Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 TIDAK MAU MENERIMA CUCU
"Ngomong-ngomong di mana ibu dan ayahmu, Mas? Apa mereka sudah tahu kondisi cucunya saat ini?" tanya Laras. Aku hampir lupa kedua orangtuaku memang datang ke rumah sakit, tapi tidak untuk menemui cucunya, melainkan menjenguk temannya yang sakit.
Aku terdiam sejenak, merasa ragu untuk menjawab. Aku tahu Laras pasti akan kecewa jika mengetahui kenyataan ini.
"Mereka tadi ke rumah sakit…" ucapku pelan.
Laras menatapku penuh harap. "Lalu? Apa mereka sudah melihat anak kita?"
Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya menggeleng. "Tidak… Mereka datang untuk menjenguk teman mereka yang sakit."
Wajah Laras seketika berubah. Matanya yang tadi berbinar kini meredup. "Jadi, mereka ada di sini… tapi tidak sedikit pun ingin melihat cucunya?" suaranya terdengar lirih, nyaris bergetar.
Aku meraih tangannya, mencoba menenangkannya. "Mereka hanya butuh waktu, Laras. Aku yakin mereka akan menerimanya nanti."
Laras tersenyum tipis, tapi aku tahu itu bukan senyum bahagia. "Aku tidak mengerti, Mas. Mereka begitu menginginkan cucu laki-laki, tapi saat dia lahir, mereka malah mengabaikannya…"
Aku tidak bisa menyangkal. "Aku juga kecewa, tapi aku akan berusaha agar mereka mau menerima anak kita. Aku janji, Laras."
Laras menatapku dalam-dalam, seolah ingin percaya. Namun, aku tahu di hatinya masih tersimpan luka.
Laras menghela napas panjang. Aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca, menahan perasaan yang mungkin sulit ia ungkapkan.
"Mas… kalau memang mereka tidak mau menerima anak ini, apa Mas akan tetap membela aku dan anak kita?" tanyanya lirih.
Aku menggenggam tangannya erat, menatapnya dengan penuh keyakinan. "Tentu saja, Laras. Dia anakku, anak kita. Aku tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan. Yang penting sekarang adalah kesehatan kamu dan bayi kita."
Laras tersenyum tipis, tapi aku tahu hatinya masih penuh dengan kegelisahan. Ia menunduk, mengusap perutnya yang kini kosong setelah sembilan bulan mengandung.
"Aku hanya ingin anak kita tumbuh dengan cinta dan kasih sayang, Mas. Aku tidak mau dia merasa ditolak oleh keluarganya sendiri."
Aku mengangguk, memahami kekhawatirannya. "Aku janji, aku akan berusaha agar orang tuaku bisa menerimanya. Aku akan berbicara dengan mereka lagi."
Laras terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, Mas. Aku percaya sama Mas. Tapi, kalau mereka tetap tidak mau menerima, kita harus siap, ya? Karena aku tidak mau anak kita tumbuh dengan perasaan tidak diinginkan."
Aku menggenggam tangannya semakin erat, bertekad untuk tidak membiarkan anakku merasa tidak dicintai. Apa pun yang terjadi, aku akan melindungi mereka.
...****************...
Setelah seminggu mendapatkan perawatan, Laras dan anakku akhirnya pulang juga dari rumah sakit. Aku pun langsung membawa Laras ke rumah Ibu supaya Laras ada yang membantu mengurus anakku.
Saat aku membantu Laras turun dari mobil, ia tampak masih sedikit lemah, tapi ada kebahagiaan di wajahnya. Aku menggendong anakku dengan hati-hati, sementara Laras berjalan pelan di sampingku.
Begitu kami memasuki rumah, ibu dan ayah sudah menunggu di ruang tamu. Wajah ibu terlihat kaku, sementara ayah hanya diam, tidak menunjukkan banyak ekspresi.
"Kami pulang, Bu," ucapku pelan, mencoba mencairkan suasana.
Ibu menatap bayi di gendonganku dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia tidak tersenyum, tidak juga menunjukkan antusiasme.
"Akhirnya pulang juga," katanya singkat.
Aku melirik Laras yang langsung menundukkan kepala. Aku tahu, ia pasti berharap sambutan yang lebih hangat dari ibu.
"Bu, ini cucu Ibu," kataku, mendekat agar ibu bisa melihat lebih jelas. "Dia sehat, meskipun sempat dirawat di NICU, tapi sekarang dia baik-baik saja."
Ibu menatap bayi itu tanpa menyentuhnya. "Apa dia benar-benar sehat?" tanyanya, suaranya penuh keraguan.
Hatiku mencelos. "Tentu saja, Bu. Dia hanya butuh perawatan lebih saat lahir, tapi dokter bilang dia bisa tumbuh dengan baik."
Ibu masih belum berkata apa-apa. Sementara ayah akhirnya membuka suara. "Namanya siapa?" tanyanya, nadanya lebih lembut dibanding ibu.
Aku tersenyum tipis. "Kami menamainya Dennis, hanya saja nama panjangnya masih kami pikirkan lagi."
Laras menoleh padaku, lalu mengangguk kecil. Ibu hanya menghela napas. "Semoga saja dia bisa tumbuh normal," ucapnya sebelum bangkit dari kursinya dan pergi ke dalam kamar.
Aku mengeratkan genggamanku pada tangan Laras yang dingin. Aku tahu, hatinya pasti sakit menerima perlakuan seperti ini. Tapi aku berjanji, aku akan selalu berada di sisinya, untuknya dan juga untuk anak kami.
Aku masuk ke kamar dan menemukan Laras duduk di tepi tempat tidur, menundukkan kepala. Bahunya bergetar, dan tanpa suara, air mata jatuh membasahi pipinya.
Aku segera mendekat dan duduk di sampingnya. "Sayang, kamu kenapa?" tanyaku, meski dalam hati aku sudah bisa menebak jawabannya.
Laras mengusap wajahnya dengan tangan gemetar, lalu menatapku dengan mata yang sembab. "Mas, kenapa ibu seperti itu?" suaranya bergetar. "Bahkan setelah aku melahirkan anakmu, ibu masih tidak peduli. Dia bahkan tidak mau melihat cucunya sendiri."
Aku menarik napas panjang. Aku tahu ini akan terjadi, tapi tetap saja, melihat Laras terluka seperti ini membuat dadaku terasa sesak.
"Aku juga nggak tahu harus ngomong apa ke ibu, Laras," jawabku jujur. "Aku sudah mencoba bicara, tapi ibu tetap keras kepala."
Laras terisak. "Aku nggak minta ibu menyayangiku, Mas. Tapi setidaknya... setidaknya dia bisa menerima cucunya. Dia bisa menatap wajah bayi kita, tanpa rasa kecewa."
Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat. "Dengar, Laras... Anak kita nggak butuh penerimaan siapa pun. Dia tetap berharga, tetap istimewa, dan aku akan selalu ada untuk kalian berdua."
Laras menatapku, matanya masih berkaca-kaca. "Tapi Mas, dia neneknya..."
Aku mengusap punggung tangannya, mencoba menenangkan. "Beri waktu, Sayang. Aku yakin, suatu hari nanti ibu akan luluh."
Laras menggeleng. "Aku nggak mau anak kita tumbuh dengan merasa ditolak, Mas. Aku nggak mau dia merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan sekarang."
Aku menariknya ke dalam pelukan. "Aku janji, aku nggak akan biarkan itu terjadi. Kamu nggak sendirian, Laras."
Laras menangis dalam diam di dadaku. Aku tahu, ini bukan sekadar kekecewaan. Ini luka yang akan butuh waktu untuk sembuh. Dan sebagai suaminya, sebagai ayah dari anak kami, aku harus memastikan bahwa mereka tidak akan merasa sendiri.
...****************...
Esok paginya, rumah mulai ramai dengan kedatangan beberapa wanita paruh baya—teman-teman ibuku yang datang untuk menjenguk anakku dan Laras. Aku sedikit terkejut karena sebelumnya ibu sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan pada cucunya.
Laras, yang masih dalam masa pemulihan, duduk di ruang tamu dengan wajah sedikit pucat. Aku bisa melihat kegugupan di matanya saat para tamu mulai berbicara.
"Aduh, cucunya sudah lahir ya? Selamat ya, Bu," salah satu teman ibu berkata sambil tersenyum. "Coba kita lihat, mana cucu laki-laki yang ibu tunggu-tunggu?"
Aku melirik ibu yang duduk dengan wajah datar. Ibu hanya mengangguk kecil tanpa menjawab.
Seorang wanita lain mendekati keranjang bayi dan menyingkap selimut perlahan. "Eh... Anaknya kenapa ya, Bu?" tanyanya dengan nada terkejut.
Laras menggenggam tanganku erat. Aku bisa merasakan telapak tangannya yang dingin.
"Iya, kok wajahnya agak berbeda?" timpal yang lain dengan nada pelan, seolah takut menyinggung.
Ibu masih diam. Aku tahu ini momen yang tidak nyaman bagi Laras. Sebelum aku sempat menjawab, salah satu dari mereka menoleh ke arah ibu. "Bu, kok dari tadi diam saja? Senang dong akhirnya punya cucu laki-laki."
Ibu menghela napas pelan sebelum menjawab, "Iya, ini cucu saya. Tapi..." Ibu menggantungkan kalimatnya, membuat ruangan semakin sunyi.
Aku langsung meraih tangan Laras lebih erat. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti perasaannya, apalagi di rumah kami sendiri.
nauzubillahiminjalik moga anak cucu keturananku tdk ada yg selemah Reza
mampuslah kau Reza menyesal nanti
kalo emang masih punya rahim kan bisa program hamul dgn pilihan janin laki laki apalagi harta ayah ibunya kan bejibun lebih kaya dari harta negara RI!!
aku kami empat bersaudara perempuan semua
ibuku juga enam bersaudara perempuan semua
harta kakek nenek diwarisi ibu bersaudara begitupun kami mewarisi harta ayah ibu dgn adil tanpa masalah
Dikira gak sakit apa istri pertama harus menerima suami menikahi orang lain???
mohon berkenan jika komentar saya terlalu tajam /Pray/