Fitriyani Nurjannah adalah seorang guru honorer selama 15 tahun di SMA 2 namun ia tak pernah menyerah untuk memberikan dedikasi yang luar biasa untuk anak didiknya. Satu persatu masalah menerpa bu Fitri di sekolah tempat ia mengajar, apakah pada akhirnya bu Fitri akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjenguk Siswa yang Sakit
Fitri melangkah masuk ke kelas X A dengan wajah sedikit prihatin. Ia berdiri di depan kelas, menatap murid-muridnya yang sudah duduk rapi di bangku masing-masing.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Fitri dengan suara lembut. "Hari ini Ibu ingin menyampaikan sesuatu yang penting untuk kalian."
Murid-murid X A pun menatap Fitri dengan penuh perhatian. Mereka penasaran dengan apa yang ingin disampaikan oleh wali kelas mereka.
"Seperti yang kalian lihat, hari ini kita tidak lengkap," kata Fitri. "Salah satu teman kita, Chikita, tidak bisa masuk sekolah karena sakit demam berdarah."
Mendengar kabar tersebut, beberapa siswa terlihat terkejut dan khawatir. Mereka langsung teringat akan Chikita, teman mereka yang selalu ceria dan suka membantu.
"Iya, Bu, Chikita memang sudah beberapa hari tidak masuk sekolah," kata salah satu siswa. "Kami semua khawatir dengan keadaannya."
"Ibu juga sangat khawatir dengan Chikita," kata Fitri. "Oleh karena itu, Ibu ingin mengajak kalian semua untuk memberikan bantuan kepada Chikita."
Fitri kemudian menjelaskan bahwa ia ingin mengumpulkan sumbangan dari siswa-siswa X A untuk membantu biaya pengobatan Chikita. Ia meminta bantuan Sandy dan Reno, ketua dan wakil ketua kelas, untuk mengkoordinir pengumpulan sumbangan ini.
"Ibu harap kalian semua bisa berpartisipasi dalam kegiatan ini," kata Fitri. "Bantuan kalian sangat berarti bagi Chikita dan keluarganya."
Sandy dan Reno pun langsung bergerak cepat. Mereka berkeliling kelas dengan membawa kotak sumbangan. Siswa-siswa X A dengan sukarela memberikan sumbangan mereka. Ada yang memberikan uang, ada juga yang memberikan makanan atau minuman.
"Terima kasih atas kepedulian kalian, anak-anak," kata Fitri dengan mata berkaca-kaca. "Ibu sangat bangga dengan kalian."
Fitri kemudian berjanji akan menyampaikan sumbangan yang terkumpul kepada keluarga Chikita. Ia juga berpesan kepada siswa-siswa X A untuk selalu menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan agar tidak ada lagi teman mereka yang sakit demam berdarah.
"Jaga kesehatan ya, anak-anak," kata Fitri. "Jangan lupa untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan agar kita semua terhindar dari penyakit."
****
Selepas pulang sekolah, Fitri mengajak Sandy, Reno, dan beberapa siswa lainnya untuk menjenguk Chikita di rumah sakit. Mereka berkumpul di depan gerbang sekolah dengan membawa bingkisan berisi buah-buahan dan makanan ringan.
"Ayo, kita berangkat sekarang," kata Fitri dengan semangat. "Semoga Chikita cepat sembuh dan bisa kembali ke sekolah."
Mereka pun naik angkutan umum menuju rumah sakit tempat Chikita dirawat. Sesampainya di sana, mereka langsung menuju kamar tempat Chikita dirawat.
Di kamar rumah sakit, mereka bertemu dengan kedua orang tua Chikita. Mereka terlihat sangat sedih dan khawatir dengan kondisi Chikita.
"Assalamualaikum, Pak, Bu," sapa Fitri dengan sopan. "Kami datang untuk menjenguk Chikita."
Kedua orang tua Chikita menyambut kedatangan Fitri dan teman-temannya dengan hangat. Mereka sangat berterima kasih atas perhatian dan kepedulian mereka terhadap Chikita.
"Terima kasih sudah datang menjenguk Chikita," kata ibu Chikita dengan suara bergetar. "Chikita sangat senang punya teman-teman seperti kalian."
Fitri dan teman-temannya memberikan bingkisan yang mereka bawa kepada orang tua Chikita. Mereka juga menyampaikan doa dan harapan agar Chikita segera sembuh.
"Kami semua sayang sama Chikita, Pak, Bu," kata Sandy. "Kami ingin dia cepat sembuh dan bisa bermain lagi bersama kami."
"Kami juga rindu dengan Chikita," timpal Reno. "Kami ingin dia segera kembali ke sekolah dan belajar bersama kami."
Kedua orang tua Chikita sangat terharu mendengar perkataan dari teman-teman Chikita. Mereka tidak menyangka bahwa Chikita memiliki teman-teman yang begitu peduli dan menyayanginya.
"Kalian memang anak-anak yang luar biasa," kata ayah Chikita. "Kami sangat berterima kasih atas kebaikan kalian."
Fitri dan teman-temannya pun berpamitan kepada orang tua Chikita. Mereka berjanji akan terus memberikan dukungan dan doa untuk kesembuhan Chikita.
"Kami akan selalu ada untuk Chikita, Pak, Bu," kata Fitri. "Kami akan menjenguknya lagi nanti."
Setelah itu, mereka pun meninggalkan rumah sakit dengan hati yang lega. Mereka senang bisa memberikan bantuan dan dukungan kepada Chikita dan keluarganya.
****
Di ruang guru, Bu Ida, Bu Vivi, dan Bu Nilam memperhatikan Fitri yang sedang bersama anak-anak didiknya bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit. Mereka bertiga langsung berkerumun, berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arah Fitri.
"Lihat itu, Fitri sok sekali," celetuk Bu Ida, memulai gunjingan. "Pura-pura peduli pada siswa, padahal aslinya cari muka saja."
Bu Vivi, yang selalu ikut sependapat dengan Bu Ida, langsung menimpali. "Betul sekali. Dia selalu ingin terlihat paling baik di antara kita. Padahal, semua guru juga peduli pada siswa, hanya saja tidak perlu diumbar-umbar seperti itu."
Bu Nilam, yang terkenal paling sinis, menambahkan, "Iya, sok dermawan. Padahal, sumbangan dari siswa juga dia yang pegang. Siapa tahu ada udang di balik batu."
Mereka bertiga terus saja menggunjing Fitri, mencari-cari kesalahan dan kekurangan Fitri. Mereka iri dengan Fitri yang selalu terlihat dekat dan disayangi oleh murid-muridnya.
"Dia itu terlalu berlebihan," kata Bu Ida lagi. "Semua hal harus dipamerkan. Lihat saja, menjenguk siswa sakit saja harus mengajak semua murid. Biar apa coba?"
"Mungkin biar dapat pujian dari orang tua siswa," sahut Bu Vivi. "Biar dianggap guru yang peduli."
"Atau mungkin biar dapat promosi jabatan," timpal Bu Nilam. "Siapa tahu dia punya ambisi jadi kepala sekolah."
Mereka bertiga tertawa sinis, merasa puas telah menemukan celah untuk menjatuhkan Fitri. Mereka memang tidak pernah menyukai Fitri yang selalu terlihat sempurna di mata siswa dan rekan-rekan guru lainnya.
"Sudahlah, biarkan saja dia dengan segala tingkahnya," kata Bu Ida akhirnya. "Yang penting, kita jangan sampai seperti dia. Kita harus tetap menjadi diri sendiri."
Meskipun demikian, mereka tetap saja terus memperhatikan Fitri yang sudah berangkat menuju rumah sakit bersama murid-muridnya. Tatapan mereka penuh dengan rasa iri dan dengki.
****
Bu Asri menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah ketiga guru senior itu pada Fitri. Ia sudah berulang kali mengatakan bahwa Bu Ida dan yang lain terlalu iri dan berburuk sangka pada Fitri. Padahal, Fitri itu memang niatnya tulus ingin membantu siswa-siswanya. Namun, Bu Ida, Bu Vivi, dan Bu Nilam selalu saja menanggapi perkataan Bu Asri dengan sinis.
"Kalian ini kenapa sih selalu berburuk sangka pada Fitri?" kata Bu Asri dengan nada kesal. "Fitri itu orangnya baik, dia tulus ingin membantu siswa-siswanya."
"Alah, tulus apanya," sahut Bu Ida dengan sinis.
"Semua juga tahu dia itu cuma cari muka saja."
"Iya, sok peduli," timpal Bu Vivi. "Padahal, di belakang kita juga dia ngomongin kita."
"Tahu dari mana?" tanya Bu Asri dengan nada tinggi. "Jangan suka menuduh orang kalau tidak ada bukti."
"Sudahlah, Bu Asri," kata Bu Nilam dengan nada mengejek. "Kami sudah tahu kok bagaimana aslinya Fitri itu."
Bu Asri menghela nafas panjang. Ia sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya menyadarkan ketiga guru senior itu. Mereka sudah terlalu dibutakan oleh rasa iri dan dengki pada Fitri.
"Terserah kalianlah," kata Bu Asri akhirnya. "Tapi, ingat, jangan sampai kalian menyesal nanti kalau sudah menyakiti hati Fitri."
Bu Asri kemudian meninggalkan ruang guru dengan perasaan kesal dan kecewa. Ia tidak habis pikir mengapa ada orang yang begitu jahat dan iri pada orang lain yang berbuat baik.
Sementara itu, Bu Ida, Bu Vivi, dan Bu Nilam masih terus saja membicarakan Fitri. Mereka merasa puas karena telah berhasil membuat Bu Asri kesal.
"Lihat saja nanti," kata Bu Ida. "Saya akan buktikan bahwa Fitri itu tidak sebaik yang kalian kira."
"Saya juga tidak akan tinggal diam," timpal Bu Vivi. "Saya akan cari tahu apa maksudnya dia selalu mendekati siswa-siswa itu."
"Kita harus berhati-hati dengan Fitri," kata Bu Nilam. "Dia itu licik dan pandai berpura-pura."
Mereka bertiga pun bersepakat untuk terus mengawasi Fitri dan mencari celah untuk menjatuhkannya. Mereka sudah tidak menyukai Fitri sejak lama karena Fitri selalu terlihat lebih baik dari mereka di segala hal.