Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.
Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.
“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.
“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.
“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13. Kesalah pahaman
...Senyumku terhadapmu mulai pudar....
...Pelan tapi pasti menghilang tanpa sisa....
...Satu persatu ruang hampa dalam hatiku mulai terbuka....
...Tapi aku selalu menjadi bodoh jika itu tentangmu....
...Memintamu untuk mendekap hangat dengan penuh harap....
...(Ashan Keyra Zerrin)...
Asha sudah berada dalam mobil ayahnya, dia menurunkan kaca mobil untuk sejenak melihat pemandangan di luar. Tanpa sengaja dia memergoki Kafka dari kaca spion mobil sedang melihat kearahnya.
"Sayang, jangan lupa sabuk pengamannya." Malvin menjalankan mobilnya setelah memastikan putri sulungnya sudah mengenakan sabuk pengaman.
Asha menikmati setiap detik perjalanan dengan ayahnya hari itu, meskipun ayahnya sibuk namun dia tak pernah ke kurangan sosok ayah dalam setiap momentum hidupnya. Hanya saja untuk me time berdua memang sangat jarang, mengingat ayahnya yang sibuk dan mereka selalu pergi bersama keluarga lengkap. Malvin tidak langsung membawa Asha pulang, tapi mereka menuju PIM 1 lebih dulu untuk makan siang.
"Ayah, kakak mau pasta aja deh."
"Boleh sayang," ayah dan anak itu sudah berada di lantai satu PIM. Mereka menuju Nanny's Pavillon sebuah restoran dengan nuansa homey yang ada di lantai dua PIM.
Asha memilih menu green sausage pasta dengan minuman peach iced tea, Malvin dengan salmon baked rice dan iced americano. Mereka berbincang santai sembari menanti makanan mereka datang, Malvin mendengarkan dengan seksama setiap perkataan putrinya.
"Ayah, waktu itu ayah atau bunda yang jatuh cinta lebih dulu?" Asha mengulik kisah romansa masa lalu ayah dan bundanya.
"Sepertinya ayah yang lebih dulu suka sama bunda. Kami dulu bertemu pertama kali di Turki sayang, saat musim gugur. Ayah lebih dulu kembali ke Indonesia sementara bunda masih di Istanbul bersama mama Ze, bunda mengira tidak akan pernah bertemu lagi dengan ayah. Tapi rahasia takdir Allah itu indah sayang, ayah dan bunda akhirnya menikah dan lahir kakak, Cia dan Rion."
"Kak Kafka sepertinya benci Asha, yah." Malvin mengusap puncak kepala putrinya dengan lembut.
"Asha sudah tanya kak Kafka kenapa benci kamu nak?" Asha menggelengkan kepalanya.
"Asha hanya merasa kak Kafka selalu marah setiap kali Asha kasih bekal dan deket-deket dia," Malvin mencoba melihat dari cara pandang Asha maupun Kafka. Tentu setelah sebelumnya Maira menceritakan beberapa kejadian diantara mereka berdua.
"Sayang, kak Kafka mungkin tidak berniat seperti itu. Mungkin karena dia sudah kelas dua belas, seharusnya dia sedang fokus untuk ujian akhirnya. Mempersiapkan ujian masuk universitas itu tidak mudah, Asha harus lebih sabar menghadapi kak Kafka. Satu lagi pesan ayah, apapun yang Asha lalui selalu percaya kalau Allah selalu memberikan hal terbaik. Asha tidak bisa memaksakan siapapun untuk selalu bersama dan menyukai segala hal tentang Asha. Jika Asha sudah berusaha tapi hasilnya tetap sama, Asha hanya harus mengikhlaskan semuanya."
Asha mendengarkan semua perkataan ayahnya, mengingat setiap petuah yang ayahnya berikan hari itu. Benar, dia hanya harus berusaha lebih giat dan lebih bersabar lagi menghadapi Kafka. Jika memang suatu saat nanti dia harus berhenti maka dia tidak akan pernah menyesal karena setiap hal telah dia usahakan dengan sungguh-sungguh.
Ayah dan anak itu menikmati makan siang mereka hari itu, deep talk juga me time berdua dengan ayahnya di saat hatinya sedang resah adalah obat yang terbaik. Asha merasa lebih baik setelah mengutarakan semua hal yang sedang dia risaukan, kemudian mereka pulang kerumah
Satu minggu berlalu setelah kejadian siang itu, Asha tidak lagi mengekori Kafka saat pagi maupun saat pulang sekolah. Tapi dia masih tetap membuatkan bekal makan siang untuk Kafka, dia datang lebih awal dari sebelumnya. Memlilih menaruh bekal makan siangnya dalam laci meja Kafka sebelum semua anak kelas dua belas datang.
"Aku tidak akan berhenti sebelum kakak makan bekal buatanku." Asha menaruh note kecil diatas kotak bekalnya untuk Kafka.
Kafka menghela napas panjang melihat kotak bekal dengan tulisan diatasnya, satu minggu ini Asha memang tidak lagi mengekorinya. Tapi dia masih tetap membuatkan bekal makan siang dan selalu menaruhnya dalam laci mejanya, setelah kejadian siang itu Asha tidak terlalu menunjukkan dirinya di hadapan Kafka.
"Bekal lagi?" Revan baru datang dan melihat sahabatnya menghela napas, sudah pasti karena Asha.
"Mau Rev?" Kafka menyodorkan kotak bekal itu ke Revan.
"Gak usah, takut kena karma. Mending kamu makan deh, setelah itu Asha pasti gak akan buatin kamu bekal. Aku rasa dia sebenarnya tahu kalau bekal buatannya kamu kasih ke orang lain," Kafka menyimpan kotak bekal Asha karena jam pelajaran sudah mulai.
Kafka memikirkan perkataan Revan bahwa Asha dari awal tahu kalau dia tidak pernah makan bekal buatannya, mungkin itulah yang membuat Asha setiap hari jadi membuatkan bekal.
"Jam istirahat aku tunggu di dekat lapangan basket," Kafka mengirim pesan pada Asha. Kafka berpikir jika benar yang di katakan Revan, semua akan dia akhiri hari ini agar Asha tak lagi membuatkan bekal lagi.
"Oke," bibir Asha melengkung membentuk senyuman.
"Ih .. senyum-senyum sendiri, ada apa?" Nana heran dengan tingkah Asha yang tiba-tiba senyum-senyum.
"Kak Kafka nungguin aku di dekat lapangan basket nanti saat jam istirahat," Asha dan Nana kembali fokus pada pelajaran mereka.
Asha menghambur keluar kelas begitu jam istirahat tiba, dia berjalan santai dengan tenang karena memang dia tidak boleh lari mengingat cidera kakinya bisa kambuh. Saat menuju lapangan basket dia melihat Alena yang jatuh pingsan pada undakan tangga. Tidak memungkinkan untuknya memapah Alena sendirian, dia mencari pertolongan agar Alena bisa di bawa ke ruang kesehatan.
Bantuan datang dan mereka membawa Alena menuju ruang kesehatan, Asha juga ikut karena dia yang pertama menemukan Alena jatuh. Dia sadar setelah diperiksa dokter sekolah, beruntung tidak ada luka yang parah. Alena hanya mengalami lecet, dia pingsan karena syok tiba-tiba jatuh dari tangga.
Entah siapa yang melapor pada guru bahwa Alena jatuh karena di dorong seorang siswi. Saat guru datang dia sudah sadar, bu Eli menanyai siapa yang mendorongnya. Saat Alena mengatakan bahwa Asha yang mendorongnya sampai jatuh, Asha yang tadi menolongnya tapi dia yang malah jadi tertuduh.
"Asha, benar apa yang dikatakan Alena?"
"Tidak bu, bukan saya. Saya tadi mau kelapangan basket lalu melihat kak Alena pingsan, jadi saya minta tolong untuk membawa dia ke sini," Asha menjawab dengan cukup tenang karena memang dia tidak bersalah.
"Alena apa kamu yakin? yang kamu lihat adalah Asha?"
"Iya bu, saat itu saya lihat dia lari setelah mendorong saya. Tiba-tiba saya jatuh dan sebelum pingsan saya sempat melihat dia lari dan sepatunya sama dengan yang di pakai Asha saat ini."
Asha terkejut dengan pernyataan Alena, bagaimana mungkin dia lari-lari sedangkan dokter melarangnya. pihak sekolahpun sudah di beritahu oleh ayah dan bundanya dengan menunjukkan rekam medis dan riwayat kesehatan Asha. Walaupun hanya kepala sekolah dan guru olah raga yang mengetahu bahwa Asha tidak diijinkan mengikuti berbagai bentuk olah raga fisik yang berkaitan dengan kakinya. Asha masih dengan pendiriannya karena memang dia tidak bersalah, Nana yang mendengar itu langsung lari menuju ruang kesehatan sekolah.
Revan yang sedang berada di kantin mendengar anak-anak membicarakan tentang kejadian Asha mendorong Alena. Dia bergegas menuju Kafka yang ternyata masih menunggu Asha di dekat lapangn basket.
"Kaf Asha .. Asha katanya ngedorong Alena sampai jatuh di tangga dan pingsan. Mereka sekarang ada di ruang kesehatan." Kafka bangkit dari duduknya berlari menuju ruang kesehatan.
Nana sudah berada di ruang kesehatan memastikan Asha baik-baik saja, dia yakin Asha tidak mungkin melakukannya. Tapi keterangan dari Alena dengan bukti sepatu yang dipakai Asha membuatnya terpojok, meski begitu Asha tetap pada pendiriannya. Bu Eli memutuskan memberi hukuman pada Asha dengan lari sepuluh kali putaran di lapangan basket. Asha masih kekeh bahwa dia tidak bersalah, tapi tidak ada yang bisa membantunya saat ini karena bukti mengarah ke dia. Kafka dan Revan sampai di ruang kesehatan saat Asha masih berusaha membela dirinya.
"Saya tidak punya masalah dengan kak Alena bu, saya tidak punya alasan untuk melukainya."
"Kamu kan suka sama Kafka, bisa jadi kamu cemburu karena Alena dan Kafka dekat. Mereka juga tergabung dalam tim olimpiade yang sama dan satu kelas, kamu tiap hari selalu datang ke kelas dua belas meskipun Kafka sudah melarang." Asha mengepalkan kedua tangannya di samping menahan amarah terhadap salah satu kakak kelasnya.
"Kafka benar yang dikatakan Abel? Kamu sudah melarang Asha?" Kafka tak menduga dirinya ikut ditanyai sementara dia tidak tahu apa-apa. Sementara entah dari mana siswi lain muncul dan memperkeruh suasana, dia tiba-tiba mengatakan bahwa Asha hendak menuju lapangan menemui Kafka. Waktu dan kejadiannya sangat pas sekali saat Alena pingsan, mungkin setelah membuat Alena pingsan karena takut terjadi sesuatu akhirnya Asha miminta bantuan.
"Iya bu, memang saya sudah memintanya untuk tidak datang ke kelas."
"Alena kamu yakin kalau Asha yang mendorongmu?" setelah menjawab bu Eli, Kafka memastikan benarkah yang dilihat Alena adalah Asha.
"Aku yakin, karena aq sempat melihat sepatunya sebelum pingsan. Dia kemudian lari meninggalkanku, tapi aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba malah kembali menolongku. Sepatunya sama dengan yang dipakai Asha, Kaf kamu sudah mengenalku. Tidak mungkin aku berbohong, kita ada di tim yang sama dan selalu berdiskusi bersama dengan Revan juga." Asha tersenyum pilu melihat Kafka menatapnya dengan tatapan setengah curiga.
"Kenapa kamu melalukan itu Sha?" Hati Asha tersayat-sayat, tak pernah mengira Kafka mengatakan hal itu dari mulutnya.
"Kalau aku bilang aku tidak melakukannya apa kamu akan percaya kak? Kamu tidak bisa menjawabnya kan?" Asha tersenyum getir dengan sorot mata yang tajam menyembunyikan rasa sakit di balik ekspresinya.
Jika bisa dia ingin sekali segera berlari menjauh dari kerumunan orang di dalam ruangan itu, tatapan yang seolah menegaskan bahwa dia salah membuat harga dirinya semakin terluka. Terlebih Kafka yang dia harapkan dapat membantunya ternyata juga menatap curiga.