NovelToon NovelToon
Room Service

Room Service

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Selingkuh / Model / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Karir
Popularitas:11.3k
Nilai: 5
Nama Author: Yeppeudalee

Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lubang Jurang

📍Mvvo Entertainment

-Ruangan Presedir-

“Hanya tersisa satu bulan lagi saja, Pak, untuk rapat pemilihan Pak Reymond sebagai CEO selanjutnya,” ujar Endrick sambil melirik tumpukan dokumen di tangannya.

Mattheo, yang duduk di balik meja kerjanya, terdiam. Tatapannya menerawang ke luar jendela, sementara jemarinya mengetuk pelan permukaan meja. Ada guratan keraguan di wajahnya, meski ia berusaha menyembunyikannya.

“Bapak yakin ingin melanjutkan ini?” tanya Endrick lagi, mencoba memecah kebekuan. Suaranya terdengar hati-hati, nyaris seperti bisikan.

Mattheo menghela napas panjang. “Kita lihat saja… sejauh apa dia berjalan,” jawabnya, suaranya datar, namun matanya memperlihatkan pergulatan batin.

Ia menyandarkan tubuhnya di kursi kulit hitam di belakangnya, berusaha tampak tenang meski pikirannya kacau. Endrick hanya mengangguk kecil, memahami bahwa tidak ada lagi yang perlu dikatakan.

Ketukan di pintu memecah suasana.

“Masuk,” ujar Mattheo, suaranya tegas kembali.

Pintu terbuka, dan Mr. Tano melangkah masuk. Ia membawa aura serius yang langsung mengubah atmosfer di ruangan itu.

“Jadi… bagaimana, Pak Mattheo?” tanyanya tanpa basa-basi.

Mattheo menatap pria di depannya, lalu mengisyaratkan agar Tano duduk. “Prihal keinginan Anda, saya masih memikirkannya,” ujar Mattheo sambil merapikan dasinya. “Pengajuan itu… bukankah tidak ada sejak awal?”

Tano tersenyum tipis, tetapi matanya tetap serius. “Itu alasan saya menarik niat untuk bekerja sama dengan Anda, Pak Mattheo. Saya merasa Anda tidak menyukai kebijakan yang saya ajukan.”

Mattheo memiringkan kepala sedikit, mencoba membaca maksud dari pernyataan itu. “Tidak semua talent di bawah naungan ini memiliki penggemar besar di Jepang. Itu fakta. Tapi dengan program kerja sama ini, anda tahu kalau saya berharap mereka mendapatkan lebih banyak perhatian di sana.

Tano mengangguk. “Benar. Dengan target pasar yang spesifik, saya yakin anda bisa mencapainya.” Kembali, Tano menatap serius Mattheo. “Prihal itu, saya pikir kita perlu realistis. Kita tidak bisa memaksa pasar Jepang untuk menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan selera mereka. Justru talenta-talenta Anda yang harus menyesuaikan diri. Pasar adalah raja, pak Mattheo. Kalau tidak, kita hanya buang waktu.”

Mattheo terdiam sejenak, lalu menyandarkan tubuhnya kesandaran kursi. “Saya mengerti maksud Anda. Tapi itu berarti saya perlu dukungan penuh dari Anda untuk memastikan mereka bisa bersaing di pasar tersebut.”

Mr. Tano memandang Mattheo tajam, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, saya akan mempertimbangkannya pak Mattheo. Mari kita lihat dulu apa yang mereka bawa ke meja.”

Mattheo tersenyum tipis, mencoba untuk tenang di dalam situasi itu. “Baik, saya tunggu kabar baik dari Anda.”

Mattheo hanya mengangguk sambil memperhatikan pria itu bangkit dari kursinya dan meninggalkan ruangan. Begitu pintu tertutup, ia kembali menyandarkan punggungnya dan memejamkan mata.

Pikirannya kembali pada satu nama. Reymond.

“Sial… kenapa semuanya berantakan seperti ini.” Gumam Mattheo, yang mencoba untuk menenangkan dirinya.

Dia seperti dikepit dengan situasi yang perlahan-lahan tidak membuatnya nyaman.

****

-Lobi Perusahaan-

Langkah cepat dan penuh percaya diri itu segera menarik perhatian seorang wanita muda yang berdiri di dekat pilar marmer. Yubin, dengan blazer krem yang pas membalut tubuhnya, memandang ke arah Mr. Tano dari kejauhan. Ada kerutan samar di dahinya, menandakan kecemasan yang sulit ia sembunyikan.

Tatapannya tidak lepas dari pria itu, yang tampak begitu leluasa melangkah melewati karyawan lain. “Mereka benar-benar bekerja sama…” gumamnya pelan, suaranya tenggelam oleh hiruk-pikuk lobi perusahaan.

Yubin menggigit bibirnya, matanya sedikit menyipit. Kekhawatiran itu semakin jelas ketika ia melihat Mr. Tano berjalan menuju ujung pintu keluar dengan langkah tegas.

Tiba-tiba, seolah menyadari dirinya diawasi, Mr. Tano melirik ke sudut ruangan tempat Yubin berdiri. Senyum tipis menghiasi wajahnya, begitu halus namun sarat makna.

Yubin terpaku. Senyum itu seperti sengaja ditujukan hanya padanya, dan tidak ada orang lain yang menyadarinya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tubuhnya sedikit tegang.

“Kenapa dia harus memperhatikan aku?” bisiknya pada dirinya sendiri, nadanya penuh dengan rasa waspada.

Mr. Tano melangkah keluar, meninggalkan Yubin dengan pikirannya yang semakin berkecamuk.

Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Tapi di dalam hatinya, ia tahu. Kehadiran pria itu di perusahaan ini bukan kebetulan, dan mungkin akan mengubah banyak hal.

“Jangan sampai kalau dia mengatakan pertemuan ku dengannya di depan pak presedir. Bisa-bisa, menjadi kehancuran untukku.” Ucapnya dengan cemas, pada dirinya sendiri. “Tapi… dia bukan orang yang seperti itu, kan? Kemarin… dia menolongku.” Ucapnya kembali, meyakinkan dirinya kalau tidak terjadi apa-apa.

****

-Ruangan Presedir-

“Reymond! Akhirnya kamu tiba, Nak,” ujar Mattheo dengan nada yang terdengar hangat, meskipun sorot matanya menyiratkan kecemasan yang berusaha ia sembunyikan.

Reymond berjalan masuk dengan langkah santai. Ia menatap Mattheo, lalu menyunggingkan senyum kecil. “Ada apa, Papa Mertua?” tanyanya sambil merapikan ujung jasnya.

Mattheo menghela napas panjang, tangannya menggenggam tepi meja. “Mr. Tano tadi datang,” katanya, suaranya sedikit bergetar.

Reymond mencondongkan tubuh ke depan, seolah memberi perhatian penuh. “Lalu?” tanyanya datar, nadanya sulit diterka.

“Dia mengubah pikirannya,” jawab Mattheo, mencoba terdengar tenang. “Dia meminta talent-talent kita untuk mengikuti pasaran Jepang. Dia ingin kita menyesuaikan diri dengan selera mereka.”

Reymond mendengarkan dengan tenang. “Bukannya memang sudah seharusnya begitu, Pa? Kita perlu mengikuti kebutuhan pasar, bukan?” tanyanya, nada suaranya nyaris retoris.

Mattheo mendadak terduduk, tangan kanannya mengusap wajahnya. “Tidak bisa seperti itu, Reymond,” katanya dengan nada frustrasi. “Mereka yang harus menyukai talent, idol, atau aktor kita apa adanya. Kalau kita terus mengikuti pasar mereka, kita tidak tahu ada berapa banyak permintaan gila yang harus kita penuhi. Apa kita harus menyerah pada semua keinginan mereka?”

Ruangan mendadak hening. Tegangnya suasana itu terasa jelas, meskipun Reymond tetap tampak santai. Matanya menatap Mattheo lekat-lekat, memperhatikan setiap gerakan kecil pria paruh baya itu.

Di balik ketenangannya, Reymond menyembunyikan sebuah rencana besar. Ia membiarkan semua ini terjadi—dengan sengaja. Setiap langkahnya telah dirancang untuk menekan Mattheo hingga pria itu tidak punya pilihan selain menarik diri.

Reymond bersandar di kursi, wajahnya penuh keyakinan. “Mungkin Papa terlalu terbiasa mendapatkan segalanya sesuai keinginan,” ujarnya pelan, nadanya hampir seperti sindiran.

Mattheo mendongak, menatap menantunya dengan mata penuh kewaspadaan.

Reymond melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih serius. “Kalau perusahaan ini ingin bertahan, kita harus berhenti berpikir bahwa dunia akan selalu menyesuaikan diri dengan kita. Apa yang Papa sebut prinsip, mungkin hanya alasan untuk menutupi kelemahan.”

Mattheo terdiam, kata-kata itu terasa seperti pukulan telak.

Namun, bagi Reymond, ini lebih dari sekadar diskusi bisnis. Ia tahu betul dosa-dosa Mattheo—dosa yang menghancurkan banyak orang di sekelilingnya. Perempuan-perempuan yang menjadi korban pelecehan, orang-orang yang dihancurkan Mattheo demi kekuasaan. Semua itu membuat Reymond semakin yakin bahwa pria di depannya harus belajar menerima konsekuensi atas semua tindakannya.

Reymond tersenyum samar, seolah menyimpan rahasia. “Saya yakin Papa akan menemukan cara. Papa selalu punya cara, bukan?” katanya dengan nada tenang.

Mattheo hanya terdiam, punggungnya terasa lebih berat dari sebelumnya. Di ruangan itu, Mattheo terjebak dalam pikirannya sendiri, perlahan sadar bahwa dia sedang dipermainkan oleh seseorang yang lebih pintar darinya.

Dan… keresahan dari Endrick sebelumnya, terlihat jelas saat ini. Reymond, terlihat seperti ingin menghancurkan dirinya, begitulah yang ada di dalam pikirannya. Dimana dia sendiri pun tidak tahu, pembicaraan apa yang terjadi diantara Reymond dan Mr. Tano yang berubah pikiran dan malah menekan dirinya.

****

-Ruangan Presedir-

“Aaaaarrrgggh! Sialan!” teriak Mattheo sambil menghentakkan tangannya ke meja. Tumpukan dokumen berhamburan ke lantai, pena-pena terjatuh, dan gelas kopi di sudut meja terguling, menyisakan noda kecokelatan di atas permukaan kayu mahal itu.

Wajah Mattheo memerah, napasnya tersengal, seperti seseorang yang baru saja kalah telak dalam pertandingan. Ia menyapu pandangan ke sekeliling ruangan, frustrasi, sebelum tiba-tiba menyambar sebuah bingkai foto di mejanya dan melemparkannya ke dinding. Bunyi kaca pecah memenuhi ruangan.

Endrick, yang berdiri di sudut, menelan ludah. Ia menatap presedirnya dengan hati-hati, takut memprovokasi lebih jauh. Tapi ia tahu, jika ia diam saja, semuanya akan semakin buruk.

“Pak, Bapak harus menghentikan keinginan Pak Reymond untuk menjadi CEO di perusahaan ini,” kata Endrick dengan nada tegas, meskipun ada sedikit keraguan dalam suaranya. Ia melangkah maju, tapi tetap menjaga jarak aman. “Sebelum semuanya terlambat.”

Mattheo menatapnya tajam, matanya penuh dengan kemarahan dan—untuk sesaat—kepanikan. Ia mendengus, lalu berbalik, berjalan ke arah jendela besar di belakang mejanya. Dengan tangan gemetar, ia menekan pelipisnya, mencoba meredakan pikirannya yang berputar-putar tanpa kendali.

“Endrick, kamu pikir saya tidak tahu?” katanya, suaranya kini lebih rendah, hampir seperti geraman. “Saya tahu ada yang tidak beres. Anak itu… Reymond… Dia bukan sekadar menantu. Dia musuh dalam selimut.”

Endrick diam, menunggu.

Mattheo membalikkan badan, menatap langsung ke arah sekretarisnya. “Tapi apa yang bisa saya lakukan sekarang? Dewan sudah mendukungnya, sahamku tidak cukup kuat untuk memblokirnya, dan sialnya… dia punya cara untuk memikat semua orang!”

Endrick melangkah mendekat, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Kita masih punya waktu, Pak. Tapi Bapak harus bertindak sekarang. Jangan biarkan dia mengambil kendali perusahaan ini.”

Mattheo tersenyum sinis, lalu tertawa kecil, sebuah tawa tanpa kebahagiaan. “Bertindak? Apa maksudmu, Endrick? Mau saya apa? Membunuhnya? Atau menghancurkannya seperti saya menghancurkan yang lain?”

Kata-kata itu membuat Endrick menegang. Ia tahu betapa kejamnya Mattheo bisa bertindak, tapi ini berbeda. Ini adalah tanda seorang pria yang mulai merasa kehilangan kendali, sesuatu yang jarang terlihat darinya.

“Tidak, Pak. Kita tidak perlu sejauh itu,” jawab Endrick hati-hati, suaranya sedikit bergetar. “Kita hanya perlu menemukan celah… sesuatu untuk menjatuhkannya sebelum dia menguasai semuanya.”

Mattheo terdiam. Ia memandang ke arah kaca yang kini memantulkan bayangan dirinya. Seorang pria tua yang pernah menjadi raja di kerajaannya sendiri, tapi kini berdiri di ambang kehancuran yang ia ciptakan sendiri.

“Kamu benar, Endrick,” gumamnya akhirnya, dengan nada rendah. “Saya harus menghentikannya. Kalau tidak, dia akan menghancurkan segalanya… termasuk saya.”

Endrick mengangguk, meskipun di dalam hatinya, ia tahu bahwa langkah ini hanya akan membawa mereka berdua ke dalam pertempuran yang lebih gelap.

Mattheo menghela napas panjang, membungkuk untuk mengambil pecahan bingkai foto yang ia pecahkan. Namun, ketika ia menatap foto itu—foto dirinya bersama Reymond di sebuah pesta keluarga—tatapannya berubah.

“Anak itu…” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. “Dia datang untuk menghancurkan saya.”

1
Alfi Syahfira
/Smile//Smile//Smile/
Kairawu
Motifnya rey itu apa ya ke emily aduh tapi susah ditolak juga
Farldetenc: Ada karya menarik nih, IT’S MY DEVIAN, sudah End 😵 by farldetenc
total 1 replies
Kairawu
Hidupnya emily maju kena mundur kena kasian 😭
Pandagabut🐼
pak Presdir, kamu mengerikan...
Miralee
🫶🏻🫶🏻🫶🏻
Kairawu
Yeay aku baca disini
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!