"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Hidup di Belanda dan aku tidak pernah ke luar rumah. Bahkan satu-satunya tetangga yang aku kenali hanyalah mama mertuaku, alias mama Arzio dan seluruh keluarganya.
3 bulan berjalannya pernikahan kami, aku merasa sangat bahagia. Seolah semua penantianku tidak sia-sia. Kepergian Dani membuatku mengenal Arzio dan setiaku membuatnya mengejarku.
Sekarang pria di depanku ini adalah suamiku. Dia yang sangat aku cintai. Entah apa alasannya. Satu yang pasti, aku merasa aman dan nyaman jika bersamanya.
Anak pertama kami lahir setelah 1 tahun pernikahan. Dia lahir tepat di tanggal pernikahan kami. Kami namai anak perempuan itu dengan "Aruna Sifa Tabelino"
***
Hari ini adalah hari ulang tahun Aruna yang pertama. Kami semua menunggu di rumah untuk merayakan bersama. Meksi kami harus menunggu Arzio pulang kerja di sore hari.
"Biasanya Jio pulang jam berapa, Ta?" tanya Mama Arzio.
"Biasanya sih jam 3-an, Ma. Tapi ini kok telat ya? Ga ngabarin juga," ucapku.
"Coba kamu telpon," balasnya.
Namun aku tak menuruti yang satu itu. Aku takut mengganggu.
Arzio pulang di saat yang sangat terlambat. Sebab semua orang sudah kecewa akibat menunggunya. Meski begitu kami tetap merayakan ulang tahun Aruna.
Sebagai hadiah ulang tahun Aruna, kami akan pulang ke Indonesia, sebab Aruna belum pernah bertemu dengan kedua orang tuaku. Kami akan berangkat minggu depan.
***
Sesampainya kami di Indonesia. Sewaktu kami dalam perjalanan dari bandara menuju kediaman orang tuaku, sebuah mobil van hitam mengikuti sejak dari awal keluar dari bandara.
"Perasaanku aja atau emang mobil di belakang, ngikutin kita ya?" tanyaku.
Arzio menoleh pada mobil tersebut. "Searah mungkin," jawabnya.
Mobil itu mendahului saat kami telah berhenti di depan rumah orang tuaku.
"Aruuunaaaaaa!" panggil ibuku begitu melihat kami turun dari mobil.
Aruna tanpa sengaja membenturkan kepalanya pada pintu mobil. Awalnya dia tidak menangis.
"Jangan diliatin!" tegasku pada Arzio.
Namun, Arzio tetaplah Arzio. "Aduhh! Anak papa! Sakit ya? Ga apa-apa!" jeritnya dan dalam sekejap Aruna meraung menangis di dalam pelukan papanya.
"Aduuhh! Kamu tuh Ta! Kalo anak kesakitan, diambil! Dicek ada yang luka apa ga!" omel ibuku.
"Dia tuh ga luka. Cuma hilang keseimbangan aja, kan wajar. Dia bisa kok bangkit sendiri, asal ga diliatin," balasku.
"Kalo dia luka kepalanya gimana?!" omel ibuku lagi.
Ah, aku malas berdebat.
Saat kami hendak masuk ke dalam rumah, aku kembali melihat mobil van itu berlalu. Mungkin hanya perasaanku saja.
***
Kami menginap di sini selama 2 minggu.
"Papapapapapa," ucap Aruna yang baru pandai berbicara.
"Jangan papa, mama! Mamamamamama!" ucapku.
"Papapapapa!"
"Mama, Sayang!"
"Papapapapa!"
"Una!" Arzio mengajari anaknya kata-kata baru.
"Una una unananananana!" Aruna bisa mengucapkannya.
Aku tersenyum gembira, meski dia belum bisa menyebut kata mama.
Kehidupanku sangat bahagia dan tentram bersama Arzio.
***
2 minggu terakhir, kami menginap di rumah nenek. Padahal aku baru pergi 2 tahun dari Indonesia. Ternyata nenek sudah semakin tua. Seharian beliau hanya berbaring di atas kasur.
"Uyut." Arzio mengajari anaknya lagi.
Aku berdiam menatap nenek. Aku tak kan merasa sebahagia ini tanpanya. Ibu tidak akan bisa memperbaiki ekonomi tanpa adanya sosok nenek.
"Kamu mau aku masakin apa beli?" tanyaku pada Arzio.
"Beli aja lah, biar ga ribet. Kamu mau makan apa? Biar aku yang pesen," balasnya.
"Aku nasi padang aja deh. Tapi daun singkongnya banyakin, lauknya rendang sama ayan kecap."
Arzio mengambil ponsel dan mulai berkutat. Setelah memesan makanan, dia lebih dulu menyiapkan makanan untuk Aruna. Karena budaya seperti ini memang sudah menjadi tabiat di Belanda. Para suami akan menyuapi anaknya makan.
Arzio menyuapi Aruna hingga gadis kecil kami merasa kenyang dan siap untuk bermain ke sana sini.
Setelah makanan yang Arzio pesan sampai, kami makan dengan tenang, sebab Aruna bermain di lantai. Dia terus berlatih melangkah sambil berkali-kali merayap tembok untuk berdiri.
"Ulang tahun kamu, kamu mau apa?" tanya Arzio.
"Mau kamu di samping aku terus dan selamanya," jawabku.
"Kan udah."
"Ya udah, kalo udah."
"Minta yang lain dong," paksanya.
"Lagi kepengen seblak yang dulu sering kita beli sih. 2 tahun aku ga makan seblak. Huuuu, sedih," godaku.
"Iya kita beli seblak. Tapi masa kado ulang tahunnya seblak, yang lain."
"Apa ya? Aku ga kepikiran kado," jawabku.
"Apa kek gitu."
"Mau bulan madu, ha ha!" godaku tak tahan untuk tertawa.
"Oke!" jawab Arzio dengan penuh semangat. "Mau ke mana? Kamu bilang aja!"
"Mau bulan madu tapi di sini-sini aja. Jangan ke luar negeri."
"Iya, kamu mau ke kota apa? Bilang aja."
"Ga ke luar kota juga. Yang deket-deket aja."
"Ya udah di sini aja! Nanti malem ya?" godanya.
"Dih! Katanya kado ulang tahun. Ulang tahun aku aja bulan depan!" bantahku.
"Ga apa-apa, sekarang DP dulu. Ntar pas ulang tahun kamu, kita bulan madu lagi," jawabnya membuatku tertawa lebih lepas.
***
Aruna kami titipkan kepada ibuku. Sementara aku dan Arzio malah pergi jalan-jalan naik motor Honda C70 berkeliling-keliling menikmati kota yang sudah berbeda. Bahkan semak dan hutan yang dulunya sering aku lalui, sekarang sudah menjadi gedung-gedung dan swalayan.
Kami membeli seblak dan menikmati hari seperti dulu sewaktu berpacaran.
"Masih pacaran sampe sekarang?" tanya abang tukang seblak.
"Udah punya anak, Bang," jawab Arzio cengengesan.
"Loh! Nikah jadinya berdua? Temen-temennya pada ke mana? Ga pernah keliatan," tanya abang itu lagi.
"Rina sama Xia ga pernah mampir sini lagi, Bang?" Aku malah balik bertanya.
"Kalo yang tomboy itu terakhir mampir 2 bulan yang lalu kayaknya. Kalo yang sipit itu hampir ga pernah ke sini udah bertahun-tahun," jawabnya.
Xia memang menghilang tanpa jejak setelah aku mengetahui bahwa Dani masih hidup. Dia tak memberi penjelasan apapun. Tiba-tiba semua akun sosial mediaku diblokir, bahkan nomor ponselku juga diblokir olehnya. Entah apa salahku. Padahal aku tidak akan marah padanya, aku hanya ingin tau apakah dia sudah tau sejak awal bahwa Dani masih hidup?
"Yang tomboy itu juga udah punya pacar. Ke sini bareng pacarnya waktu itu." Abang tukang seblak malah memulai ghibah.
"Masa sih, Bang?" tanya Arzio.
"Iya! Dilapin segala mulutnya waktu itu. Makan seblak doang belepotan. Kayaknya orang kaya itu cowoknya, ga pernah makan seblak," ejek si abang.
"Ha ha! Naik derajat si Rina," ejekku.
"Makan seblak masa mau pake sumpit." Si abang sampai geleng-geleng kepala.
"Namanya juga ga tau, Bang," balas Arzio.
"Berantem mulu sama si tomboy itu. Tapi abis berantem 5 menit, tiba-tiba bucin ayang-ayang gitu. Dia yang pacaran, saya yang pusing ngeliatnya."
"Ha ha!" Aku semakin tertawa mendengarnya.
Siapakah gerangan laki-laki yang tidak beruntung itu? Ha ha.