Hilya Nadhira, ia tidak pernah menyangka bahwa kebaikannya menolong seorang pria berakhir menjadi sebuah hubungan pernikahan.
Pria yang jelas tidak diketahui asal usulnya bahkan kehilangan ingatannya itu, kini hidup satu atap dengannya dengan status suami.
" Gimana kalau dia udah inget dan pergi meninggalkanmu, bukannya kamu akan jadi janda nduk?"
" Ndak apa Bu'e, bukankah itu hanya sekedar status. Hilya ndak pernah berpikir jauh. Jika memang Mas udah inget dan mau pergi itu hak dia."
Siapa sebenarnya pria yang jadi suami Hilya ini?
Mengapa dia bisa hilang ingatan? Dan apakah benar dia akan meninggalkan Hilya jika ingatannya sudah kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
STOK 34: Wasiat Mengancam Nyawa
" Tar, kamu udah sampai? Cepet bener."
" Maaf Aunty, aku jadi ngrepotin. Pasti Aunty belum istirahat kan dari tadi?"
Hanya sebuah senyuman yang Brisia perlihatkan pada Tara. Ia sungguh menyayangi anak dari temannya itu. Apalagi saat ia ingat bagaimana waktu kecil anak itu sakit, rasanya hatinya ikutan sakit. Tapi tidak disangka bahwa anak kecil yang lemah dan sakit itu kini jadi pemuda yang laur biasa.
" Please Aunty, jangan memasang wajah begitu. Aku ini udah gede, ah iya aku udah nikah lho!"
" Apa?"
Tuk
Brisia memukul kepala Tara pelan karena saking terkejutnya. Ia sungguh tidak percaya dengan ucapan Tara.
" Tahaaan, nanti aku jelasin. Tapi saat ini aku butuh obat itu dulu."
Brisia mengangguk paham, dia langung memberikan sebuah botol kecil obat yang selesai dia buat. Sekitar 10 ml banyaknya obat itu. Tanpa tagi Tara langung meminum obat itu sekali tenggak.
Reaksi yang didapat Tara adalah sedikit pusing dan rasa berdenyut pada kepalanya. Tubuhnya terhuyung. Oleh Brisia, Tara dibantu untuk duduk agar tidak terjatuh ke lantai.
" Sekitar 5 sampai 10 menit, tubuh akan bereaksi terutama kepala. Memang sedikit sakit tapi setelah itu Aunty yakin semua ingatan yang dihilangkan akan kembali."
Tara tidak bisa menanggapi ucapan Brisia karena memang saat ini kepalanya sangat sakit. Brisia mengerutkan alisnya melihat reaksi Tara. Obat yang dibuat ayahnya dulu itu sekarang sudah jauh banyak berkembang. Dan seharusnya efek fari penawar yang diberikan tidaklah sesakit itu.
" Dosisnya pasti banyak, sialan orang-orang itu," umpat Brisia marah.
Sebenarnya obat itu hanya digunakan untuk bahan sepeti interogasi, namun sebagai penjual tentu pihak Magna Abror tidak bisa menanyakan privasi dari pembeli. Mereka tidak bisa bertanya untuk apa obat itu dibeli.
Brisia meninggalkan Tara sejenak untuk mengambil minum. Dan dia juga membiarkan Tara untuk sejenak istirahat sambil menunggu semua ingatan yang hilang itu kembali.
" Ughhh."
Tara kembali melenguh saat kepalanya berdenyut. Ingatan yang hilang mulai terlihat meskipun masih sedikit kabur. Pelan tapi pasti, semua yang ia lupakan mulai ia ingat.
Waktu itu tepat sebelum kejadian.
" Hallo Tuan Tara, saya Helena Romario. Saya ingin meminta Anda melukiskan sesuatu untuk saya. Karena ini berhubungan dengan apa yang saya sukai, maukah Anda menerima undangan saya untuk mengunjungi tempat yang ingin saya abadikan itu?"
" Ya, boleh saja. Kirimkan alamatnya sekarang."
Tara sama sekali tidak menaruh curiga. Pasalnya meskipun tidak dekat, ia sudah sering melihat Helena karena permintaan kunjungan dari Romario semasa hidup.
Setelah menerima Tara pergi menuju ke kapal tersebut. Ia datang kesana tanpa membawa Luhan ataupun memberitahu Nizam. Karena selama ini dia tidak selalu mengatakan kemana tujuannya pergi kepada sang aspri.
Sesampainya di kapal, seseorang atas nama Helena langung menjemputnya dari dermaga. Ia menunjukkan jalan untuk masuk ke kapal hingga ke sebuah restauran terbuka di salah satu dek kapal dengan pemandangan laut.
" Selamat datang Tuan Raka Pittore, sebuah kehormatan bagi saya karena bisa mengundang Anda secara langung. Selama ini saya hanya bisa bersapa tapi tidak bisa bersua."
" Haah, jangan terlalu banyak basa-basi Nona, apa yang sebenarnya Anda inginkan. Anda tidak benar-benar minta saya buat melukis kan?"
Shaah
Helena terkejut, ia tidak menyangka bahwa sorang seniman yang hanya tahu tentang lukisan itu memiliki insting yang tajam. Tapi Helena berusaha tenang, dia tidak boleh terlihat gugup sama sekali.
" Waah, saya tidak menyangka bahwa Anda begitu cerdas. Begini, saya ingin membeli lukisan yang ayah saya titipkan kepada Anda. The Beautiful Golden Sunset, saya ingin membeli lukisan itu berapapun harganya."
Tara langsung mengerutkan kedua alisnya. Helena jauh-jauh mengundangnya hingga tengah laut hanya ingin mengatakan hal tersebut. Membeli TBGS berapapun harganya? ini sungguh sangat tidak pernah terpikirkan oleh Tara sebelumnya. Lukisan itu, dulu dia dibayar dengan harga 25 juta. Setidaknya sekitar belasan tahun silam harga itu memang terlihat murah untuk masa kini. Tapi meski bagaimanapun Tara tidak akana memberikannya karena itu adalah sebuah wasiat.
" Maaf Nona, saya tidak bisa. Lukisan itu adalah amanah dari Tuan Romario, dan saya adalah orang yang menjaga teguh sebuah amanah yang sudah dititipkan."
Tidak ada senyum ataupun ekspresi apapun dari Helena, wanita itu hanya diam.lalu setelah itu ia kembali memancing perbincangan selama beberapa saat hingga sebuah hidangan keluar.
Helena mempersilakan Tara untuk makan, awalnya Tara menolak namun Helena sedikit memaksa sehingga ia pun mau tidak mau memakannya juga.
Makan belum usai, tiba-tiba tenggorokan Tara terasa tidak nyaman sehingga dia menenggak minuman dalam gelas sampai habis. Saat itu Tara tidak terlalu memerhatikan bahwa Helena menarik satu sudut bibirnya.
Detik selanjutnya, Tara merasa perutnya sakit dan dia pun pamit ke kamar mandi. Di sana samar-samar ada seseorang yang mencengkeram erat kedua lengannya dan memasukkan sebuah obat lagi. Pandangan Tara menjadi kabur, tapi lamat-lamat ia masih bisa mendengar suara seorang pria.
" Dimana lukisan itu kamu simpan?"
" Lukisan apa?"
" The Beautiful Golden Sunset."
" Pameran dan galeri, dia ada di dua tempat itu."
Bugh bugh bugh
Padahal dia tidak mau bicara tapi dia mulutnya sama sekali tidak bisa diajak kompromi. Hanya saja ia masih bisa mengontrol mulutnya dan hanya mengatakan bahwa TBGS ada di galeri dan pameran tanpa menyebutkan dimana lokasi galerinya. Dan memang benar TBGS waktu itu memang di pajang di beberapa pameran.
Setelah itu Tara tidak sadarkan diri. Tapi samar dia merasakan sakit pada bagian belakang kepalanya karena di pukul oleh sesuatu. Dan badannya juga di hajar habis-habisan.
Kembali ke masa ini
" Hosh hosh hosh ... Sialan, ternyata begitu ceritanya. Bajingaan sialan, mereka dua bersaudara laknat."
Tara sangat kelelahan setelah mengingat semua yang terjadi saat itu. Keringat mengucur deras membuat bajunya basah,
" Apa sudah ingat Tar?"
" Haah, iya Aunty udah. Dan ada beberapa hal dalam ingatan itu yang mungkin harus aku tanyakan ke aunty. Kok aku mudah banget jawab pertanyaan mereka padahal aku nggak mau. Kejadian itu kayaknya setelah aku dikasih obat."
Brisia terdiam, saat kejadian itu berarti Tara tidak hanya minum obat pengilang ingatan, tapi dia juga meminum obat kejujuran. Entah bagaimana orang tersebut bisa mendapatkan obat yang hanya dijual di dunia bawah yakni dunia para mafia.
" Itu obat kejujuran Tara, meskipun otakmu menolak tapi mulut seakan bergerak sendiri."
" Brengsek, dia bener-bener nyaru masalah. Untung yang kukatakan meski bener tapi mereka pada akhirnya nggak berhasil dapetin yang mereka mau."
Kini semuanya jelas, Tara tinggal menunggu Nayaka dan Nizam mengenai hal yang sudah ia perintahkan. Ada apa dengan TBGS sehingga kedua anak Romario begitu menginginkannya hingga menggunakan cara yang esktrem begitu. Dan sebenarnya mengapa Tara harus terlibat di sini, dimana notabene dia bukanlah orang yang punya hubungan dengan mereka. Dia hanyalah seorang pelukis yang kebetulan melukiskan itu.
" Bener-bener bikin pusing, Tuan Romario, wasiat mu sungguh mengancam nyawaku."
TBC