NovelToon NovelToon
TARGET OPERASI

TARGET OPERASI

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Bullying di Tempat Kerja / Mata-mata/Agen / TKP / Persaingan Mafia
Popularitas:547
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?

Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 : Hashtag - Trending Topic

Keesokan harinya, dunia maya tiba-tiba heboh. Di tengah ketenangan yang penuh ketegangan, sebuah postingan Twitter tiba-tiba meledak. Hashtag #SaveJessica, #JusticeForJessica, dan #IvanAnakPejabat langsung jadi trending topik. Seperti api yang membakar hutan kering, setiap orang berbondong-bondong mengomentari dan membagikan video yang memperlihatkan Ivan dengan perilaku kasar, mengecam, dan mengintimidasi Jessica. Netizen pun mulai mencurahkan hati mereka—dan tentu saja, cuitan penuh cemoohan ikut meramaikan jagat Twitter.

Tiba-tiba kantor polisi menjadi pusat perhatian, dengan telepon berdering tanpa henti. Ada yang menanyakan perkembangan kasus, ada yang menyampaikan "pendapat", bahkan ada yang sekadar ingin tahu apakah benar ada anak pejabat yang main-main dengan hukum. Setiap detik rasanya lebih sibuk dari pasar malam, dan petugas yang baru beberapa jam lalu menikmati sarapan sudah dibuat pusing tujuh keliling oleh berita yang beredar.

"Saya nggak tahu, Pak, tapi teleponnya nggak berhenti! Nggak ada waktu buat ngopi, semuanya jadi hot!" kata salah seorang petugas yang tengah menahan telpon yang terus berdering di meja.

Lalu, muncul komentar dari seorang netizen yang sepertinya sudah "mendengar bisik-bisik angin." "Denger-denger tim Gunawan yang menangani kasus ini sudah diganti tim lain yang lebih 'kooperatif'. Gimana sih, polisi? Apa ada yang bisa dibayar, gitu?"

Komentar ini langsung memicu ledakan seperti bom waktu. Netizen berbondong-bondong memberi dukungan pada Gunawan yang terkenal jujur dan tidak bisa dibayar, bahkan mengomentari "Kalau Gunawan nggak turun tangan, kita semua bakal jadi korban!"

Di ruangannya, Andika, sang kepala polisi, tiba-tiba merasa pusing kepala. Sambil memijat pelipisnya, dia berusaha menenangkan diri. Tak ada yang lebih bikin dia stress dari masalah yang melibatkan orang besar, apalagi anak pejabat.

Dengan berbagai komentar julid dan sarkas yang bertebaran, Andika—atasan Gunawan yang sedang menikmati secangkir kopi—tiba-tiba merasa dunia sekitarnya berputar lebih cepat. Kepala pusing, badan lemas, dan tubuhnya seolah terperangkap dalam perasaan ketakutan yang mendalam. "Kenapa bisa begini?" gumamnya, sambil memijat pelipisnya. Gigi gerahamnya sampai berdecit, seolah merasakan betapa susahnya menjaga citra institusi.

Tapi, di sisi lain, apa yang terjadi di media sosial ternyata menjadi berita baik bagi Gunawan dan timnya. Setelah seluruh kepolisian dikejutkan oleh netizen Konoha yang lebih brutal dari komentar makanan di media sosial, pimpinan tertinggi polisi akhirnya menginstruksikan agar kasus Jessica diselidiki kembali dengan serius. Dan lebih penting lagi, kasus ini harus dikembalikan kepada tim pertama yang menangani—tim Gunawan.

Sepertinya, media sosial sudah jadi instruktur yang lebih powerful daripada pangkat di kantor. Jadi, bisa dibayangkan betapa geger suasana pagi itu.

Di ruang tunggu, Gunawan dan timnya, yang hampir mati melakukan penyelidikan kasus narkoba selama tiga hari, tiba-tiba terbangun dari tidur mereka. "Apa?! Kita dapat kasus ini kembali?!" seru Rahmat yang hampir jatuh dari kursinya, membangunkan Arga yang terlelap di pojokan, dengan mulut menganga lebar dan bantal di wajah. Arga masih setengah sadar, dengan rambut kusut dan wajah yang seperti baru saja diculik oleh monster, melotot ke arah mereka. "Apa? Kasus Jessica? Dibalikin lagi ke tim kita?! Gue kira kita bakal diinstruksikan untuk menangani masalah di warteg!" Arga pun langsung bergegas, seolah baru menemukan harta karun.

Gunawan hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis, "Oke semuanya, kita selidiki ini dengan benar, tidak peduli meskipun dia anak pejabat. Jika dia bersalah, dia harus dihukum."

Sementara itu, Dedi dan Rahmat sudah berdiri sambil saling bertepuk tangan. "Akhirnya! Gak perlu lagi nyamar jadi gelandangan buat dapatin barang bukti narkoba yang enggak jelas," kata Dedi sambil mengangkat tangan seolah baru saja memenangkan Olimpiade.

Dengan penuh semangat, mereka bergegas menuju ruang interogasi, siap untuk mengembalikan keadilan bagi Jessica. Arga yang masih bingung, namun sekarang dengan semangat baru, ikut berlari, “Ayo kita selesaikan ini. Kita pasti bisa!”

...****************...

Dengan langkah pongah yang penuh percaya diri, Rini dan Dedi memasuki ruang interogasi seperti dua orang pahlawan yang baru kembali dari pertempuran. Pintu ruang interogasi terbuka dengan suara dramatis, diikuti dengan suara sepatu mereka yang menapak keras di lantai. Mereka melangkah ke dalam ruangan, tanpa sedikit pun ragu. "Keluar!" seru Rini kepada petugas polisi dari tim lain yang sedang asyik bercengkrama sambil memandangi hidangan mewah di meja.

Petugas yang baru sadar diusir tampak bingung dan protes, seolah tidak percaya apa yang baru saja terjadi. "Eh, ini kan bukan wewenang kalian!" salah satu petugas berkata dengan nada tinggi, mencoba menunjukkan otoritasnya.

Namun, Rini tetap melangkah maju dengan wajah tanpa ekspresi. Dengan suara dingin, dia berkata, "Ini adalah perintah langsung dari Jenderal Soewono." Nama itu seketika membuat semua petugas yang ada di ruangan terdiam. Nama yang sangat familiar di kalangan kepolisian, pemegang pangkat tertinggi yang bisa membuat siapa saja menunduk.

"Saya tantang kalian untuk protes kepada beliau," lanjut Rini sambil menyeringai. Suasana langsung berubah hening, seakan udara di ruang interogasi menjadi lebih berat. Semua mata tertuju pada mereka, tapi tidak ada yang berani membuka mulut.

Di meja yang penuh dengan hidangan mewah, Dedi langsung mengambil alih, seolah tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa ampun, dia mulai membuang sushi, kopi mahal, dan kue-kue fancy ke tempat sampah dengan semangat yang seolah-olah dia sedang membersihkan dapur setelah pesta besar. "Bersih-bersih dikit, ya. Makan sih boleh, tapi enggak gini juga," katanya sambil menyentak piring dari meja. Petugas dari tim lain hanya bisa menatap dengan mulut ternganga, kebingungan.

Ivan yang melihat semua ini langsung melotot marah. "Heh, itu makanan gue!!! Kalian tahu gak siapa gue?" teriaknya, sambil menunjuk ke arah Rini dan Dedi. "Bokap gue anggota DPR, kalian nggak bisa perlakuin gue kayak ini!" kata Ivan, sambil berdiri dan melangkah maju, mengacungkan jari ke arah mereka dengan kesal.

Rini hanya menatapnya dengan tatapan tajam dan senyum tipis di wajahnya. "Ah, itu sih masalah keluarga, Ivan. Kita di sini cuma bekerja. Jadi, saran saya... duduk manis aja, biar semuanya cepat selesai," jawabnya sambil mengacungkan satu jari ke atas, memberikan isyarat agar Ivan duduk kembali.

Menyadari bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan, Ivan duduk dengan kecut, sambil terus menggerutu tentang kekuatan ayahnya. "Breng-sek... Beraninya ngeremehin gue," umpatnya, tidak bisa menahan diri.

Rini dan Dedi saling berpandangan, merasa puas dengan cara mereka menguasai situasi. Suasana di ruang interogasi kini sepi, dan meskipun ada ketegangan, ada juga rasa geli yang muncul. Mereka tahu, meski tak terlihat, pertarungan ini baru saja dimulai. Tapi setidaknya, mereka sudah memulai dengan langkah yang tepat—membuat semua orang di ruangan ini tahu siapa yang sebenarnya memegang kendali.

...****************...

Rini dan Dedi memulai interogasi dengan penuh fokus, duduk berhadapan dengan Ivan yang kini tampak lebih gelisah dari sebelumnya. Di meja, pengacara Ivan, yang sepertinya memiliki lebih banyak koneksi daripada pengetahuan hukum, mulai menatap dengan tatapan yang penuh tekanan. Dengan senyum yang dipaksakan, pengacara itu membuka mulut, “Tunggu dulu, apa kalian yakin sudah mengikuti prosedur yang benar?”

Rini menatap pengacara itu seperti melihat sekumpulan semut yang mencoba menghalangi jalan. "Prosedur?" Rini mengulang, sambil melirik Dedi yang sudah menunduk, menahan tawa. “Prosedur itu bukan cuma kata-kata manis yang bisa kalian lempar begitu saja, Pak. Kita di sini bukan di panggung teater.”

Pengacara Ivan tersenyum canggung, mencoba bertahan. “Saya hanya memastikan hak-hak klien saya dilindungi,” katanya, dengan suara seolah sedang memberikan kuliah hukum kepada anak-anak baru lulus sekolah hukum.

Dedi yang dari tadi hanya diam, akhirnya tidak bisa menahan diri dan melontarkan komentar, “Hak-hak? Klien kamu ini kalau haknya dilindungi, nanti malah jadi bajingan besar!” kata Dedi, setengah bercanda namun penuh tekanan.

Rini yang sudah cukup sabar, mulai berbicara dengan nada yang semakin datar. “Kita di sini bukan untuk mendengar ceramah tentang hak-hak, Pak. Kita cuma ingin kebenaran. Kalau Ivan merasa tidak nyaman, ya silakan saja, nanti kita persilakan dia beristirahat di penjara sementara. Bagaimana, Pak?” Tangan Rini sudah siap menulis di atas kertas, menandakan dia sudah siap untuk bergerak lebih jauh.

Pengacara Ivan mendengus kesal, tetapi terdiam. Ini jelas bukan pertama kalinya dia menghadapi polisi, tapi kali ini sepertinya dia tidak punya banyak ruang untuk berkelit. Sementara itu, Ivan sendiri duduk di kursinya dengan dagu terangkat tinggi, seolah sedang berada di ruang rapat perusahaan, bukannya di ruang interogasi yang penuh ketegangan.

Namun, pengacara Ivan tampaknya belum menyerah. Dia mencoba satu kali lagi. “Jangan terlalu keras, bu. Kami ingin agar ini berjalan dengan cara yang lebih... sopan.”

Dedi yang mendengar itu langsung menimpali dengan gaya santai yang khas. “Sopan, katanya? Kalau kamu masih terus ngomong, nanti saya akan kasih pelajaran sopan santun yang berbeda.” Ia melirik Rini seolah memberi kode agar melanjutkan pertanyaan dengan lebih intens.

Rini, yang sudah cukup mengerti permainan, tidak menunggu lagi. Dengan senyum tipis di bibirnya, dia mulai menggali lebih dalam. “Ivan, kita tahu kamu punya banyak cerita. Tapi hari ini, kita ingin tahu satu hal saja. Bagaimana bisa kamu merasa tidak bersalah setelah semua yang terjadi? Kamu masih merasa bisa lolos dari ini semua?”

Ivan sempat tercekat, melihat Rini yang menatapnya dengan tatapan tajam, siap mengungkapkan kebohongannya. Pengacaranya mulai menggerakkan tangannya, seolah ingin menyelamatkan keadaan, namun kali ini, Rini lebih cepat.

“Jangan berusaha melindungi yang tak bisa dilindungi. Semua yang kamu lakukan akan terbongkar satu persatu.” Rini berkata tegas, hampir seperti komandan yang mengatur pasukan. “Kita sudah cukup sabar. Sekarang, jawab saja dengan jujur. Sisa waktu kamu di sini tidak panjang.”

Ivan akhirnya menelan ludah, matanya berputar ke kiri dan ke kanan, seolah mencari jalan keluar, namun sadar bahwa jalan itu sudah tertutup rapat.

Dedi menyeringai, "Jangan cuma duduk bengong, Ivan. Semuanya akan lebih ringan kalau kamu bersikap jujur. Kalau nggak, ya kita terpaksa lanjutkan dengan cara lain."

Pengacara Ivan terlihat semakin bingung. “Ini sudah melampaui batas, saya akan mengadukan kalian ke pihak yang lebih tinggi,” ancamnya dengan suara gemetar, seakan yakin dirinya bisa mengubah situasi.

Rini tertawa sinis, “Lapor saja. Kami sudah terbiasa.” Dan dengan itu, interogasi pun berlanjut, penuh tekanan, tapi dengan cara yang semakin tak terduga—karena meskipun serius, siapa pun yang terlibat di ruangan itu tahu, tidak ada yang bisa menghalangi Rini dan Dedi untuk menuntaskan kasus ini, bahkan kalau itu melibatkan tawa getir sekalipun.

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!