Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah yang tertunda
Bayu tidak bisa menepis perasaan aneh yang menggerogoti dirinya setelah pertemuan di kafe. Rara, dengan segala ketegasan dan keinginannya, terus menghantui pikirannya. Sesuatu yang selalu ia coba hindari kini terasa semakin dekat dan tidak bisa ia hindari.
Pagi itu, setelah bangun dan mempersiapkan diri untuk kuliah, Bayu berusaha kembali ke rutinitasnya. Meskipun begitu, ada perasaan tidak nyaman yang terus menempel. Apalagi setelah kejadian kemarin, ia merasa ada jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Rara.
Di kampus, Bayu berjalan menyusuri lorong menuju kelas. Seperti biasa, teman-temannya sudah berkumpul di depan ruang kuliah. Dimas, Adit, dan Rika sedang bercanda sambil menunggu dosen datang. Begitu melihat Bayu, mereka langsung menyapa dengan semangat.
“Bayu! Gimana kabar lu?” tanya Dimas, sambil menepuk punggungnya.
“Sehat, sih,” jawab Bayu singkat, berusaha menghindari pembicaraan lebih lanjut.
Adit tertawa kecil. “Ayo, Bayu, jangan bikin kami penasaran. Lu tuh lagi bingung soal Rara, ya?”
Bayu tersentak, matanya menatap Adit dengan terkejut. “Gue nggak... maksud gue, gue nggak ngerti apa yang lu maksud.”
“Jangan bohong, Bayu,” Riko ikut berbicara, “Gue bisa lihat dari cara lu berinteraksi sama Rara. Lu lagi bingung antara logika dan perasaan, kan?”
Bayu mendelik. “Gue nggak bingung! Gue cuma nggak ngerti.”
Adit tertawa lagi. “Tapi kita semua tahu, Bayu. Lu tuh kadang kalau ngomong filsafat terus, malah bikin makin bingung. Cobalah sekali-sekali buka hati buat orang lain.”
Bayu mendesah dan duduk di bangku yang tersedia. “Gue nggak tahu soal itu. Gue cuma tahu apa yang ada di kepala gue, bukan di hati.”
Riko mengangguk pelan. “Ya, itu sih yang bikin Rara mikir dua kali, Bayu. Lu itu terlalu terjebak sama logika. Tapi, pada akhirnya, lu bakal tahu juga kalau kadang perasaan itu lebih penting.”
Bayu terdiam, menatap meja kuliah. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di telinganya. Ia merasa bingung. Rara. Apa yang dia rasakan? Apa yang sebenarnya ia inginkan dari hubungan ini?
Kuliah berjalan seperti biasa, tapi Bayu tidak bisa fokus. Dalam kelas filsafat, dosen sedang membahas pemikiran Kant tentang moralitas dan etika, tapi semua yang bisa Bayu pikirkan adalah Rara. Perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya itu mengusik segala logika yang selama ini menjadi landasan hidupnya.
Ketika bel tanda istirahat berbunyi, Bayu langsung keluar kelas dan menuju taman kampus. Tempat itu selalu memberikan ketenangan, jauh dari segala keramaian. Namun, ketika ia duduk di bangku taman itu, perasaan cemasnya semakin kuat.
“Bayu?” suara itu datang dari belakangnya. Bayu mendongak dan melihat Rara berdiri di sana, tersenyum dengan wajah penuh harapan.
Bayu terdiam. “Rara...”
Rara melangkah mendekat, duduk di sebelah Bayu. “Gue cuma pengen ngobrol, nggak lebih.”
“Apa yang lu mau omongin?” Bayu bertanya, sedikit curiga.
“Kenapa lu menjauh?” tanya Rara, langsung mengarah ke topik yang sudah menjadi beban di dalam dirinya.
Bayu mengalihkan pandangannya. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. “Gue nggak menjauh, Ra. Gue cuma bingung.”
“Bingung soal apa?” Rara menatapnya dengan mata yang serius. “Bingung soal perasaan kita berdua?”
Bayu mengangkat bahu. “Gue nggak ngerti soal itu. Gue nggak ngerti tentang hubungan. Gue cuma bisa paham yang ada di kepala gue, bukan yang ada di hati.”
“Lu nggak harus paham semuanya, Bayu,” jawab Rara dengan lembut. “Terkadang kita hanya perlu merasa dan ikut arus. Gue nggak minta banyak. Gue cuma minta kamu ada untuk gue.”
Kata-kata itu menyentuh hati Bayu, tapi ia tetap tidak bisa mengerti. Mengapa harus seperti ini? Mengapa perasaan bisa begitu membingungkan? Bukankah semua hal bisa dijelaskan dengan logika?
“Lu pikir gue bisa begini, Ra?” tanya Bayu, matanya mengalihkan pandangan ke sisi lain. “Lu pikir gue bisa cuma mengandalkan perasaan? Gue nggak ngerti soal itu.”
Rara menunduk, sepertinya mencoba menahan air mata. “Aku nggak pernah bilang kamu harus ngerti. Tapi aku yakin, kalau kamu nggak coba, kamu nggak akan tahu.”
Bayu merasa dadanya sesak. “Ra, gue...”
“Udah, nggak perlu dijelasin,” kata Rara sambil tersenyum pahit. “Aku cuma mau kamu tahu, kalau aku nggak akan menyerah.”
Bayu hanya bisa terdiam, matanya terpaku pada Rara yang perlahan bangkit dari tempat duduk. Rara menatapnya sekali lagi dengan tatapan yang tidak bisa ia artikan. “Sampai ketemu lagi, Bayu.”
Rara berjalan pergi, meninggalkan Bayu yang masih terdiam, merasa lebih bingung daripada sebelumnya.
Setelah kejadian itu, Bayu mencoba untuk kembali ke rutinitasnya. Namun, ia merasa terjebak dalam pikirannya sendiri. Semua kata-kata yang diucapkan Rara terus terulang dalam benaknya. Ia tahu ia harus memutuskan sesuatu, tapi keputusan itu sulit sekali diambil.
Malam itu, Bayu duduk di kamarnya, memegang buku filsafat di tangan, namun tidak ada satu pun kalimat yang bisa ia baca. Semua yang ia pikirkan hanya tentang Rara dan perasaan yang tidak bisa ia kendalikan.
“Kenapa gue begini?” gumam Bayu pada dirinya sendiri. “Kenapa gue nggak bisa cuma mikir seperti biasa? Kenapa gue harus peduli soal perasaan?”
Dia membuka sebuah buku catatan yang pernah ia tulis di masa lalu. Buku itu berisi catatan tentang berbagai hal—termasuk kehidupan, filsafat, dan pandangannya tentang dunia. Tapi malam itu, satu catatan tertentu menarik perhatian Bayu.
“Cinta bukan hanya tentang kata-kata, tapi tentang tindakan.”
Bayu memejamkan matanya. Tindakan. Mungkin itu yang kurang dalam hidupnya. Mungkin ia terlalu terpaku pada logika dan lupa bahwa kadang-kadang, yang terpenting adalah keberanian untuk merasakan sesuatu.
Bayu meletakkan buku itu, lalu bangkit dari tempat tidurnya. Ia merasa seakan ada sesuatu yang perlu ia lakukan. Namun, langkah itu terasa berat. Ia tahu Rara masih menunggu—menunggu untuk melihat apakah Bayu akan melangkah ke arah yang sama.
Tapi Bayu tidak tahu apakah ia siap. Apakah ia siap untuk membuka dirinya pada sesuatu yang selama ini ia hindari?
Langkah pertama selalu yang paling sulit.