Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pilih Vanue yang tepat
Mereka berdua akhirnya sepakat untuk menggunakan taksi online setelah beberapa kunjungan ke tempat-tempat lain yang memiliki karakteristik berbeda. Setelah memesan mobil lewat aplikasi, mereka melanjutkan perjalanan ke tempat selanjutnya. Joko tetap merasa canggung berurusan dengan para vendor, sementara Vina yang lebih percaya diri tetap fokus pada perencanaan.
Saat mereka tiba di tempat terakhir yang mereka kunjungi, Joko merasa lebih lega karena tempat itu lebih terjangkau, meskipun tetap memiliki kualitas yang cukup baik.
“Jadi, Vin, ini yang lo pilih?” tanya Joko sambil mengangkat alis, melihat gedung besar dengan desain yang agak mewah di depannya. “Ini kayaknya lebih cocok buat gala dinner daripada resepsi pernikahan kita, deh.”
Vina tersenyum, mengangguk pelan. “Ini cuma pilihan pertama, Jok. Kita lihat dulu. Jangan langsung menilai dari luar, ya?”
Joko menghela napas, menahan rasa canggung yang mulai merayap. Sebagai orang yang lebih suka hal-hal yang sederhana, dia merasa tak nyaman berada di tempat yang begitu mewah. Sementara Vina terlihat antusias, seolah sudah membayangkan dirinya mengenakan gaun pengantin, berdansa dengan Joko di tengah ruangan besar itu.
Mereka memasuki ruang lobi yang luas, dihiasi dengan chandelier besar yang berkilauan. Seorang resepsionis mendekat dengan senyuman ramah, menawarkan brosur.
“Selamat datang! Senang sekali Anda bisa mampir. Apa yang bisa kami bantu?” tanyanya dengan sikap profesional.
Vina tersenyum, “Kami ingin melihat venue untuk resepsi pernikahan kami.”
“Silakan mengikuti saya,” jawab resepsionis, mempersilakan mereka menuju ruang utama yang luas dan mewah. Joko merasa sedikit gelisah, terutama setelah melihat harga-harga yang tercantum di brosur yang baru saja diberikan.
Setelah melihat-lihat beberapa saat, Vina bersemangat. “Jok, lihat deh. Ruangan ini sempurna, kan? Bisa jadi tempat pernikahan yang indah.”
Joko mengangguk pelan, tapi tetap tampak ragu. “Tapi... harganya tuh... bikin jantungan, Vin. Kita bisa beli mobil bekas dengan harga sewa ruangan ini.”
Vina tertawa ringan, menepuk pundaknya. “Iya, harga memang nggak murah. Tapi kita cari tempat yang pas untuk kita. Yang penting, kita pilih yang sesuai sama anggaran, bukan cuma yang ‘wah’ aja.”
Joko mengangguk pelan, mencoba untuk mengerti, meskipun hatinya masih berat. Mereka melanjutkan perjalanan ke beberapa tempat lainnya, namun setiap kali mereka melihat tempat baru, Joko merasa semakin canggung. Berurusan dengan vendor-vendor yang sangat profesional membuatnya merasa seperti anak kecil yang baru pertama kali berurusan dengan dunia pernikahan.
Di satu tempat, mereka bertemu dengan seorang vendor catering yang sangat antusias dan menjelaskan berbagai pilihan menu dengan detail yang luar biasa.
“Jadi, kita punya pilihan mulai dari prasmanan ala Eropa sampai masakan lokal dengan cita rasa yang beragam. Ada juga opsi makanan ringan dan minuman beralkohol, tentu saja.” Vendor tersebut terus menjelaskan dengan penuh semangat.
Joko melirik Vina dengan canggung. “Jadi, kita pilih antara lasagna atau rendang, nih?”
Vina menahan tawa, memutuskan untuk tidak menghentikan lelucon Joko. “Kita coba pilih yang terbaik, ya, Jok. Nggak usah terlalu stres. Ini bukan ujian.”
Setelah beberapa kunjungan ke tempat-tempat lain yang memiliki karakteristik berbeda, mereka akhirnya mulai menemukan tempat yang sesuai dengan impian mereka—mewah, tetapi tetap dalam anggaran yang bisa mereka jangkau.
Namun, tantangan terbesar belum selesai. Mencari tempat yang memiliki kualitas baik dan sesuai dengan anggaran mereka tetap memerlukan banyak perhitungan dan kompromi.
“Aduh, Vin, gue rasa kita bakal ngegali tanah buat cari uang kalau terus begini,” kata Joko, merasa kesal setelah akhirnya mereka harus memilih antara dua tempat yang saling berbeda.
Vina menepuk tangannya di meja, mencoba mengingatkan Joko agar tetap tenang. “Jangan khawatir, Jok. Kita bisa kok, asal kita bijak. Kalau kita nggak ambil tempat yang mewah, kita bisa tambahin sedikit di dekorasi biar tetap keren.”
Joko menghela napas, mulai bisa menerima ide tersebut. “Ya udah, kalau gitu. Semoga aja nanti gak ada kejutan biaya tambahan yang bikin kita pusing.”
Mereka berdua akhirnya sepakat memilih sebuah tempat yang lebih terjangkau namun tetap memiliki kesan elegan dan sesuai dengan impian mereka. Saat keluar dari gedung terakhir yang mereka kunjungi, Vina tersenyum puas.
“Yuk, kita pulang. Tadi udah banyak banget yang kita pelajari. Ini langkah besar pertama,” kata Vina dengan semangat.
Joko hanya mengangguk, sedikit lega karena akhirnya mereka bisa membuat keputusan. “Iya, semoga aja semua ini nggak bikin kita bangkrut sebelum menikah.”
Vina tertawa, “Gue yakin kita bisa ngatur semuanya, Jok. Kita berdua pasti bisa.”
Saat mereka berjalan menuju taksi online, Joko meraih tangan Vina dan menggenggamnya. “Terima kasih udah sabar banget sama gue, Vin. Mungkin gue lebih sering bingung, tapi gue tahu lo selalu tahu apa yang terbaik.”
Vina tersenyum manis. “Gue juga senang bisa ngelewatin semua ini bareng lo, Jok. Kita sama-sama kok, nggak cuma lo yang usaha.”