Sequel: Presdir Tampan Itu Suamiku
Sebuah kesalahpahaman membuat Deya Kanza, gadis 21 tahun itu memutuskan hubungannya dengan sang kekasih. Namun setelah 4 tahun berlalu Deya dipertemukan kembali dengan sang mantan.
Devan Aksara, pemuda tampan 22 tahun itu menyadari kesalahannya setelah sang kekasih pergi jauh. Namun tiba-tiba kesempatan pun datang, dia bertekad untuk mengejar kembali cintanya Deya.
Apakah cinta mereka akan bersemi kembali atau malah berakhir selamanya? ikutin kisahnya yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ucy81, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hutang Budi
Deya menatap tidak senang dua orang pria kekar yang sedang berdiri dihadapannya. Kemudian dia mengalihkan pandangannya pada Givan.
"Paman, please... Deya benar-benar nggak butuh pengawal!" katanya dengan mendengus kasar.
"Kalau begitu kita kembali ke London malam ini!"
Sontak Deya membisu mendengar penuturan sang paman.
Namun Arano mencoba membantu sang sepupu berbicara pada Givan. "Gimana kalau dua pengawal ini mengikuti Rano saja", tawarnya. Dia merasa keberadaan dua orang pengawal itu akan membantu dirinya menangani mahasiswa nakal dikampusnya.
"Kenapa kamu butuh pengawal?" tanya Givan dengan menatap tajam Arano.
Seketika Arano membisu. Kemudian dia membuang pandangannya ke sembarang arah. Lebih baik diam aja deh, dari pada kena semprot terus sama paman! Batin Arano meringis.
Melihat sikap Arano, Deya pun terpaksa menyetujui apa yang diinginkan sang paman. "Baiklah paman, Deya mau! Tapi setelah semua masalah ini selesai, mereka pun tidak dipekerjakan lagi."
"Oke, paman setuju! Kalau gitu mereka akan mulai bekerja malam ini!"
"Malam ini?" ulang Deya memastikan.
"Iya!" balas Givan dengan menganggukkan kepala.
"Lalu, mereka tidur dimana?"
Givan mengarahkan jari telunjuknya pada sofa.
Sontak Deya melotot. Lalu dia menyilangkan kedua tangannya. "Big no, paman!" tolaknya. "Apa paman tega membiarkan anak gadis paman tinggal bersama dua pria asing?"
Givan menghela nafas sembari menyentil kening Deya. "Cuma malam ini! Lagipula paman kan masih menginap semalam di sini! Besok paman kembali ke London."
"Oh, gitu", sahut Deya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kenapa paman buru-buru balik? Setidaknya paman tinggal selama seminggu."
"Paman kan sudah bilang, kali ini paman datang karena mengkhawatirkan keselamatanmu! Paman dapat informasi dari orang yang paman percaya, kalau orang-orang yang kamu selidiki bukanlah orang biasa. Mereka tidak akan mudah kamu tangani seorang diri. Jadi paman mengatur pengawal ini."
"Iya, Deya paham. Tapi tolong tunda kepulangan paman ya."
Givan membisu beberapa saat. Dia mencoba memikirkan tawaran Deya. "Em, baiklah", sahutnya yang membuat Deya tersenyum bahagia. "Tapi lusa paman harus balik!"
"Paman nggak asyik!" rengek Deya bak anak kecil yang lagi ngambek. Namun Arano tampak bersikap biasa saja. Dia malah menginginkan sang paman segera kembali ke.London.
Suara helaan nafas Givan terdengar begitu berat. Dia menatap bergantian kedua keponakannya yang telah ditinggalkan orang tua mereka tersebut. "Em, baiklah! Paman akan menyelesaikan pekerjaan paman dari tempat ini saja", putusnya.
Sontak Deya bersorak girang, sementara Arano hanya bisa menghela nafas panjang.
"Berhubung paman setuju menetap di kota ini, maka Deya akan memasak masakan yang paling enak."
"Yakin enak?" sindir Arano.
"Jadi maksud kamu selama ini masakanku tidak enak?"
"Biasa aja!" sahut Arano.
Dalam sekejap Deya telah menghampirinya. "Eh, maksud Rano bukan gitu kak! Tadi Rano mau bilang rasa masakan kak Deya seperti masakan restoran biasanya", ralatnya kemudian, namun ucapan itu terlambat. Deya terlanjur marah dan membuat adik sepupunya itu merasakan amukannya.
Givan menggeleng-gelengkan kepalanya, tanpa berniat untuk melerai keduanya.
*-*
Di tempat berbeda, Agni tampak sibuk membalas komentar di media sosialnya dengan raut wajah bahagia. Namun sebuah komentar dari seseorang yang dia kenal membuat raut wajahnya berubah kesal.
"Kenapa komen Devan seperti itu? Bukankah ini sama saja dengan mengatakan kalau aku seorang pembohong!" keluh Agni sembari membanting asal ponselnya. "Devan br*ngs*k!" pekiknya sembari mengacak kasar rambutnya. Kemudian dia meraih kembali ponselnya, dan menghubungi sang paman.
"Halo, ada apa?" sahut pamannya Agni dari seberang telepon.
"Halo, paman. Tolong paman buat perusahaan milik Devan segera bangkrut!"
"Apa kamu yakin? Bukankah Devan adalah calon suami kamu?" balas Givan.
"Dia memang calon suami Agni. Tapi Agni mau melihat dia bertekuk lutut dihadapanku!"
"Hm, terserah kamu saja! Tapi tidak bisa dalam waktu dekat ini! Ada masalah yang lebih penting yang harus paman selesaikan."
Agni mengkerutkan keningnya. "Masalah apa paman? Bukankah perusahaan baik-baik saja?"
"Seseorang mencoba meretas system keamanan perusahaan, tapi paman sudah menyelesaikannya. Hanya saja paman kuatir peretas itu muncul lagi dan membuat kita rugi besar."
"Oh, gitu ya", sahut Agni. Namun dalam otak kecilnya dia terus mencoba memahami ucapan sang paman, hingga tanpa dia sadari kalau dirinya diam selama beberapa detik.
"Agni, apa kamu masih di sana?" Terdengar suara pamannya Agni dari seberang telepon.
"Em, iya paman. Agni lagi mikirin - "
"Masalah kantor tidak perlu kamu pikirkan!" sela pamannya Agni dengan cepat. "Kamu hanya perlu membuat pemuda-pemuda kaya itu tertarik padamu! Cukup paman dan sepupumu yang menangani masalah perusahaan."
"Baiklah paman", sahut Agni kesal. Lalu dia menutup sambungan telepon.
"Cih, tugasku hanya memikirkan pemuda kaya?" gumam Agni sembari meletakkan ponselnya di atas nakas. "Tapi pemuda kaya, tampan dan sangat mempesona cuma ada satu, yaitu Devan! Bagaimana mungkin aku bisa memikirkan pemuda kaya lain", lanjutnya bermonolog. "Tapi sepertinya aku harus menyingkirkan penghalangnya terlebih dahulu!"
*-*
Hacii...!
Sudah ketiga kalinya Devan bersin. Dia menghela nafas berat sembari menatap layar ponselnya. "Aku rasa Agni sedang mengutukiku", katanya setelah meletakkan ponselnya di atas meja.
Tok. Tok.
"Dev, mama masuk ya?" tanya ibunya Devan dari balik pintu.
"Masuklah ma!"
Dira pun muncul dari balik pintu sembari membawa sesuatu ditangannya. Lalu dia menutup kembali pintu, dan berjalan mendekati Devan. "Kamu sedang apa nak?" tanyanya kala berhasil duduk dihadapan Devan.
"Baru saja menyelesaikan tugas kantor ma. Apa mama butuh bantuan Devan?" sahutnya dengan lembut.
"Mama cuma mau menunjukkan ini", katanya seraya menyodorkan beberapa lembar foto pada Devan.
"Foto siapa ini ma?" tanyanya kala melihat foto jadul yang diberikan sang ibu. Devan hanya mengenal dua wajah di sana.
"Masak kamu nggak tau?"
"Papa dan mama jelas Devan tau, tapi dua orang yang di samping mama ini siapa?" sahut Devan sembari mengernyitkan kening.
Dira menatap sendu foto yang di tunjuk Devan. "Dia adalah sahabat terbaik mama. Dia wanita cantik dan baik hati", pujinya sembari membayangkan wajah sahabatnya itu.
"Lalu, untuk apa mama menunjukkan foto ini?"
Dira menepuk pelan punggung tangan Devan dan menatap putra satu-satunya itu dengan lembut. "Mama tahu, saat ini kamu belum bisa menerima Agni sebagai calon istri kamu. Tapi kamu pasti pernah mendengar, kalau buah itu tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Mama yakin Agni ini memiliki sifat persis kedua orang tuanya. Jadi dia pasti anak yang baik."
Sontak Devan membisu mendengar penuturan sang ibu. Dia tidak ingin berdebat dengan sang ibu, namun dia juga tidak sepakat dengan ucapan ibunya tersebut.
"Kenapa kamu diam saja nak?" tanya Dira.
"Sebelum masalah group Thompson jelas, Devan tidak ingin dijodohkan dengan Agni, ma. Tolong jangan memaksa Devan."
Dira tampak kecewa mendengar jawaban Devan. Namun dia tetap menghormati keputusan putranya tersebut. "Baiklah! Tapi kamu harus ingat, kita punya hutang budi yang besar pada keluarga Agni!"
"Baik ma! Tapi kalau Devan boleh tau, siapa nama kedua orang tua Agni?"
Dira menghela nafas berat seraya berkata, "Ayahnya bernama Duan dan ibunya Freya. Kenapa kamu menanyakan ini?"
"Em, bukan apa-apa ma", sahut Devan. Namun dia telah berencana akan menyelidiki kedua orang tua Agni tersebut.
maaf baru sempat mampir.. lagi sibuk revisi soalnya