. Ia menyilangkan tangan di dada dan menatap Areta dengan tajam.
"Baiklah, saya bisa memberikan kamu kesempatan untuk memperbaiki nilaimu. Tapi syaratnya, kamu harus mengerjakan tugas tambahan."
Areta langsung mengangguk cepat. "Apa tugasnya, Pak?"
Alvano tersenyum tipis. "Saya ingin kamu membuat esai sepanjang 30 halaman tentang strategi pemasaran di era digital, lengkap dengan studi kasus dari minimal tiga perusahaan besar. Selain itu, kamu juga harus membuat presentasi PowerPoint berisi 50 slide untuk menjelaskan penelitianmu."
Seisi kelas langsung menahan napas. Beberapa mahasiswa bahkan ada yang refleks menutup mulut mereka karena terkejut.
Areta membelalak. "Ha... Ha?! Pak! Itu terlalu banyak!" protesnya dengan nada nyaris putus asa.
Alvano tetap tenang. "Itu kalau kamu ingin saya naikkan nilaimu. Kalau tidak, terima saja nilai 40 itu dan jangan protes."
Areta terdiam, rahangnya mengeras. Dengan enggan, ia akhirnya mengangguk, meskipun wajahnya penuh dengan kekesalan.
Sementara itu, tanpa ada yang menyadari, Alvano menyembunyikan senyum kecil di wajahnya.
"Anggap saja ini sebagai balasan karena kamu sudah berani menjahati istriku waktu itu," batinnya, merasa puas.
🌸🌸🌸🌸🌸
Jam pertama perkuliahan baru saja selesai. Aqila duduk bersama Amel di taman kampus, menikmati waktu istirahat mereka. Namun, tatapan Aqila tiba-tiba terpaku pada sosok yang berjalan tak jauh dari tempatnya.
Areta.
Gadis itu melangkah di samping Alvano, terlihat berbicara dengan suaminya. Namun, dari cara Areta mendekat, Aqila bisa melihat jelas bahwa kakak tirinya itu sengaja mencari perhatian Alvano. Senyum kecil yang ia tunjukkan, cara dia menyentuh rambutnya, serta ekspresi wajahnya, semuanya terlihat seperti upaya menarik simpati.
Aqila menggigit bibir, menahan gejolak perasaan yang tiba-tiba muncul.
"Qila, lihat deh. Kok kakak kamu itu nempel banget sama Pak Vano?" bisik Amel, menyikut pelan lengan Aqila. "Dia kelihatan banget cari perhatian!"
Aqila menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Udahlah, Mel. Mungkin dia memang ada urusan sama Mas Vano. Bisa jadi tugas atau sesuatu yang berkaitan sama perkuliahan." Meski berkata begitu, nada suaranya terdengar sedikit cemberut.
Amel menghela napas. "Kalau aku jadi kamu, udah kutarik aja kakak kamu itu biar nggak nempel terus sama suami sendiri."
Aqila hanya tersenyum tipis, lalu beranjak. "Aku mau ke toilet bentar, kamu tunggu di sini ya."
"Oke, jangan lama-lama," ujar Amel.
Aqila melangkah pergi dengan perasaan gelisah. Kepalanya terasa penuh, dan tanpa sadar langkahnya semakin cepat. Namun, karena terlalu tenggelam dalam pikirannya, ia tidak menyadari ada seseorang di depannya.
Bruk!
"Aduh!"
Seseorang tersentak kaget, dan tiba-tiba saja secangkir kopi panas tumpah, mengenai baju orang itu.
Aqila langsung tersadar dan terbelalak. "Ha?! Ma-maaf! Aku nggak sengaja!" Panik, ia buru-buru mengeluarkan tisu dan mulai mengelap noda kopi di baju orang itu.
"Tidak apa-apa."
Suara itu...
Aqila membeku. Perlahan, ia mendongak dan matanya membulat.
Daniel.
Jantungnya seakan berhenti sesaat. Kenapa harus dia?
Mantan pacarnya itu menatapnya dengan ekspresi tak terduga. Ada keterkejutan di matanya, namun juga sesuatu yang lain... sesuatu yang sulit dijelaskan.
Aqila sebenarnya ingin segera pergi, tapi ini kesalahannya. Mau tidak mau, ia tetap harus meminta maaf.
"Maafin aku, Daniel," ujarnya dingin, tetap berusaha mengelap noda itu. Namun, saat tangannya masih sibuk membersihkan, tiba-tiba Daniel menangkap pergelangan tangannya.
Aqila tersentak. "Kamu apa-apaan?" Ia mencoba menarik tangannya, tapi genggaman Daniel terlalu kuat.
Daniel menghela napas, lalu menatap Aqila dalam-dalam. "Aku... Aku mau minta maaf."
Aqila menatapnya penuh tanda tanya. "Hah?"
"Aku tau aku salah. Aku udah nyakitin kamu, Qila."
Aqila tetap diam, jantungnya berdetak lebih cepat.
"Aku bodoh, aku ngelepasin orang yang paling tulus sama aku." Suara Daniel terdengar serak. "Aku nyesel."
Aqila terdiam. Sesaat, ada sesuatu yang terasa di hatinya. Tapi... tidak.
"Daniel..." suaranya terdengar dingin.
Daniel menatapnya dengan penuh penyesalan.
"Aku nggak butuh maaf dari kamu," lanjut Aqila pelan. "Kamu nyesel? Bagus. Tapi aku udah selesai sama kamu."
Daniel terdiam.
"Aku nggak mau lihat ke belakang lagi," ujar Aqila dengan tegas. "Aku nggak butuh maaf kamu. Aku udah baik-baik aja sekarang, tanpa kamu."
Daniel mengepalkan tangannya, wajahnya penuh penyesalan.
"Aqila..."
"AQILA! DANIEL!"
Suara lantang dan penuh amarah itu menghentikan segalanya.
Aqila dan Daniel sama-sama menoleh.
Areta.
Wajah gadis itu merah padam. Dengan langkah cepat, ia mendekati mereka dan tanpa aba-aba menjambak rambut Aqila.
"Berani-beraninya kamu menggoda pacar aku, dasar perempuan nggak tahu diri!" bentaknya penuh emosi.
"Akh! Lepasin, Kak! Ini nggak seperti yang Kakak lihat!" Aqila berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman Areta semakin kuat.
"Dasar pelacur!"
Tubuh Aqila menegang. Kata-kata itu menusuk hatinya. Matanya membulat, lalu dengan kasar ia menepis tangan Areta dari rambutnya.
"Apa Kakak bilang?" Suaranya bergetar, bukan karena takut, melainkan karena amarah. "Aku yang nggak tahu diri? Aku yang pelacur?"
Areta terdiam.
"Harusnya Kakak ngaca! Kakak yang rebut Daniel dari aku, sekarang malah nuduh aku yang ganggu pacar orang? Konyol!" bentak Aqila, napasnya memburu.
Daniel menegang di tempatnya.
Areta semakin marah, tangannya terangkat hendak menampar Aqila, namun dengan cepat Daniel menahan pergelangan tangannya.
"Daniel?!" Areta membelalak tak percaya.
Daniel menatapnya serius. "Aku cuma nggak mau kamu bikin masalah di depan banyak orang."
Areta melirik sekeliling. Mahasiswa lain mulai berbisik-bisik, menatap mereka dengan tatapan penuh ketidaksukaan.
Aqila mengusap rambutnya yang berantakan, menatap Areta sekilas sebelum berbalik dan melangkah pergi.
"Aku nggak mau cari masalah sama Kakak! Jadi tolong jangan ganggu aku lagi!" katanya tanpa menoleh.
Areta menggertakkan giginya. "Aqila...!"
Ia hendak menyusul, tapi Daniel kembali menahannya.
Areta menatapnya tajam. "Kamu... sekarang belain dia?! Kamu lebih peduli sama dia dibanding aku?"
Daniel hanya diam.
Areta melotot padanya. "Kamu sama aja kayak dia! Sama-sama nyebelin!" bentaknya sebelum pergi dengan penuh kemarahan.
Daniel hanya bisa menghela napas, ia menatap Areta yang pergi meninggalkannya sekilas, lalu beralih menatap kepergian Aqila yang semakin menjauh. Ada sesuatu dalam hatinya yang terasa kosong... dan menyesal.
🌸🌸🌸🌸🌸
Alvano berjalan menuju parkiran, bersiap menunggu Aqila pulang kuliah. Namun, saat menunggu, ponselnya bergetar, menandakan ada satu notifikasi masuk. Ia segera mengambil ponselnya dan melihat layar.
Ternyata pesan dari Aqila.
"Mas, kamu pulang sendiri aja. Aku udah sampai rumah."
Alvano mengerutkan kening. Tumben Aqila pulang sendiri tanpa menunggu dia? Kenapa?
Ia langsung masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan meninggalkan halaman kampus. Rasa gelisah menyelinap di hatinya, membuatnya menekan pedal gas lebih dalam. Namun, saat dalam perjalanan pulang, matanya menangkap sosok yang tak asing di tepi jalan.
Bianka.
Wanita itu tampak sedang memasukkan barang belanjaannya ke dalam mobil.
Darah Alvano mendidih seketika.
Tangan yang menggenggam setir menegang, rahangnya mengatup kuat. Tanpa berpikir panjang, ia menepi, memberhentikan mobilnya tepat di depan Bianka, lalu turun dengan langkah penuh ketegasan.
Bianka yang baru saja hendak masuk ke mobilnya tersentak kaget. Mata lebarnya memancarkan ketakutan saat melihat Alvano yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam dan dingin.
"Va... Vano?" suaranya gemetar, matanya bergerak gelisah.
Alvano menyilangkan tangan di dada, menatapnya dengan penuh kehinaan.
"Hmm… Ternyata masih berani ya kamu keluar, Bianka?" suaranya rendah namun penuh dengan sindiran tajam. "Hidup tenang, belanja seperti ini, seolah-olah nggak pernah melakukan kesalahan besar? Nggak punya rasa bersalah sama sekali, ya?"
Bianka menelan ludah, mencoba mengendalikan ketakutannya.
"A-Aku... Masalah yang kemarin... Maafin aku, Van," suaranya bergetar. "Aku beneran nggak tau kenapa minuman itu ada obatnya. Aku sumpah, aku nggak naro apa-apa! Aku dijebak!"
Alvano terkekeh dingin, tatapannya semakin meremehkan.
"Jangan pura-pura bodoh, Bianka. Aku udah tau semuanya."
Wajah Bianka semakin pucat. Ia mundur selangkah, tas belanjaannya hampir jatuh dari tangannya.
Tatapannya menajam, menusuk seperti belati.
"Bersyukurlah, aku nggak nuntut kamu. Tapi satu hal yang harus kamu tau," Alvano melangkah lebih dekat, membuat Bianka refleks mundur. "Aku datang ke sini untuk mengakhiri semuanya. Mulai sekarang, hubungan pertemanan kita selesai."
Wajah Bianka menegang.
"Apa… Apa maksud kamu?"
"Aku, Raka, dan Arga—kita semua sepakat. Anggap kita nggak pernah kenal, nggak pernah dekat. Jangan coba-coba menghubungi atau mengganggu kami lagi. Kami nggak mau terlibat sama orang kayak kamu."
Mata Bianka membelalak, wajahnya pucat seketika.
"T... Tapi, Van…"
"Nggak ada tapi-tapian!" Alvano memotong dengan suara tegas.
Ia menarik napas dalam sebelum mengeluarkan kata-kata terakhir yang akan menghancurkan Bianka sepenuhnya.
"Dan satu hal lagi," bibirnya melengkung sinis. "Aku seharusnya marah dengan rencana licikmu, tapi… aku justru ingin berterima kasih."
Bianka mengernyit, bingung. "Apa maksud kamu?"
Alvano menyeringai.
"Berkat ulah kamu malam itu, aku dan Aqila justru bersenang-senang. Dan kamu tau?" Alvano mendekat, suaranya semakin merendah, namun menusuk tajam. "Sebentar lagi, mungkin kami akan segera punya anak."
Bianka membeku di tempat.
Jantungnya terasa seperti dihantam benda berat. Tangannya bergetar hebat, matanya memancarkan kemarahan yang hampir meledak.
Wajah Bianka seketika memerah—bukan karena malu, tapi karena kemarahan yang siap meledak.
"Apa?!" suaranya meninggi. Matanya melebar, tangan yang memegang tas belanjaan mencengkeram kuat hingga plastiknya nyaris robek.
Alvano hanya tersenyum sinis.
"Aku pergi dulu."
Dengan santai, ia berbalik dan melangkah menuju mobilnya, meninggalkan Bianka yang kini diliputi amarah membara.
"Tunggu!!!" teriak Bianka, suaranya hampir histeris.
Namun, Alvano tidak peduli. Ia sudah masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.
Sementara itu, Bianka berdiri kaku di tempat, tubuhnya bergetar hebat. Tangan yang tadi menggenggam tas belanjaan kini mengepal keras.
Matanya berkilat penuh dendam. Nafasnya tersengal.
"Enggakkkkkkkk!!!!" jeritannya menggema di jalanan, membuat beberapa orang di sekitar menoleh dengan tatapan heran.
Darahnya mendidih, pikirannya dipenuhi kemarahan.
"Aku nggak akan biarin itu terjadi, Vano! Kamu lihat aja!!!"
Matanya menyala penuh dendam, penuh kebencian.
Semangat
penasaran nihh
semangat berkarya kk
lanjut Thor.... semangat 💪💪👍👍