Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 33 — Yearning for Her
Faza mengetuk-ngetuk meja kaca di depannya dengan satu jari, menciptakan sebuah nada yang tak beraturan untuk didengar. Berkali-kali menatap jarum jam sejak dua jam lalu hingga jarum jam itu menunjuk ke angka sepuluh. Namun, hal yang ia tunggu tak kunjung tiba.
Hal yang paling tidak disukai Faza adalah menunggu dan saat ia tahu bahwa dirinya sudah menunggu sesuatu yang tak pasti selama dua jam, itu membuatnya kesal. Melirik ponsel mahalnya, Faza bergerak gusar. Menunggu jadi sesuatu yang sangat menyebalkan baginya.
“Jika kau cemas, kenapa kau tidak mencoba menghubunginya lebih dulu, Kak?” usul Vanya yang sejak tadi mengikuti setiap pergerakan sang kakak.
“Dibanding terus menunggu kepulangan Kak Ashana, bukankah lebih baik jika kau menghubunginya dan menanyakan kapan dia akan pulang. Waktumu jadi tidak terbuang sia-sia, Kak.”
Alih-alih mengikuti usul Vanya, Faza justru mendelik. “Sebenarnya ke mana dia? Seharusnya dia menghubungiku! Atau paling tidak, seharusnya dia memberiku kabar,” kesal Faza.
“Mungkin dia sangat sibuk. Sudah aku sarankan, hubungi dia, Kak.” Vanya kembali memberi usul yang sebenarnya terdengar seperti sebuah desakan bagi Faza.
“Kau selalu saja membuat Kak Ashana menjauhimu, tadi pagi juga begitu. Kau selalu membuatnya kesal,” oceh Vanya sementara Faza sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Jangan-jangan dia sedang bersama dengan pria itu lagi?” gumamnya sambil menopang dagu. “Awas saja jika dia berani mendekati pria itu lagi.”
“Astaga, kenapa kau selalu berasumsi buruk tentangnya, Kak? Hentikan pikiran konyolmu itu, Kak Ashana tak mungkin melakukannya.”
“Diam, Vanya,” gertak Faza makin kesal. “Tahu apa kau tentangnya? Huh? Jika dia dengan begitu mudah meninggalkanku, pasti mudah juga baginya untuk mendekati pria lain.”
“Jika kenyataannya begitu, dia pasti sudah memiliki satu atau dua orang anak sekarang,” cetus Vanya membuat Faza memelotot seketika.
Melihat sang kakak memelotot padanya, Vanya pun melanjutkan. “Tapi tidak, kan? Dia tidak menikah ataupun dekat dengan pria lain selama tujuh tahun, apakah itu masih belum cukup jelas, Kak?”
Faza mengernyit, “Apa yang sebenarnya ingin kau katakan? Katakan dengan jelas, jangan berbelit-belit!” seru pria itu dengan sebal.
“Ya ampun, kalian orang dewasa tapi kenapa masih saja belum bisa memahami perasaan masing-masing?” gumam Vanya.
“Maksudku, itu artinya, Kak Ashana masih belum bisa melupakan cinta pertamanya, yaitu kau. Begitu juga sebaliknya, kalian itu romantis sekali. kisah cinta yang tak tergantikan satu sama lain,” sindir Vanya yang sebenarnya adalah fakta.
Hanya saja, kebencian keduanya menutupi perasaan cinta itu. Sejak tujuh tahun lalu, kisah Ashana dan Faza hanya berakhir di antara cinta atau benci. Benci dan cinta. Sweet.
“Aku tidak melupakannya karena aku membencinya,” tegas Faza memberi Vanya tatapan tajam yang secara tak langsung merupakan sinyal untuk menyuruh gadis itu diam.
“Oh, ya ampun, terserah kau saja, Kak.” Vanya mulai lelah menghadapi kakak dan kakak iparnya yang keras kepala seperti batu.
Faza kembali menatap pintu masuk utama, berharap perempuan itu akan datang dan menemuinya, lalu mereka akan saling meluruskan kesalahpahaman yang belum selesai mereka bicarakan.
Namun lagi-lagi, Faza harus menelan kecewa karena lima belas menit menunggu, perempuan itu masih belum juga menunjukkan tanda-tanda akan pulang. “Sebenarnya dokter bekerja berapa jam sih?” cebiknya.
“Sudah kukatakan hubungi dia lebih dulu, kenapa kau tidak mau mengikuti saranku? Dia pasti masih kesal padamu makanya tidak mau pulang.”
Ucapan Vanya itu berhasil membuat Faza berpikir. Menimbang ponselnya, pria itu hanya menatap deretan angka tanpa niat untuk menelepon ataupun mengabarinya seperti yang adiknya usulkan.
“Hanya ada dua kemungkinan kenapa Kak Ashana belum pulang.” Vanya kembali bersuara. “Yang pertama, dia sangat sibuk. Yang kedua, dia sangat kesal padamu.”
Faza berdecak sebal, “Kenapa kau sekarang terdengar seperti mendukungnya?”
“Woman support woman, Kak. Jika Kak Ashana bisa menyatukan kisah cintaku kenapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama?” Vanya tersenyum lebar, membuat Faza semakin kesal saja.
“Diam kau, Vanya. Atau akan kukirim kau kembali ke luar negeri sampai kau tidak bisa menemui Albert kesayanganmu itu!” desis Faza.
Alih-alih takut, Vanya malah tertawa. “Sepertinya aku harus menelepon Kak Ashana sekarang lalu aku akan mengatakan bahwa ada seorang pria yang cemas menunggu kepulangannya di sini,” ledek Vanya semakin gencar menggoda Faza.
Pria itu memelotot lalu berdiri, “Siapa pria yang kau maksud itu? Kalau kau mau telepon dia, coba saja. Tapi jangan mengatakan hal yang aneh-aneh tentangku,” kata Faza menelusupkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.
“Tidak akan, aku hanya akan mengatakan ada seseorang yang merindukannya saja,” sahut Vanya sambil meraih ponselnya.
“Apa kau bilang? Hei, Vanya, hentikan itu! Jangan katakan apapun!” seru Faza berusaha menghalangi Vanya dari apapun niatnya itu.
Vanya terkekeh geli, senang sekali menggoda sang kakak sampai pipinya bersemu merah. “Pipimu memerah, Kak. Oh ya ampun, apa kau kepanasan?”
Faza menyentuh pipinya sendiri. “Ma-mana ada! Pipiku baik-baik saja! Sudahlah, percuma berdebat denganmu!”
Astaga, apa ini? Apakah benar pipiku memerah? Merindukannya? Mana mungkin aku merindukannya? Tidak … tidak mungkin! Perasaan aneh macam apa ini?
“Kak Ashana bilang dia sedang melakukan sesuatu, dia tak akan pulang malam ini.” Vanya menunjukkan riwayat chatting-nya dengan Ashana barusan kepada Faza.
“Di mana dia sekarang?”
“Sebentar, biar aku tanyakan.” Vanya mulai mengetik sesuatu sementara Faza menunggu.
“Dia di rumahnya, Kak,” kata Vanya setelah mendapatkan balasan dari pesan yang dikirimkannya.
“Sedang apa dia di sana?” gumam Faza bingung. “Apakah dia sedang mencari tahu tentang hal itu? Tapi kenapa di rumahnya?”
Merasa harus segera menuntaskan rasa penasarannya, Faza meraih kunci mobilnya dan menuju carport. Ia harus menemui perempuan itu sekarang juga.
“Kau mau ke mana, Kak?” tanya Vanya saat faza menyalakan mobilnya tanpa pamit. “Apakah dia mau menemui Kak Ashana?”
***
Nah kan, benih-benih cinta mulai tumbuh, cuma emang dasarnya aja mereka tuh ketinggian gengsi. Vanya sama pembaca aja bisa tahu, kok, masa mereka sendiri gak paham. Gimana sih! 😏
selamat berjuang bro