Ara adalah seorang personal asisten Garvi, hubungan mereka cukup unik. Terkadang terlihat layaknya kawan sendiri tapi tak jarang bersikap cukup bossy hingga membuat Ara lelah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua puluh sembilan
💙💙💙💙
"Ya, halo."
"Halo, Ra?"
Dapat Ara dengar suara Jihan terdengar bergetar. Perasaannya mulai tidak karuan. Ada apa nih? Tidak ada hal buruk terjadi kan?
"Iya, Han, ada apa? Tumben nelfon malem-malem?"
Hening sesaat. Ara dengan sabar menunggu Jihan mengutarakan niatnya.
"Ra, kalau semisal aku mau minta tolong ke kamu, bisa?"
Ara berdecak kesal. "Kamu ngomong apaan sih? Tanpa kamu minta kalau sekiranya aku tahu dan bisa bantuin kamu, bakalan langsung aku bantu. Sekarang kamu kasih tahu aku, kamu butuh bantuan apa?"
Kebiasaan temannya ini, selalu sungkan. Padahal Ara sudah mengingatkan berulang kali kalau perempuan itu tidak perlu merasa demikian, setidaknya kalau dengan dirinya saja.
"Aku di stasiun. Bisa jemput aku, Ra? Selain itu aku juga--"
"Hah? Stasiun? Stasiun mana? Kamu di mana sekarang?" potong Ara dengan wajah kagetnya. Perasaannya semakin gelisah tidak menentu.
Ya Tuhan, ia sedang salah paham kan di sini? Ini semua tidak sesuai dengan apa yang ada di otaknya?
"Aku di Jakarta. Di stasiun Gambir."
"Tunggu di sana, aku nyari pinjeman motor dulu."
"Iya, Ra, aku tungguin. Hati-hati ya kamu bawa motornya, jangan ngebut!"
"Hm. Aku tutup telfonnya."
Ara langsung mematikan telfonnya dan segera bergegas menuju kamar Wafi. Salah satu teman kostannya yang memiliki sepeda motor metic.
"Fi, Wafi!" teriak Ara sambil mengetuk pintu kamar Wafi dengan tidak sabaran.
Tak butuh waktu lama, pria itu keluar dengan muka bantalnya. "Apaan sih? Gue ngantuk banget ini, lagi enak-enak tidur malah diganggu," gerutunya kemudian.
"Sorry, ganggu tidur lo. Gue boleh minta tolong?"
"Apaan?"
"Pinjem motor, gue mau jemput temen gue yang katanya tiba-tiba udah ada di Jakarta."
"Lo mau ke stasiun pake motor?"
"Jam segini nyari taxi online susah, mending pake motor lo aja."
Wafi menggeleng tidak setuju lalu masuk ke dalam untuk mengambil sesuatu. Karena tak lama setelahnya ia kembali sembari membawa kunci.
"Pake mobil aja, kasian ah, udah malem kalau masih lo suruh naik motor."
"Eh, lo ada mobil?" tanya Ara terlihat seperti orang yang sedang keheranan.
Wafi langsung menampilkan wajah tersinggungnya. "Maksud lo apa? Muka-muka gue nggak cocokkah punya mobil?"
Ara menggeleng cepat sambil mengibaskan telapak tangannya. "Eh, nggak gitu maksud gue, Waf. Kan biasanya lo kalau ngantor pake motor."
"Ya masalahnya gue males kalau pake mobil, Jakarta macet, Ra. Lagian susah parkirnya lah, jadi mending mobil gue taroh di rumah, gue kalau pergi-pergi naik motor. Gue kemarin abis pulang buat ambil mobil soalnya mau ada acara kantor."
Ara manggut-manggut cepat. "Oke, thanks ya. Kapan-kapan gue traktir, sekarang gue jemput temen gue dulu. Ntar langsung gue balikin kok."
"Santai," balas Wafi, "besok aja balikin kuncinya, jangan langsung lo balikin. Gue mau tidur, nggak mau diganggu," sambungnya kemudian. Ia kembali melanjutkan kalimatnya saat teringat sesuatu, "eh, bentar, tapi lo beneran bisa bawa mobil kan?"
Ara mengangguk cepat. "Bisa, bos gue kadang nggak mau pake supir kantor kok, jadi yang nyetir gue."
Wafi manggut-manggut paham. "Ya udah, yang penting hati-hati aja bawanya. Nggak usah ngebut, yang penting selamat sampai tujuan."
Gantian Ara yang manggut-manggut paham lalu pergi begitu saja. Sementara Wafi tentu saja memilih kembali masuk ke dalam untuk melanjutkan tidurnya yang tadi sempat terganggu.
Dengan perasaan gelisah, Ara mengendarai mobil Wafi. Selain cemas karena kondisi Jihan yang mungkin sedang tidak baik-baik saja, ia juga cemas karena mobil Wafi terlihat masih sangat baru. Bahkan ada bagian plastik yang masih menempel pada dashboard mobilnya.
Ah, tahu begini lebih baik ia pinjem motor yang lain saja. Gerutunya menyesal. Masalahnya Wafi tipe pria yang agak cerewet dan rewel soal sesuatu. Meski ia sangat percaya diri dengan kemampuan menyetirnya, tapi tetap saja perasaan berdebar itu tetap ada.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya ia sampai di stasiun. Ara celingukan mencari keberadaan Jihan tapi tak kunjung menemukannya. Akhirnya ia memutuskan untuk menelfon gadis itu.
"Di mana? Eh, nggak jadi, aku liat kamu," ucap Ara saat akhirnya melihat Jihan tengah duduk di salah satu bangku sembari celingukan.
Ia kemudian mematikan sambungan telfon dan menghampiri perempuan itu. Tubuhnya reflek mematung saat Jihan berdiri. Perut perempuan itu terlihat membuncit. Ara shock. Karena sebelumnya Jihan tidak mengabari tentang kehamilan perempuan itu. Lagi-lagi ia dibuat kecewa olehnya. Padahal setelah menyembunyikan fakta bahwa Jihan dijodohkan, perempuan itu telah berjanji kalau ia akan lebih jujur dan terbuka terhadap dirinya. Tapi lihat lah sekarang, perut perempuan itu membuncit dan ia baru mengetahuinya sekarang.
"Han, kamu... hamil?"
Jihan tersenyum getir sambil mengelus perutnya sendiri lalu mengangguk untuk mengiyakan.
"Kenapa? Maksud aku kenapa kamu nggak kasih tahu aku sebelumnya? Dan, gimana kamu bisa ke sini dengan kondisi hamil begini? Suami kamu gimana?"
"Ra, aku... aku mau cerai dari suami aku. Aku kabur."
Mendadak kepala Ara terasa pening seketika. Ia bahkan tidak tahu harus berkomentar apa, atau sekedar bereaksi seperti apa. Ia tidak paham. Ia kebingungan dan ia merasa terlalu terkejut karena semua serba mendadak.
Dulu, ia tidak dikabari waktu Jihan lamaran. Ia bahkan langsung diberitahu kalau perempuan itu akan menikah, lalu sekarang ia tiba-tiba mengetahui kalau perempuan itu hamil dan sekarang mau bercerai? Akan mulai jujur dan terbuka kalau ada sesuatu? Ara tertawa miris di dalam hati. Ternyata memang dirinya yang salah di sini. Salahnya karena berharap perempuan itu menceritakan masalahnya terhadap dirinya.
"Ayo, kita bicara di mobil," ajak Ara pada akhirnya. Ia langsung membantu membawa barang bawaan Jihan dan mengajak perempuan itu menuju parkir.
"Ini mobil kamu?"
Ara menggeleng sambil memakai seat beltnya. "Bukan. Aku pinjem temen kostan."
Jihan manggut-manggut paham.
"Sebenernya ada apa sih, Han? Kenapa kamu tiba-tiba kabur dengan kondisi hamil begini?"
"Aku butuh uang untuk biaya lahiran, Ra. Aku mau nyari kerja mumpung aku masih kuat kerja."
"Suami kamu nggak memperlakukan kamu dengan baik?"
Jihan diam.
Ara menghela napas, mencoba untuk maklum kalau perempuan itu belum siap bercerita. Terserah lah. Ara tidak mau ambil pusing, kalau pada akhirnya Jihan tetap tidak mau cerita pun ia tidak akan memaksa lagi. Sudah cukup.
"Kamu nggak harus maksain diri kalau belum siap cerita sekarang," ucapnya kemudian. Mencoba tetap kalem meski aslinya, ia kesal juga.
"Maafin aku, Ra," sesal Jihan sambil menundukkan kepalanya.
"Stop minta maaf, Han. Kamu nggak salah." Ara kemudian teringat sesuatu, "kamu udah makan belum?"
Jihan kembali diam, membuat Ara mengerti kalau perempuan itu pasti belum makan. Ia melirik perut Jihan sekilas lalu memandang ke arah jalan kembali.
"Itu... kamu bisa makan apa aja nggak?" Ara terlihat sedikit salah tingkah dan kebingungan menyusun kosa kata, "maksudnya kamu--"
"Bisa kok, Ra, dia pinter. Nggak pernah rewel," ucap Jihan sambil tersenyum dan mengelus perutnya yang agak buncit, "tapi tadi aku juga udah makan kok."
Ara manggut-manggut paham. "Oke, tapi kita mampir beli makan dulu nggak papa kan? Sama camilan gitu, sekalian beli buat sahur nanti."
"Nggak papa, kan aku ikut kamu."
Ara mengangguk paham.
💙💙💙💙
🙏 ...awal yg asyik u baca terus