NovelToon NovelToon
Civil War: Bali

Civil War: Bali

Status: tamat
Genre:Action / Sci-Fi / Tamat / Spiritual / Kehidupan Tentara / Perperangan / Persahabatan
Popularitas:565
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.

Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 3

Di tengah pekatnya malam, seorang lelaki berlari kencang di tengah hutan belantara. Obor di tangannya nyaris padam, diterpa angin malam dengan dingin yang menusuk. Cahaya redupnya hanya cukup untuk menerangi langkahnya yang terburu-buru, melewati pepohonan rindang yang ada di kanan kirinya.

Keringat dingin terus mengucur dari tubuhnya, membasahi baju yang sudah compang-camping. Napasnya tersengal-sengal, tapi ketakutan yang mendera dirinya memaksanya untuk terus berlari. Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat setitik cahaya. Tanpa berpikir panjang, ia mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk menuju ke arah cahaya itu.

Cahaya itu ternyata berasal dari sebuah perkemahan. Dengan sisa-sisa kekuatan, ia berteriak sekuat tenaga dengan suara yang melengking penuh kepanikan. "TOLONG! TOLONG AKU!" Tangannya melambai-lambaikan obor, berusaha menarik perhatian orang-orang di perkemahan itu.

Mendengar teriakannya, beberapa orang keluar dari tenda dengan sigap. Senjata mereka terhunus, siap menghadapi ancaman apa pun. Namun, ketika mereka melihat wajah lelaki itu, ekspresi mereka berubah dari kewaspadaan menjadi keheranan.

"JANGAN SERANG! INI AKU, ARI!" Teriak pemuda itu dengan suara tercampur lega dan ketakutan.

Mata orang-orang di perkemahan itu terbelalak. "A-Ari?" gumam salah satu dari mereka, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"ARI!" Seru yang lain.

Dalam sekejap, mereka semua berlari mendekati Ari, mengerumuninya dengan wajah-wajah penuh kelegaan dan keheranan.

Salah seorang pria berkumis tebal, yang tampak sebagai pemimpin kelompok itu, memeluk Ari erat-erat. "Oh, nak, aku pikir kau sudah mati bersama yang lain. Aku tidak menemukanmu di antara mayat-mayat itu kemarin. Syukurlah kau masih bisa melarikan diri dan bertahan hidup!"

Ari mengangguk lemah, air matanya mulai menetes. "Aku... aku tidak melarikan diri. Mereka menangkapku... orang-orang Buleleng. Mereka memukuliku, mencoba mendapatkan informasi tentang kalian." Ucapnya dengan suara yang gemetaran.

Wajah-wajah di sekelilingnya berubah. Keheranan berubah menjadi kemarahan yang membara. "Mereka memukulimu?" Tanya pria berkumis tebal itu, suaranya terdengar dipenuhi dengan kekesalan. Tangannya memegang wajah Ari, matanya menyala dengan amarah dan kepedihan.

"Iya," jawab Ari lirih. "Mereka membiarkanku pergi... untuk menyampaikan pesan."

Mata pria-pria yang mengelilingi Ari pun terbelalak, seakan tidak percaya dengan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Buleleng itu.

"Pesan apa?" Tanya salah satu anggota kelompok penuh rasa penasaran.

Ari menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Mereka bilang... kita harus pergi dari sini. Jika tidak, mereka akan membunuh kita semua... Menggunakan sebuah senjata yang tidak kita miliki."

Suasana langsung berubah. Kemarahan pria-pria itu, yang tadinya terpendam, kini meledak. Tangan-tangan mereka mengepal, serta wajah-wajah mereka memerah. "Mereka berani mengancam kita seperti itu?!" Teriak pria berkumis tebal itu menggema di tengah kesunyian malam.

"Tolong, dengarkan aku!" Ari berseru, matanya penuh ketakutan. "Mereka bisa membunuh kita saat ini juga! Kita harus pergi dari sini!" Ari mencoba melerai para pria yang mengerumuninya itu.

"TIDAK BISA, ARI!" Teriak seorang pria jangkung di sampingnya. "Kita sudah berjanji pada desa untuk mendapatkan daging ayam agar para wanita dan anak-anak bisa makan makanan yang lebih layak daripada dedaunan saja!" Ujarnya dengan penuh kemarahan.

"Dan ingat, saudara-saudara kita sudah ada yang mati untuk memperjuangkan ini!" Tambah yang lain dengan seruan kemarahan.

Suasana semakin memanas. Anggota kelompok itu mulai saling bersahutan, masing-masing mengeluarkan pendapatnya.

"Kita harus serang mereka! Bakar desa mereka dan ambil ayam-ayam itu!" Teriak salah satu dari mereka.

"BETUL!" sahut yang lain.

Ari mencoba menyela untuk melerai keributan itu dan membuat membuat mereka mendengarkannya terlebih dahulu. "Tolonglah, kalian harus—" Kling... Klik

Tiba-tiba, suara logam yang berdentum di tanah memotong ucapannya. Semua mata tertuju pada benda kecil yang menggelinding di antara mereka. Granat.

BOOM!

Ledakan dahsyat mengguncang perkemahan. Dalam sekejap, seluruh kelompok penjarah itu tewas, terbaring tak bernyawa di tengah hutan yang gelap. Hanya keheningan yang tersisa, menyelimuti malam pembantaian yang kelam.

...***...

Sang surya mulai menyapa dunia dengan menyinari bumi yang masih diselimuti kabut tipis dari ufuk timur. Indra, bersama tiga anak buahnya, sibuk menyusun peti-peti berisi daging ayam ke dalam kereta kuda mereka.

Mereka dibantu oleh beberapa orang dari kelompok Azmi, yang dengan sigap mengangkut peti-peti itu. Suara gesekan kayu dan derap langkah kaki menciptakan irama pagi hari yang sibuk.

Setelah meletakkan peti terakhir, Indra mengusap keringat di dahinya, lalu membersihkan tangannya dengan sehelai kain. Matanya tertuju pada Azmi, yang sejak tadi hanya duduk tenang di gazebo, menikmati secangkir air hangat sambil memandangi keriuhan di depannya. Dengan langkah santai, Indra menghampiri Azmi.

"Sepertinya masalahmu dengan para penjarah itu sudah selesai, Pak Tua." Ujar Indra sambil duduk di sebelah Azmi. "Kalau mereka berani balik lagi, pakai saja senjata-senjata yang udah aku kasih."

"Terima kasih atas bantuanmu." Ucap Azmi kepada Indra.

Azmi menyeruput air hangatnya sedikit demi sedikit. Matanya tertuju pada cakrawala yang mulai terang, dihiasi oleh kawanan burung terbang dari berbagai arah.

"Membunuh orang dengan granat..." Indra seketika melirik Azmi yang bergumam. "Sudah lama sekali aku tidak melihat hal seperti itu sejak kerusuhan Buleleng dulu." Ada sedikit tawa kecil yang masam dalam ucapan Azmi, seolah ia teringat pada masa lalu yang kelam.

Indra tersenyum kecil. "Hei, setidaknya aku ngasih mereka kesempatan untuk mundur, lho. Mereka sendiri yang kekeh nggak mau pergi."

Azmi mengangguk pelan, lalu memandang mata Indra. Kini mereka berdua saling berhadapan satu sama lain. Mata Azmi yang bijak menatap Indra dengan penuh pertimbangan.

"Kau sudah memutuskan apa yang ingin kau dapatkan sebagai imbalannya?" Tanyanya dengan suara yang santai namun tetap berwibawa.

Indra tersenyum sumringah, seolah sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini sejak tadi.

"Sudah, dong." Ucap Indra sambil melipat tangan di depan dadanya.

"Sebagai imbalan atas usahaku membunuh para penjarah tadi, aku ingin kau memasok warga dan pasukanku dengan daging ayam setiap tiga bulan sekali. Sebagai gantinya, aku akan memberimu kentang sebagai sumber karbohidrat pengganti beras yang sudah langka." Ia berhenti sejenak, memastikan Azmi menangkap setiap kata yang diucapkannya.

"Aku tidak meminta banyak, hanya 20 persen dari hasil ternakmu saja. Aku juga akan memberimu 20 persen dari hasil panenku supaya adil." Lanjutnya.

Azmi terdiam sejenak. Matanya menatap jauh ke arah ladang kentangnya yang terlihat tidak terlalu subur. Lalu, dengan ekspresi yang sudah membulatkan keputusan, ia mengangguk.

"Baiklah. Aku setuju. Bahkan, untuk pasokan pertama, aku akan memberi 25 persen dari hasil ternakku sebagai imbalan tambahan atas pakaian dan senjata yang kau berikan kemarin." Ia mengulurkan tangannya, menawarkan jabat tangan.

Indra tersenyum lebar, lalu menjabat tangan Azmi dengan erat. "Deal!"

Mereka berdua berdiri di sana dengan menggoyangkan tangan yang masih berjabat, seolah mengukuhkan perjanjian yang baru saja mereka buat.

Matahari pagi semakin tinggi, menyinari wajah mereka yang penuh harapan.

Ini bukan sekadar perjanjian dagang. Ini adalah langkah awal untuk memperkuat kepercayaan di antara dua kelompok yang sama-sama berkuasa di Buleleng.

Indra kemudian berpaling dan melangkah menuju kereta kudanya yang sudah penuh dengan peti-peti berisi daging ayam.

Ia merasa sangat puas. Perjanjian pangan jangka panjang ini jauh lebih baik daripada sekadar menukar pakaian hangat dengan beberapa peti daging ayam, seperti yang ingin dia lakukan pada awalnya.

Ini adalah suatu hal yang bagus. Indra yakin, perjanjian ini akan membawa manfaat bagi kedua belah pihak.

Dengan langkah mantap, ia memimpin anak buahnya meninggalkan Buleleng Barat, membawa serta harapan baru untuk bertahan hidup di tengah dunia yang penuh ketidakpastian.

...***...

Pagi itu, udara musim dingin yang menusuk tulang menyelimuti desa Pancasari. Kabut tipis masih menggumpal di udara, menciptakan suasana sunyi dan tenang yang sangat cocok untuk menyantap minuman hangat. Namun, ketenangan itu tidak dirasakan oleh Kertih dan putranya, Adi.

Keduanya sibuk mengairi kebun kentang mereka. Tangan-tangan kasar mereka bekerja keras untuk memastikan setiap tanamannya mendapatkan cukup air. Setiap tetes air yang mengalir membawa harapan akan panen yang melimpah, harapan yang bisa menyelamatkan masyarakat sekitar dari kelaparan.

Setelah selesai, mereka duduk di pinggir kebun untuk membuat kentang rebus sebagai sarapan. Uap hangat dari kentang itu menyembul ke udara dingin, memberikan sedikit kehangatan di tengah musim yang tak bersahabat.

"Sepertinya di pertengahan tahun keempat nanti, langit akan mulai cerah kembali." Ujar Adi sambil menatap awan debu tebal yang menyelimuti langit. Matanya penuh harap, seolah mencoba menembus lapisan awan kelabu yang telah menutupi dunia selama hampir empat tahun lamanya.

Kertih mengangguk sembari mengunyah kentang rebusnya dengan perlahan. "Iya. Dengan begitu, sinar matahari akan masuk lebih banyak, sehingga kita bisa mulai menanam padi lagi." Balasnya dengan suara yang penuh harap.

Tiba-tiba, Kertih mengerutkan kening, matanya menatap tajam ke arah langit yang bercampur antara warna biru dan kelabu.

"Orang-orang tolol!" Gerutunya penuh kegeraman. "Gara-gara keegoisan mereka, seluruh dunia harus menanggung akibatnya. Perang Dunia Ketiga sialan!"

Adi hanya melirik ayahnya dan tak berkata apa-apa. Ia tahu betul betapa kesalnya Kertih sebagai seorang mantan dosen Hukum Internasional yang pernah bekerja dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa ketika melihat situasi dunia saat ini.

Setelah menghabiskan sarapannya, Adi membersihkan tangannya dan bersiap untuk pergi ke kebun strawberry. Meski hanya buah-buahan kecil, strawberry adalah salah satu komoditas berharga di tengah krisis pangan yang melanda.

"Aku duluan ke kebun strawberry. Kalau ayah ingin langsung pulang, tidak masalah. Aku bisa kerjakan sendiri." Ujar Adi sambil berdiri.

Namun, sebelum ia sempat melangkah, suara teriakan memecah keheningan pagi.

"AYAH! AYAH! AYAH! WILAYAH KITA DISERANG PENJARAH!" Teriak Ayu, putri kecil Kertih, yang berlari kencang menuju mereka. Wajahnya panik dan napasnya tersengal-sengal.

Kertih langsung berdiri dan membuang makanannya. Jantungnya berdebar kencang mendengar apa yang dikatakan oleh putrinya. "Apa? Penjarah?" Tanya Kertih panik.

"Iya, mereka datang dari arah selatan! Banyak sekali!" Jawab Ayu sambil menunjuk ke arah datangnya ancaman.

Adi segera berpaling ke ayahnya dengan penuh kepanikan. "Ayah, kita harus minta bantuan Monasphatika! Mereka satu-satunya yang bisa membantu kita sekarang!"

Kertih mengangguk cepat. "Benar. Cepat, ambil kudamu dan pergi ke Singaraja. Laporkan apa yang terjadi di sini kepada Indra. Minta dia datang secepat mungkin!" Perintahnya tegas, tapi sedikit gemetaran.

Adi mengangguk, lalu berlari menuju kandang kuda. "Aku pergi sekarang! Tolong jaga diri Ayah dan Ayu juga!" Teriaknya sebelum menghilang di balik kabut pagi.

Kertih menatap ke arah langit. Tangannya mengepal erat seperti sedang mengumpulkan keberanian untuk menghadapi ancaman yang segera datang.

"Tuhan, lindungi kami." Bisiknya, sebelum memegang tangan Ayu dan bersiap menghadapi ancaman yang semakin mendekat.

Ilustrasi Tokoh:

...Gede Kertih...

...Putu Adi Tama...

...Made Ayu Ningsih...

1
jonda wanda
Mungkin cara bicara karakter bisa diperbaiki agar lebih natural.
IndraKoi: baik, makasih banyak ya masukannya🙏
total 1 replies
Abdul Aziez
mantap bang
IndraKoi: makasih bang🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!