Menikah muda bukan pilihan Arumi karena ia masih ingin menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Namun, pertemuannya dengan Adeline anak kecil di mana Arumi bekerja membuat keduanya jatuh hati. Adeline tidak mau perpisah dengan Arumi bahkan minta untuk menjadi ibunya. Menjadi ibu Adeline berarti Arumi harus menikah dengan Davin pemilik perusahaan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
"Pak Daviiin..." Arumi berlari ke kamar mandi tanpa mengenakan apapun, karena handuk dan selimut pun jatuh ke lantai dan ia tinggalkan begitu saja. Hanya piama yang ia pegang itupun sempat jatuh lalu Arumi pungut kembali.
Brak!
Arumi menutup pintu kamar mandi dengan kencang, bersandar di sana. Ia mengatur napas yang masih ngos-ngosan. "Ampun... kenapa aku sampai lupa kalau sudah menikah sih" Arumi memaki-maki diri sendiri.
Arumi mengenakan piama ketika ingin kembali ke kamar ragu-ragu. Tentu saja malu karena mungkin saja Davin sempat melihat asetnya. "Ah, masa bodo" Arumi pun berjalan pelan, matanya melongok tempat tidur. Rupanya tidak ada Davin di tempat itu hanya meninggalkan pakaian kotor.
"Ah, baguslah" Arumi merapikan baju Davin dan miliknya lalu meletakkan di sudut kamar dekat pintu kemudian tidur karena memang sudah lelah sekali.
Lantunan Al-Qur'an dari masjid membangunkan Arumi kala waktu berganti pagi. Ia renggangkan kedua tangan sontak bangkit dari ranjang ketika tangan kanannya menyentuh tubuh seseorang.
"Astagfirullah... Jangan-jangan..." Arumi mengecek tubuhnya khawatir ada yang terkoyak. "Aman..." Batinya ketika baju dan tubuhnya tidak ada masalah. Padahal jika Davin ingin melakukan pun berhak sepenuhnya, tetapi Arumi belum siap menerima semua itu.
Arumi berpaling ketika tidak sengaja tatapannya jatuh ke ulekan Davin nampak menonjol siap melumat bumbu. "Wuidiih..."
Arumi beralih memandangi wajah Davin yang tidur terlentang sambil bersedekap. Jakun yang sudah panjang hingga brewok tidak dicukur membuat wajah yang seharusnya masih muda pada usianya itu nampak lebih tua. "Dasar malas! Nyukur jenggot saja tidak mau. Pantas saja ketika mencium keningku tadi pagi terasa gatal" monolog Arumi, tiba-tiba saja kaki Davin numpang di paha Rumi.
"Iiiihh... Pak Davin..." Arumi menggeser bokongnya ke pinggir tempat tidur hingga kaki Davin jatuh ke kasur. Namun, karena Arumi tidur di pinggir tembok tidak bisa cepat turun.
"Kenapa kamu berisik banget" ucap Davin tetap terpejam. "Mau saya cium" Imbuhnya lalu berguling-guling mendekati Arumi.
Arumi cepat-cepat berdiri lalu lompat ke lantai lanjut ke kamar mandi.
"Aiihh... ini si Bapak tidak menjadi panutan" Arumi kesal karena Davin tidak juga bangun, padahal Arumi sudah selesai mandi dan shalat subuh. Ia tersenyum jahil lalu ambil air putih di gelas menuangkan ke telapak tangan, tentu saja untuk nyiprat wajah Davin.
"Papa masih ngantuk Adel" Davin yang masih bermimpi merasa Adel yang mengganggu. Karena biasanya Adel yang bangun lebih awal.
"Masih kurang rupanya" Arumi menyiprat untuk yang kedua kali.
"Kamu?" Davin terkejut ketika membuka mata ternyata Arumi sang pelaku.
"Makanya bangun Pak"
"Kamu ini jadi istri nggak sopan ya, membangunkan suami pakai air" Davin menarik tangan Arumi hingga jatuh ke dadanya. Tentu saja sisa air dalam gelas membasahi dada Davin.
"Kamu harus terima hukuman" Davin seketika merangkul erat tengkuk Arumi.
"Pak Daviiin... lepas" Arumi ngeri karena lagi-lagi ulekan di bawah sana mengganjal di paha Arumi.
Tok tok tok
"Atee... banguuunn... Adel mau minum susu..." teriakan Adel dari luar membuat semangat Davin mengendur. Kesempatan itu digunakan Arumi untuk berlari membuka pintu.
"Adel" ucap Arumi ketika tiba di luar kamar.
"Adel mau susu buatan Ate"
"Tentu sayang..." Arumi duduk di tangga paling atas, Adel yang sudah paham maksud Arumi segera nemplok di bahu.
"Sudah Ibu buatkan susu tapi kata Adel rasanya beda Rum" ucap Astiti ketika Rumi sudah tiba di dapur. Bu Astiti tidak enak hati karena Adel mengganggu Arumi dengan Davin. Astiti pikir Arumi dengan menantu sedang anu-anu karena rambut Arumi acak-acakkan.
"Biar aku buatkan Bu"
"Ini botolnya" Astiti lanjut membuat sarapan bersama Simbok. Sementara Arumi membuat susu formula.
"Ate tadi malam bobo sama Papa ya" Adeline mendongat menatap wajah Arumi.
Arumi hanya tersenyum lalu mengangguk, bingung ingin menjawab apa.
"Tadi malam Adel mau ke kamar Ate, tapi kata Nenek nggak boleh" Adel menirukan apa kata Astiti.
"Iya... nanti malam Adel bobo sama Ate, sekarang minum susu dulu" Arumi memberikan botol.
"Telimakasih Ate..." Adel segera duduk di sofa kemudian menyedot susu.
"Mulai sekarang... Adel jangan panggil Aunty lagi, tapi panggil saja Ibu, Bunda atau apa yang menurut Adel nyaman" titah Astiti yang tengah membantu bibi menata sarapan di meja makan.
"Emang iya Ate..." Adel turun dari sofa memastikan jika yang dikatakan nenek adalah benar.
"Kata Nenek benar, terus Adel mau panggil Ate apa?"
"Nanti Adel tanya Papa dulu deh" Adel kembali duduk menghabiskan susu.
Arumi ambil cangkir dan gula lantas membuat kopi untuk Davin. Dia tentu sudah tahu takaran kopi yang enak untuk suaminya. Walaupun Davin tidak jujur kopi buatan Arumi enak, nyatanya selalu ketagihan.
"Kamu bawa apa Rumi?" Astiti yang sudah duduk di kursi meja makan menunggu Seno keluar kamar menatap Arumi yang tengah membawa nampan.
"Kopi buat Pak Davin Bu"
"Ya sudah... kamu sisiran sana gih, sekalian Davin suruh ke bawah terus kita sarapan bersama" Astiti ingin mengenal menantunya lebih dekat.
"Buat kopi cuma satu, mentang-mentang sudah punya suami terus lupa sama Kakak sendiri" Yudha pura-pura protes padahal biasanya membuat kopi sendiri.
"Bikin sendiri lah" Arumi melengos, lalu mendekati Adeline yang sudah menghabiskan susu. "Adel... tolong panggil Papa suruh turun ya"
"Iya Ate..." Adeline ke kamar Arumi mengetuk pintu, tidak lama kemudian Davin membukanya.
"Papa... kata Ate suluh minum kopi"
"Okay... anak Papa sudah minum susu ya?" Davin membungkuk mencium pipi putrinya yang sudah bau susu.
"Sudah... susu buatan Ate enak" Adeline menceritakan jika dibuatkan susu Nenek tidak diminum.
"Lain kali Adel tidak boleh mengecewakan Nenek" Davin menasehati jika Nenek sudah baik hati membuatkan susu harus diminum.
"Iya Pa"
Davin segera mengenakan pakaian ketika Adel memanggilnya baru saja selesai mandi.
"Pah, Adel sekalang halus panggil Ate Lumi apa?" Adel ingat kata Astiti.
"Panggilnya Mama, karena Aunty sudah menjadi Mama Adel" Davin menjelaskan agar anaknya mengerti bahwa cita-cita nya untuk menjadikan mama sudah terlaksana.
Pagi itu semua sudah berkumpul di meja makan, Davin sekaligus izin pulang hari itu juga bersama keluarga.
"Jangan hari ini Dav, paling tidak menunggu sampai tiga hari setelah pernikahan kamu" tegas Seno. Setelah Davin pikir pria itu akhirnya mengalah membiarkan Xanders bersama Rose pulang lebih dulu.
Selama tiga hari tinggal di rumah mertua, ulekan Davin masih belum dia pakai, pengantin baru itu selalu banyak drama hingga akhirnya memutuskan untuk pulang.
Dengan mobil pak Seno mereka diantar Yudha ke bandara.
"Hati-hati kalian di jalan, maaf, kami tidak bisa ikut mengantar" ucap Astiti dengan Seno. Mereka tidak bisa mengantar putrinya karena hari kerja. Bahkan pagi itu keduanya sudah mau berangkat ke kampus dan ke sekolah.
"Tidak apa-apa Bu" pungkas Arumi yang sudah membuka pintu mobil.
Di bandara ketika tengah menunggu pesawat, seorang wanita menghampiri mereka.
...~Bersambung~...