Caroline Blythe Berasal dari keluarga Broken Home dengan ibu yang harus masuk panti rehabilitasi alkohol. Hidup sebatang kara tidak punya kerjaan dan nyaris Homeless.
Suatu ketika mendapat surat wasiat dari pengacara kakeknya bahwa beliau meninggalkan warisan rumah dan tanah yg luas di pedesaan. Caroline pindah ke rumah itu dan mendapatkan bisikan bisikan misterius yang menyeramkan.
Pada akhirnya bisikan itu mengantarkan dirinya pada Rahasia kelam sang kakek semasa hidup yang mengakibatkan serentetan peristiwa menyeramkan yang dialaminya di sana. Mampukah Caroline bertahan hidup di Rumah tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leona Night, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasib Yang Tragis
Caroline’s POV
Pagi masih gelap, aku merasakan hawa dingin yang begitu menusuk. Aku terbangun tepat pukul lima pagi. Suasana masih sepi. Aku merasa masih sangat ngantuk. Maklum semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak setelah melihat bayangan orang berdiri didepan pintu. Aku takut ada maling atau orang jahat yang datang dan mendobrak pintu kamarku.
Cahaya matahari masih temaram terlihat dari jendela kamarku. Hari ini adalah hari kedua aku bekerja di toko roti nenek Luisa. Aku jadi bersemangat menjalani hidup jika mengingat itu. Maklum biarpun pekerjaan itu memberiku salary kecil, namun setidaknya masih bisa aku gunakan untuk bayar listrik, air dan makan. Targetku hanyalah bisa bertahan hidup dan membiayai perawatan rumah ini. Selebihnya aku belum sanggup memikirkannya.
Kembali pada bayangan hitam di depan pintu yang menggangguku semalam. Aku sungguh merasa cemas. Bagiku lebih baik jika itu hantu, dari pada manusia jahat. Hidup bersama hantu di rumah ini, bagiku lebih baik ketimbang berurusan dengan tindak kriminal. Ya Tuhan, sampai kapan aku harus menghadapi kehidupan macam ini.
Aku duduk di tepi tempat tidur dan mengusap wajahku beberapa kali. Ingin rasanya aku mendapatkan kehidupan berbeda, dunia yang berbeda, bukan dunia serba kekurangan di rumah tua ini. Perlahan aku beranjak berjalan kedepan jendela kamar dan membuka gordennya, lalu membuka jendela dua pintu itu lebar lebar. Cahaya matahari yang belum terik, memasuki kamarku dan menerangi isinya.
Aku memandang ke luar jendela. Di ketinggian kamarku ini, aku bisa melihat pemandangan Pegunungan diseputar Ravenwood yang nampak biru menjulang. Dibawahnya aku lihat perkebunan jagung, apel dan anggur terbentang luas. Rasanya damai melihat semua ini.
Aku jadi ingat perkataan Harry waktu itu. Dialah yang menyarankan padaku kamar ini.
“Sebaiknya kau pilih ruangan ini untuk kau jadikan kamar tidurmu. Selain luas sehingga terasa lapang, pencahayaan dan udara segar bisa masuk dari jendela ini. Kamu juga bisa melihat pemandangan yang indah dari atas ini,” ujar Harry waktu itu.
Tidak bisa aku pungkiri, Harry sudah banyak membantuku. Dia bahkan satu satunya orang yang membantuku di saat sulit. Aku tidak tahu harus berkata apa. Jika ditanya apakah aku masih mencintainya? Pasti aku masih cinta padanya. Kami sudah saling jatuh cinta sejak kecil. Mana mungkin aku bisa melupakannya begitu saja. Namun aku juga tahu diri, perbedaan kami begitu besar. Dia anak orang kaya dan berpendidikan tinggi, sekarang bahkan punya perusahaan sendiri di bidang konstruksi dengan pendapatan yang amazing.
Sementara aku? Hanya tukang sapu dan pel di sebuah toko kue kecil di desa terpencil macam Ravenwood. Masa depanku suram, aku tidak punya kesempatan untuk berkembang. Aku hanya berfokus pada menyambung hidup dari hari ke hari. Jika hari ini aku bisa makan mengisi perutku, lalu aku bisa menyisihkan uang untuk membiayai rumah ini, itulah prestasi terbesarku.
Dengan kehidupan macam ini, tentu saja aku merasa diriku tidak layak menjadi pendamping Harry. Aku juga tidak ingin bergantung padanya. Aku ingin kehidupan yang mandiri, yang aku perjuangkan dengan kedua tanganku sendiri. Sudah cukup hinaan dan caci maki yang aku dapat dari ibunya. Aku juga tidak ingin membuat Harry malu karena harus mempunya mertua dengan mental illnes yang sekaligus alcoholic. Ya Tuhan, Hidupku sungguh tragis.
Lelah memikirkan hidupku yang tragis dan tidak ada solusi, aku pun beranjak meninggalkan jendela dan keluar dari kamar itu lalu menuju dapur. Sejenak aku lupa dengan peristiwa menakutkan semalam. Aku melihat keliling rumah tua yang besar ini,semuanya tampak baik baik saja. Tidak ada pintu dan jendela yang rusak, tidak ada barang hilang, dan semua terkunci rapat. Artinya bayangan semalam besar kemungkinan bukan manusia. Kalau bukan hantu, maka itu pasti halusinasi ku saja.
Aku segera memasak air, membuat sarapan untuk ku sendiri dan bersiap berangkat kerja ke toko roti. Tepat pukul 8 pagi aku sudah berangkat. Mood Ku sudah mulai membaik. Sepanjang jalan menuju tempat kerjaku, aku berpapasan dengan beberapa penduduk desa yang masih melihat aneh padaku. Mereka seperti menduga aku orang yang kurang waras. Maklum, aku tinggal di rumah tua yang sudah puluhan tahun kosong dan dicap sebagai rumah iblis memang bukan hal yang wajar.
Sampai di toko roti, aku lihat Willy sudah membuka pintu depan. Tampaknya dia tahu aku akan segera datang. Tanpa babibu, aku masuk dan langsung mengambil sapu dan alat pel. Untung toko ini tidak luas. Sehingga hanya dalam 30 menit, seluruh lantai sudah bersih. Sisa waktu aku gunakan untuk membantu nenek Luisa di dapur memanggang roti dan menata yang sudah matang di lemari Showcase. Aroma vanila dan coklat yang mengepul dari roti roti ini membuat perutku kembali keroncongan. Maklum aku tadi hanya sarapan teh panas saja.
Pelanggan hari itu pun datang silih berganti. Mulai dari take away sampai yang makan ditempat. Aku pun bekerja mengurus pesanan mereka, membersihkan piring dan meja kotor serta membantu Willy Packing semua pesanan kue. Willy pria yang baik. Dia siusiaku, dia seorang sarjana Pastry dari i universitas ternama di London. Pernah bekerja di resto mewah di sana, bahkan di kapal pesiar. Saat ini dia sedang menunggu panggilan kerja dari sebuah hotel yang kapan hari membuka lowongan kerja sebagai Pastry Chef.
Saat makan siang, aku dan willy bergantian makan. Toko kue sedang tidak begitu ramai. Aku menggantikan dia di Kasir, sementara willy makan kue dan sup nya di dekat ku.
“Caroline, tidak kah kau takut tinggal di rumah tua peninggalan kakekmu?” tanya Willy
Aku menoleh padanya, tepat saat dia memasukkan sendok sup ayam itu ke mulutnya.
“Aku tidak punya pilihan Willy. Kalau dibilang takut, pasti aku takut. Mana ada wanita tidak takut tinggal di rumah tua sebesar itu. Aku sejatinya lebih suka tinggal di satu kamar saja seperti di toko ini, sehingga bebanku juga tidak berat. Tetapi rumah itu diwariskan padaku. Aku merasa bertanggung jawab mengurusnya, entah sampai kapan,” jawabku
“Aku rasa kau perlu berhati hati tinggal di sana Caroline. Selain area di sana sepi, juga karena kepercayaan masyarakat sekitar bahwa ada Iblis jahat yang tinggal di rumah itu. Konon kabarnya rumah itu sering digunakan kakekmu untuk melakukan ritual pengorbanan manusia pada iblis. Maaf kakek mu punya reputasi yang menyeramkan di desa ini.” terang Willy
“Aku tahu hal itu Willy, tapi aku bisa apa ?” tanyaku padanya
“Aku hanya tidak ingin kau mengalami hal hal yang tidak mengenakkan di rumah itu. Aku juga tidak ingin kamu mengalami hal buruk, seperti masuknya orang jahat atau sejenisnya. Mungkin kau bawa saja tongkat kasti milikku yang sudah tidak terpakai di dapur. Bawa itu bersamamu ketika kau tidur. Sehingga jika ada apa apa kau tinggal pukulkan saja pada maling atau setan yang mengganggu,” ujarnya dengan nada yang lucu.
Berdua kami tertawa terbahak bahak dan ketika pulang, Tongkat kasti itu aku bawa. Rasanya lumayan aman, pulang lewat tempat yang sepi dengan tongkat kasti di tangan.
*****
Hari sudah gelap ketika aku sampai di rumah. Suasana tampak lengang dan gelap. Tadi pagi aku lupa menyalakan lampu ruang tamu. Sekarang rumah tampak gelap gulita dari luar. Kuputar Handle pintu masuk, setelah terlebih dahulu membuka kuncinya.
Udara dingin dari dalam menamparku seperti memberi ucapan selamat datang. Entah mengapa, malam ini aku sempat merasakan keraguan memasuki rumah tua ini. Namun aku mau tidur dimana? Aku beranikan diri masuk dan mencari panel lampu lalu segera menyalakannya. Perasaan lega menyeruak ketika ruangan itu terang benderang.
Namun tak lama aku mendengar bisikan random dari berbagai arah seolah ada ratusan orang yang mengitariku dan berbisik bisik padaku. Aku tidak mampu menangkap apa yang mereka katakan. Tapi bisikan itu begitu berisik, sampai membuatku pusing. Spontan aku menutup telingaku dan memejamkan mataku. Lalu aku berteriak,
“Diam kalian semua, diaaam”
Mendadak suasana menjadi tenang. Tak lama aku mencium aroma Cedarwood yang sering aku cium, termasuk saat bayangan hitam berdiri di depan pintu kamar ku waktu itu. Aroma itu begitu keras, hingga tanpa sadar aku kembali berteriak,” Pergi kau pergi!!” sambil tetap menutup mata dan telingaku.
Terdengarlah suara berdehem, dari arah pintu depan ”Ehem…Caroline”
Aku sangat terkejut, darahku seperti mengalir dari atas ke bawah dan menimbulkan sensasi hangat di jantungku. Seketika aku menoleh ke arah asal suara,yaitu dari depan pintu masuk. Aku melihat Charles di sana. Oh My God. akhirnya ada manusia yang peduli padaku.
Secepat kilat aku menubruk Charles dan memeluknya erat, Sembari Berkata, “Charles, aku takut,” Aku sudah tidak peduli apakah Charles menyukainya atau tidak. Paling tidak ada orang yang datang dan menemaniku malam ini. Aku menangis di dadanya yang dingin, mungkin karena dia tidak pakai jaket dan terkena angin malam selain bajunya memang sangat tipis.
Agak lama, mungkin dia tertegun atau kaget, sebelum akhirnya Charles juga memelukku. Aku merasakan kehangatan di hatiku, walaupun pelukan Charles menebarkan hawa dingin yang membuat tubuhku sedikit menggigil. Namun setidaknya aku tidak sendiri lagi sekarang.
******