NovelToon NovelToon
Segel Cahaya: Putri Yang Terlupakan

Segel Cahaya: Putri Yang Terlupakan

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Fantasi Wanita
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: monoxs TM7

Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.

"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.

Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"

Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."

Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33: Kekuatan Baru, Awal yang Rapuh

Keheningan kembali menyelimuti kamp setelah kekuatan segel Elarya memusnahkan makhluk-makhluk kegelapan. Prajurit-prajurit yang selamat berlutut dalam kelelahan, beberapa dari mereka bahkan menangis lega. Kael menggendong Elarya yang kini tak sadarkan diri, tetapi wajahnya masih menampilkan ketenangan. Ia tahu Elarya telah memberikan segalanya untuk melindungi mereka semua.

“Elarya memerlukan perawatan segera!” seru Kael kepada para penyihir.

Seorang penyihir wanita tua, Lira, mendekat dengan tongkat kayunya yang berkilau cahaya hijau. “Bawa dia ke dalam tenda. Aku akan membantunya. Tapi...,” suara Lira melemah, “kau juga harus bersiap untuk kemungkinan terburuk.”

Kael menatap Lira dengan tatapan tajam. “Elarya adalah pejuang. Dia akan bertahan. Jangan pernah ragukan itu.”

Lira mengangguk, meskipun rasa khawatir tidak hilang dari matanya. Ia tahu segel cahaya memiliki efek yang melemahkan bagi pemiliknya jika digunakan terlalu sering.

Kekuatan dan Kehidupan Baru

Di dalam tenda, Elarya berbaring di atas tempat tidur, wajahnya pucat namun damai. Cahaya lembut dari segel masih memancar samar-samar dari dadanya. Lira memulai ritual penyembuhan, menggunakan mantra kuno untuk menenangkan energi segel yang tidak stabil.

Sementara itu, Kael duduk di sisi tempat tidur, memegangi tangan Elarya dengan erat. Ia berbicara pelan, meskipun ia tahu Elarya mungkin tidak mendengarnya.

“Kau sudah melakukan lebih dari cukup, Elarya. Sekarang giliranmu untuk istirahat. Aku akan menjagamu, seperti kau selalu menjaga kami.”

Malam berlalu dalam keheningan. Elarya perlahan membuka matanya saat fajar mulai menyingsing. Kael yang tertidur dengan kepala bersandar pada tempat tidur langsung terbangun begitu merasakan gerakan di tangannya.

“Elarya,” bisiknya, suaranya penuh emosi.

“Aku masih di sini,” jawab Elarya dengan suara lemah namun hangat. “Dan anak kita... dia baik-baik saja.”

Kael menghela napas lega, lalu menundukkan kepalanya seolah mengucap syukur. “Kau membuatku hampir kehilangan akal. Jangan pernah lakukan itu lagi.”

Elarya tertawa kecil, meskipun tubuhnya masih terasa lemah. “Aku tidak bisa janji.”

Ancaman Baru

Namun, di luar tenda, langit yang sempat cerah kembali berubah mendung. Sebuah kabar buruk datang dari penjaga perbatasan.

“Komandan Kael!” seorang prajurit berlari ke arah tenda mereka. “Ada sesuatu yang bergerak di hutan barat. Jumlahnya besar, dan... mereka membawa sesuatu yang tidak biasa.”

Kael keluar dari tenda, menatap prajurit itu dengan tegas. “Apa yang kau lihat?”

“Sebuah benda... atau mungkin makhluk. Ia besar, dan seluruh tubuhnya seperti terdiri dari batu hitam. Kami belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya.”

Kael menggenggam gagang pedangnya erat. Setelah apa yang baru saja terjadi, pasukannya belum siap untuk menghadapi ancaman lain. Tapi ia tahu mereka tidak punya pilihan.

“Kumpulkan pasukan. Perkuat pertahanan,” perintahnya.

Namun, sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, Elarya keluar dari tenda dengan langkah pelan. Meskipun tubuhnya masih lemah, cahaya dari segelnya tampak lebih stabil.

“Kael, aku akan membantumu,” katanya tegas.

“Tidak, Elarya,” balas Kael cepat. “Kau perlu istirahat. Kau baru saja—”

“Elarya,” potongnya, suaranya lembut namun penuh otoritas. “Aku tahu batasanku. Tapi aku juga tahu tanggung jawabku. Segel ini milikku, dan aku harus memanfaatkannya untuk melindungi mereka yang kita cintai.”

Kael terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan enggan. “Tapi jangan terlalu memaksakan diri.”

Sang Batu Hitam

Saat pasukan bersiap di perbatasan, mereka akhirnya melihat sosok itu. Makhluk batu hitam raksasa, dengan mata merah menyala dan tubuh yang dipenuhi retakan, bergerak dengan lambat namun pasti. Di belakangnya, puluhan makhluk kegelapan lebih kecil mengikuti, seolah mereka adalah pasukan pribadinya.

Lira, yang berdiri di samping Elarya, tampak khawatir. “Makhluk itu tidak alami. Ia bukan hanya monster, tapi juga penjara bagi kekuatan kegelapan. Jika ia mencapai kamp ini, semuanya akan berakhir.”

“Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi,” ujar Elarya. Ia mengangkat tangannya, mencoba memanggil kekuatan segelnya lagi. Namun, tubuhnya bergetar, dan Kael segera menangkapnya sebelum ia jatuh.

“Kau tidak bisa melakukan ini sendirian,” kata Kael. “Kita harus bekerja bersama.”

Elarya mengangguk. “Aku akan mendukungmu dari belakang. Kau adalah prajurit terbaik yang kita miliki, Kael. Jika ada yang bisa menghentikan makhluk itu, itu adalah kau.”

Kael menatapnya dengan penuh rasa hormat dan cinta. “Kalau begitu, mari kita lakukan ini bersama.”

Pertempuran Terakhir di Perbatasan

Pertempuran pecah dengan hebat. Kael memimpin pasukan menyerang makhluk-makhluk kegelapan yang lebih kecil, sementara Elarya dan Lira bekerja sama untuk menciptakan perisai energi yang melindungi kamp.

Makhluk batu hitam itu perlahan bergerak ke arah mereka, setiap langkahnya membuat bumi bergetar. Serangan pedang dan panah hampir tidak berpengaruh pada tubuhnya yang keras seperti granit.

Namun, ketika ia mendekati perisai energi, Elarya merasakan sesuatu yang aneh. Segelnya mulai bersinar lebih terang, seolah merespons keberadaan makhluk itu.

“Dia terhubung dengan segel ini,” bisik Elarya pada Lira.

“Itu masuk akal,” balas Lira. “Makhluk itu mungkin adalah bagian dari kegelapan yang pernah disegel dalam kekuatanmu.”

Elarya memejamkan matanya, mencoba memahami apa yang harus ia lakukan. Jika makhluk itu benar-benar terhubung dengan segel, maka ia mungkin adalah kunci untuk menghancurkannya.

“Elarya, jangan lakukan apa pun yang berbahaya!” teriak Kael dari kejauhan.

Namun, Elarya sudah memutuskan. Ia melangkah maju, cahaya dari segelnya kini memancar lebih terang. Makhluk batu hitam itu berhenti, seolah merasakan kehadirannya.

“Jika aku bisa menarik kegelapan itu kembali ke dalam segel, kita mungkin bisa menghentikannya,” katanya pada Lira.

“Tapi itu berisiko besar!” balas Lira.

“Tidak ada pilihan lain,” jawab Elarya dengan tegas.

Dengan satu gerakan, ia mengangkat tangannya, memfokuskan seluruh kekuatan segelnya. Cahaya putih melesat dari tubuhnya, menyelimuti makhluk itu. Makhluk batu hitam itu mengeluarkan raungan keras, tubuhnya mulai pecah menjadi retakan-retakan kecil.

Namun, saat kegelapan dari tubuh makhluk itu mengalir ke arah Elarya, tubuhnya mulai melemah. Kael, yang melihat hal ini, segera berlari ke arahnya.

“Elarya! Hentikan! Kau tidak bisa melakukannya sendirian!”

Elarya menoleh padanya dengan senyum lemah. “Aku melakukannya untuk kita. Untuk anak kita. Aku mencintaimu, Kael.”

Tiba-tiba, cahaya dari segel memancar begitu terang hingga menyilaukan seluruh medan pertempuran. Makhluk batu hitam itu lenyap, dan hanya keheningan yang tersisa.

Ketika cahaya mereda, Kael menemukan Elarya pingsan di tanah, tetapi masih bernapas. Ia menggendongnya dengan hati-hati, sementara para prajurit bersorak-sorai atas kemenangan mereka.

Namun, di hati Kael, kekhawatiran masih tersisa. Ia tahu ini belum benar-benar berakhir.

Titik Balik Sang Segel

Cahaya pagi menembus tenda tempat Elarya beristirahat. Suara-suara kehidupan mulai kembali terdengar di sekitar kamp, meskipun sebagian besar prajurit masih lelah setelah pertempuran besar yang baru saja mereka lalui. Kael duduk di samping tempat tidur Elarya, menatapnya dengan mata yang penuh kekhawatiran.

Elarya belum bangun sejak ia memanfaatkan kekuatan segelnya untuk mengalahkan makhluk batu hitam. Tubuhnya tampak lemah, dan segel di dadanya kini hanya memancarkan kilauan samar. Namun, Kael tidak pernah melepaskan genggamannya.

“Bangunlah, Elarya,” bisiknya. “Aku tidak peduli apa yang terjadi. Aku hanya ingin kau di sini bersamaku.”

Tiba-tiba, tangan Elarya bergerak, meskipun sangat pelan. Kael segera mendekat, matanya berbinar dengan harapan.

“Elarya!”

Wanita itu membuka matanya perlahan, menatap Kael dengan senyuman lemah. “Kael... kau di sini.”

“Selalu,” jawabnya, suaranya bergetar oleh emosi.

Kabar Bahagia di Tengah Kekacauan

Setelah memastikan Elarya sadar dan stabil, Lira memeriksanya. “Kekuatan segelmu masih ada, tapi efek penggunaannya telah melemahkan tubuhmu. Kau harus berhati-hati mulai sekarang.”

Elarya mengangguk, tetapi tiba-tiba ia memegang perutnya dengan ekspresi yang penuh emosi.

“Elarya, ada apa?” tanya Kael, panik.

Namun, alih-alih menunjukkan rasa sakit, Elarya tersenyum. “Aku bisa merasakannya. Bayi kita... dia baik-baik saja.”

Kael terdiam sejenak, lalu tersenyum lega. Ia meletakkan tangannya di atas perut Elarya, mencoba merasakan kehadiran kehidupan kecil itu.

“Kau kuat, dan dia juga kuat seperti ibunya,” bisik Kael dengan lembut.

Namun, momen kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Seorang prajurit berlari masuk ke tenda, wajahnya penuh kepanikan.

“Komandan Kael! Ada yang mendekati kamp. Kami tidak tahu apakah mereka teman atau musuh!”

Kael bangkit dengan cepat, tetapi ia menoleh ke arah Elarya. “Tetap di sini. Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja.”

Elarya menggenggam tangannya. “Kael, hati-hati.”

Kael mengangguk sebelum melangkah keluar.

Tamu yang Tak Diundang

Di perbatasan kamp, para prajurit telah membentuk barisan, senjata mereka siap untuk menyerang jika diperlukan. Di hadapan mereka, berdiri seorang pria dengan jubah hitam panjang, wajahnya tertutup tudung, sehingga hanya matanya yang tampak bersinar aneh.

“Aku tidak datang untuk bertarung,” ujar pria itu dengan suara tenang namun dingin. “Aku ingin berbicara dengan pemilik segel.”

Kael maju ke depan, tatapannya tajam. “Siapa kau, dan apa yang kau inginkan?”

Pria itu tidak langsung menjawab. Ia mengamati Kael dengan teliti sebelum berkata, “Namaku Zephar. Aku adalah utusan dari negeri yang selama ini tersegel oleh kekuatan segel cahaya. Dan aku datang dengan peringatan.”

“Peringatan?” Kael menyipitkan matanya.

Zephar mengangguk. “Segel itu, meskipun kuat, adalah penghalang terakhir dari kekuatan yang lebih besar. Dengan melemahnya pemilik segel, kegelapan yang selama ini tertahan mulai mencari jalan keluar. Jika kalian tidak bersiap, dunia ini akan menghadapi kehancuran.”

Kael mendekat, tidak melepaskan pegangan pada pedangnya. “Kenapa kami harus mempercayaimu?”

Zephar mengangkat tangannya perlahan, menunjukkan bahwa ia tidak bersenjata. “Aku tidak meminta kepercayaanmu. Aku hanya menyampaikan kenyataan. Pemilik segel harus bersiap untuk menghadapi musuh terakhir—Sang Penguasa Kegelapan. Jika tidak, segalanya akan berakhir.”

Sebelum Kael bisa merespons, Zephar berbalik dan mulai berjalan pergi.

“Tunggu!” Kael memanggilnya, tetapi pria itu hanya berhenti sejenak.

“Aku akan kembali ketika waktunya tiba. Sampai saat itu, siapkan dirimu... dan siapkan dia.”

Lalu, dalam sekejap mata, Zephar menghilang, seperti bayangan yang tertelan oleh angin.

Rencana untuk Masa Depan

Ketika Kael kembali ke tenda, ia menceritakan semuanya kepada Elarya. Wanita itu mendengarkan dengan seksama, ekspresinya tenang namun serius.

“Kegelapan terakhir,” gumamnya. “Aku tahu ini belum selesai, tetapi aku tidak menyangka ada sesuatu yang bahkan lebih besar dari apa yang kita hadapi.”

“Kita akan menemukan cara,” kata Kael. “Kita selalu melakukannya.”

Elarya tersenyum kecil, tetapi ia tahu bahwa kali ini, taruhannya jauh lebih besar. Bukan hanya nyawanya, tetapi juga nyawa bayi mereka, serta masa depan dunia.

Namun, di tengah kekhawatiran itu, ia merasakan kehangatan yang membuatnya tenang. Ia menatap Kael dengan penuh cinta.

“Kau benar. Selama kita bersama, kita bisa mengatasi apa pun.”

Kael duduk di sampingnya, menatap perutnya dengan lembut. “Dan kali ini, kita punya alasan yang jauh lebih besar untuk menang.”

Mereka saling menggenggam tangan, berjanji tanpa kata bahwa mereka akan melindungi apa yang mereka cintai—apa pun risikonya.

Di Tempat Lain

Di sebuah gua gelap, jauh dari tempat mereka berada, sesosok bayangan besar bergerak di tengah kegelapan. Suara-suara aneh bergema, seperti geraman makhluk yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya.

“Segel itu melemah,” suara dalam dan menakutkan bergema. “Waktunya hampir tiba.”

Bayangan itu perlahan berubah bentuk, memperlihatkan sosok mengerikan dengan mata merah menyala dan tubuh yang dipenuhi duri tajam. Ia mengeluarkan tawa pelan yang semakin lama semakin keras, hingga mengguncang gua itu.

“Dunia ini akan menjadi milikku.”

Dan dengan itu, langkah terakhir menuju pertempuran terbesar pun dimulai.

Titik Balik Sang Segel

Angin malam yang dingin menyelubungi kamp ketika Kael dan Elarya duduk di tenda mereka, saling berbicara dalam bisikan. Meski rasa waspada masih menggelayuti mereka, keduanya mencoba menemukan ketenangan di tengah kekacauan.

Elarya menyandarkan kepalanya di bahu Kael, matanya terpejam, merasakan detak jantungnya yang stabil. Dalam sekejap, dunia luar terasa menjauh.

“Kael,” bisiknya pelan, tangannya menyentuh perut yang semakin membesar. “Apa kau pernah merasa takut untuk menjadi seorang ayah?”

Kael terdiam sejenak sebelum menjawab. “Takut? Tentu saja. Tapi rasa takut itu tidak pernah melebihi rasa bahagia dan harapan yang aku miliki untuk kita. Untuk dia.”

Elarya tersenyum kecil, meski di balik senyumnya tersembunyi kegelisahan yang sulit ia ungkapkan.

“Dia akan lahir di dunia yang kacau, Kael. Bagaimana jika kita gagal melindunginya?”

Kael membelai rambut Elarya dengan lembut. “Kita tidak akan gagal. Aku akan memastikan itu.”

Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, suara gemuruh dari kejauhan mengguncang tenda mereka. Elarya langsung mendongak, dan Kael dengan cepat berdiri, meraih pedangnya.

“Suara itu...!” Kael mengerutkan kening.

Elarya merasakan hawa dingin merayap masuk ke dalam tenda, diikuti oleh sensasi tekanan besar yang membuat napasnya tercekat. Ia memegang tangannya di perutnya, seolah mencoba melindungi bayi mereka dari ancaman yang tidak terlihat.

“Kael, ada sesuatu yang mendekat,” ujarnya dengan nada serius.

Kael mengangguk. “Tetap di sini. Aku akan melihat apa yang terjadi.”

Serangan Tengah Malam

Kael keluar dari tenda dan langsung disambut oleh pemandangan yang mengerikan. Sosok-sosok besar dengan tubuh hitam pekat seperti asap bercampur logam menyerang barisan prajurit mereka. Makhluk-makhluk itu bergerak dengan kecepatan luar biasa, merobohkan pertahanan satu per satu.

“Lira!” Kael memanggil jenderal kepercayaannya.

Lira berlari mendekat, wajahnya penuh keringat dan luka kecil di pelipisnya. “Makhluk-makhluk ini muncul entah dari mana. Mereka menyerang tanpa suara, dan senjata biasa hampir tidak berguna.”

Kael mengamati makhluk itu lebih dekat. Ia melihat pola-pola aneh di tubuh mereka, seperti ukiran yang memancarkan cahaya merah samar.

“Elarya mengatakan sesuatu tentang segel yang melemah. Mungkin ini adalah akibatnya.”

“Kalau begitu, kita butuh kekuatannya untuk mengalahkan mereka!” Lira berseru.

Kael menggeleng. “Tidak. Dia sedang mengandung. Aku tidak akan membiarkannya membahayakan dirinya.”

Namun, sebelum Kael bisa memberikan perintah lebih lanjut, suara lantang terdengar dari arah tenda Elarya.

“Kael! Aku tidak bisa hanya duduk diam!”

Elarya berdiri di pintu tenda, meski tubuhnya tampak lemah. Segel di dadanya mulai bersinar, memberikan cahaya yang cukup terang untuk menembus kegelapan malam.

“Elarya, kembali ke tenda!” Kael berseru, matanya penuh kekhawatiran.

“Aku tahu risikonya, tapi aku tidak bisa membiarkan mereka menyerang kita tanpa perlawanan. Ini bukan hanya tentang kita, Kael. Ini tentang dunia yang akan kita wariskan kepada anak kita.”

Kael terdiam, terguncang oleh tekad Elarya.

Pertempuran Melawan Bayangan

Elarya mengangkat tangannya, dan segel di dadanya memancarkan cahaya yang lebih kuat. Sebuah lingkaran energi muncul di bawah kakinya, menciptakan perisai besar yang melindungi kamp dari serangan makhluk-makhluk itu.

Kael dan Lira memanfaatkan perlindungan itu untuk menyerang balik. Pedang Kael, yang telah ditempa dengan kekuatan khusus dari segel Elarya, menembus tubuh makhluk-makhluk itu, menghancurkan mereka satu per satu.

Namun, pertempuran ini tidak mudah. Setiap kali satu makhluk dihancurkan, dua lagi muncul di tempatnya.

“Elarya, perisaimu tidak akan bertahan lama!” Kael berteriak, melihat cahaya perisai itu mulai meredup.

“Aku tahu!” jawab Elarya, keringat mengucur di wajahnya. “Tapi aku tidak punya pilihan lain.”

Namun, tepat ketika perisai itu hampir runtuh, suara lain bergema dari tengah kamp.

“Cukup sudah!”

Zephar, pria berjubah hitam yang sebelumnya memberi peringatan, muncul kembali. Dengan satu gerakan tangannya, ia menciptakan pusaran angin gelap yang menyapu makhluk-makhluk itu. Dalam hitungan detik, semuanya lenyap, seperti debu yang ditiup angin.

Kael mendekatinya dengan cepat, pedangnya terangkat. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Zephar menatapnya dengan dingin. “Aku sudah mengatakan bahwa kegelapan akan datang. Tapi kalian terlalu lambat untuk bersiap.”

“Kau tahu ini akan terjadi, tapi kau tidak memberitahu kami apa-apa!” Kael balas berseru.

Zephar menghela napas. “Aku hanya bisa memberikan peringatan. Sisanya tergantung pada kalian. Jika kalian ingin bertahan, pemilik segel harus siap menghadapi takdirnya. Itu berarti...”

Ia memandang Elarya dengan tajam. “...dia harus memilih antara kekuatan segelnya atau nyawanya sendiri.”

Pilihan yang Berat

Setelah Zephar menghilang, Kael kembali ke tenda bersama Elarya. Wanita itu tampak lemah setelah mengerahkan kekuatannya, tetapi matanya tetap memancarkan keteguhan.

“Kael,” ujarnya pelan.

“Apa?” Kael menggenggam tangannya erat.

“Aku harus menemukan cara untuk mengendalikan segel ini. Jika tidak, kita semua tidak akan selamat.”

Kael menggeleng, suaranya penuh emosi. “Aku tidak peduli dengan dunia jika itu berarti kehilanganmu.”

Elarya menatapnya dengan lembut, meski air mata menggenang di sudut matanya. “Tapi aku peduli, Kael. Dunia ini adalah tempat di mana anak kita akan tumbuh. Aku tidak bisa membiarkan mereka hidup dalam ketakutan.”

Kael terdiam, hatinya bergulat antara cinta dan logika.

“Kalau begitu, kita akan melakukannya bersama,” ujarnya akhirnya. “Apa pun itu, aku akan berada di sisimu.”

Dan dengan itu, pasangan itu bersiap untuk menghadapi perjalanan terakhir mereka—perjalanan yang akan menentukan nasib mereka, dunia, dan masa depan anak mereka.

1
Murni Dewita
👣
monoxs TM7: terimakasih sudah berkunjung
total 1 replies
Amanda
Memberi dampak besar
monoxs TM7: terimakasih sudah berkunjung
total 1 replies
Odette/Odile
Kereen! Seru baca sampe lupa waktu.
monoxs TM7: terimakasih sudah berkunjung
total 1 replies
Ainun Rohman
Karakternya juara banget. 🏆
Zxuin: bagus
monoxs TM7: terimakasih sudah berkunjung
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!