Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
IG: @Ontelicious
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Gue Siap Nikahin Lo, Val
Ponsel Valeska terus bergetar di atas tempat tidur, menampilkan nama yang sama: Vincent. Entah ini sudah panggilan ke berapa, tapi jelas lelaki itu tidak berniat menyerah.
“ARGH! Kenapa sih nelpon terus?! Bukannya udah jelas kalau aku lagi MARAH? Aku nggak akan maafin kamu secepat itu, Pak Vincent Yang Terhormat!” gerutu Valeska sambil menatap layar ponselnya dengan kesal.
Ditelan emosi, dia melempar ponselnya ke kasur, lalu bersedekap dengan pandangan galak ke arah jendela yang terbuka. Suara getaran HP itu masih terdengar, mengisi ruangan yang kini sepi.
"Iiih, kenapa ditelpon terus, Ya Tuhaaan!" gerutunya frustasi
“Angkat dulu teleponnya, baru marahin gue secara langsung,” tiba-tiba suara bariton itu muncul entah dari mana.
“Astaga!” Valeska langsung melompat dari tempat tidur, matanya mencari sumber suara yang rasanya terlalu familiar. “Pak Vincent?!”
Dan di sanalah lelaki itu. Berdiri di balik jendela, dengan ekspresi datar, tangan masih memegang ponsel di telinga.
“ASTAGA! BENERAN PAK VINCENT?!” Valeska hampir menjerit, matanya melotot tak percaya.
“Yo!” Vincent melambaikan tangan santai, wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Kenapa nggak diangkat telepon gue? Apa lo lagi sibuk sama si Sam itu?” tanyanya sambil mengangkat alis.
Valeska hanya bisa bengong. Ini CEO Everleigh, yang selalu tampil perfeksionis dan elegan? Sekarang dia berdiri di samping jendela rumahnya, seperti karakter film drama?
......................
Sekarang Valeska dan Vincent sudah duduk berhadapan di sebuah kafe dekat rumahnya. Valeska dengan es kopi yang belum tersentuh, sementara Vincent terlihat terlalu santai untuk seseorang yang baru saja muncul tiba-tiba di jendela orang.
Valeska menatap kosong ke kopinya, tak ada niat untuk memulai pembicaraan. Vincent di depannya hanya bersedekap, menatap Valeska tanpa berkedip.
“Masih mau diam aja?” Vincent membuka suara duluan.
“Emang kenapa kalau saya diam?” Valeska memalingkan wajah, malas menanggapi.
Vincent menghela napas. “Gue cuma mau bicara baik-baik, Val. Gue nggak nyari ribut.”
“Lalu kenapa Pak Vincent muncul di rumah saya kayak maling?” balas Valeska ketus.
“Karena lo nggak mau angkat telepon gue!” Vincent bersandar di kursinya, nadanya masih tenang meski jelas mulai kesal. “Ini satu-satunya cara buat ketemu lo.”
“Yah, karena saya nggak pengen ketemu lagi,” potong Valeska dengan nada lebih tajam.
Vincent mengangguk, mencoba sabar. “Oke. Gue ngerti lo marah. Gue ngerti lo kecewa sama gue. Tapi, setidaknya kasih gue kesempatan buat ngejelasin.”
Valeska mendengus, menatapnya sekilas. “Mau ngejelasin apa, sih? Semua udah jelas. Anda cuma peduli sama diri sendiri. Selama ini udah bohongin saya. Pura-pura bersikap baik, tapi ternyata itu semua cuma karna merasa bersalah!”
Vincent mengerti. Ia tak ingin membela diri sama sekali. “Kalau lo mau marah, marah aja sekarang. Lo mau maki gue, siram gue pake kopi, atau bahkan banting meja ini, gue pasrah. Tapi gue cuma mau satu hal, Val...” Vincent mencondongkan tubuh ke depan, matanya menatap Valeska tajam. “Maafin gue.”
“Maafin?” Valeska tertawa sarkastik, menatap Vincent penuh sindiran. “Menurut anda, semudah itu?”
“Kalau nggak mudah, kasih tahu gue. Gue harus gimana biar lo mau maafin gue?”
Valeska terdiam, jari-jarinya mengaduk es kopi tanpa niat meminumnya. Sejujurnya, dia sendiri tidak tahu jawabannya.
Melihat Valeska hanya diam, Vincent memutuskan untuk mengambil langkah besar. “Kalau lo butuh tanggung jawab, gue siap.”
Valeska mengangkat alis, bingung. “Tanggung jawab apa maksudnya?”
“Gue siap nikahin lo, Val.”
“Hah?!” Valeska mendongak cepat, mulutnya terbuka lebar. Sekejap kemudian, dia tertawa sinis, hampir terbahak. “SERIOUSLY? Jadi solusi buat semua ini adalah nikah?”
“Ya terus gue harus gimana? Gue tahu gue udah nyakitin lo. Gue tahu gue salah besar. Tapi gue nggak mau kehilangan lo, Val.” Vincent menatapnya serius, wajahnya yang biasanya dingin kini terlihat penuh penyesalan.
Valeska menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Vincent dengan pandangan skeptis. “Anda pikir saya bakal bahagia kalau dinikahin?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Vincent terdiam, seperti baru saja menerima pukulan keras.
Bahagia. Itu dia jawabannya.
Vincent akhirnya tahu apa yang harus dia lakukan. Dia harus membuat Valeska bahagia. Dan apapun itu, dia siap melakukannya.
“Gue akan bikin lo bahagia, Val. Itu janji gue.”
Valeska memutar matanya, lalu kembali fokus ke es kopinya. “Lihat aja nanti,” gumamnya, pelan tapi penuh sindiran.
......................
Vincent memandangi cangkir kopinya yang tinggal separuh, sementara punggung Valeska perlahan menghilang di kejauhan. Napas panjang keluar dari hidungnya. Sejak kapan hidupnya jadi serumit ini hanya karena satu perempuan?
Dia meraih ponselnya. Cuma ada satu orang yang bisa dia andalkan saat ini, Desta.
Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol panggilan cepat. Suara Desta langsung terdengar di ujung sana.
“Yo, bos. Ada apa?” sapa Desta, terdengar santai.
“Lo dimana?”
“Gue lagi sama Zoey. Kenapa?”
“Zoey? Kok bisa sama lo?” Vincent mengernyit heran.
“Tante Melani lagi butuh waktu sendiri. Lagian ada Om Baskara di rumah.”
Vincent memijat pelipisnya. Nama itu—Baskara—selalu bikin mood-nya buruk. Kalau kedua orang tua itu lagi bersama, pasti ada drama besar. Vincent sudah hafal. Mereka pasti sibuk saling lempar ancaman, siapa yang lebih unggul dalam perseteruan keluarga ini.
“Hhh.” Vincent menghela napas panjang.
Desta, yang sepertinya menangkap nada suntuk sahabatnya, langsung bertanya, “Lo kenapa? Suara lo kayak abis dihajar tagihan kartu kredit. Lo dimana?”
“Baru aja ketemu Valeska,” jawab Vincent.
Di sisi lain, Desta terdengar meminta izin pada Zoey untuk ke toilet. Pasti dia mau obrolan ini lebih privat. Setelah suara pintu tertutup, Desta kembali.
“Gimana? Dia maafin lo?”
“Belum. Masih marah. Gue udah bilang mau tanggung jawab, bahkan bilang gue siap nikahin dia.”
Hening beberapa detik, lalu... Desta meledak tertawa. “HAHAHA! Gila lo, Vin!”
Vincent mengerutkan dahi. “Apaan sih? Kenapa lo ketawa?”
“Anak SMA diajakin nikah, ya jelas dia nggak bakal terima, lah!” Desta tertawa makin keras. “Lo pikir lo lagi main sinetron apa?”
Vincent mendengus kesal. “Gue cuma mau dia tahu gue serius, Des.”
“Serius apaan? Lo tuh kayak bocah abege yang baru nonton drama Korea!” Desta mengejek tanpa ampun.
“Terus gue harus gimana kalau gitu?” Vincent membalas dengan nada frustasi.
Desta terdiam sejenak, lalu berkata, “Hmmm, gue ada ide. Lo kasih dia hadiah. Cewek suka tuh kalo dikasih sesuatu.”
“Hadiah apa?” tanya Vincent cepat.
“HP. Anak muda suka HP mahal keluaran terbaru. Beli yang itu aja. Sekalian tambah sebuket bunga biar sweet.”
Vincent mengangguk, meski Desta tak bisa melihatnya. “Bagus juga ide lo. Ya udah, lo yang urus semuanya.”
“Lah, kok gue?!” Desta protes.
“Karena lo temen gue. Siapa lagi yang bisa gue percaya? Udah, gue ada meeting satu jam lagi. Jangan lupa bunganya, Des!” Tanpa menunggu jawaban, Vincent langsung memutuskan telepon.
Di sisi lain, Desta menatap ponselnya dengan wajah tak percaya. “Dasar gila! Seenaknya kasih tugas pas gue lagi— argh!"
Desta menggeram kesal lalu keluar toilet. Ia melirik ke arah Zoey, yang masih bersandar santai di tempat tidur dengan selimut membungkus tubuhnya.
“Udah nelponnya?” tanya Zoey tersenyum kecil.
Desta hanya mengangguk, melempar ponsel ke meja terdekat. “Gue gak ngerti kenapa gue masih temenan sama si Vincent. Hidupnya drama banget.”
Zoey tertawa kecil, tapi tatapan matanya kini berubah menggoda. “Kalo gitu, jangan pikirin dia lagi. Fokus sama gue aja.”
Desta tersenyum miring. Dia menghampiri Zoey dengan langkah santai, melepas handuk yang melilit pinggangnya, lalu membiarkan sisa siang itu dipenuhi permainan mereka berdua di suite room hotel.
......................
Vincent menatap layar laptopnya di kantor. Meeting barusan selesai, tapi pikirannya masih tertuju pada Valeska. Gadis itu terlalu keras kepala, tapi itulah yang membuatnya menarik.
“Hadiah HP, bunga, terus apalagi ya?” gumamnya sendiri. “Apa gue harus sekalian beliin dia kucing? Cewek suka kucing, kan?”
Dia tersenyum kecil membayangkan reaksi Valeska. Apa dia bakal langsung melunak? Atau malah makin kesal sama Vincent?
Buru-buru Vincent segera menulis 'kucing' di bucket list hadiah untuk Valeska sambil mencari ide kejutan lainnya.
...****************...
inget,Val!! jngan mudah melunaak 😎
udah lah Val emang paling bener tuh mnyendiri dulu,sembuhin dulu semuanya smpe bner" bs brdamai dg keadaan tp engga dg manusianya😊💪
bpak mau daftar??🙂