Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10: Frost
Malam itu, di ruang kerjanya, Rizki sedang berkutat dengan rencana pembuatan bom pembeku ketika Bima datang menghampirinya.
“Riz, kira-kira berapa lama lagi bom pembeku itu akan selesai?” tanya Bima dengan nada mendesak.
Rizki menghela napas dan menjawab, “Mungkin sekitar dua bulan lagi, Bim. Ini perkiraan paling cepat.”
Bima terlihat kecewa, namun mencoba menahan perasaannya. “Nggak bisa lebih cepat lagi, Riz? Kita butuh itu untuk mengalahkan Ruo dan juga… buat mencari Wira.”
Rizki menatap Bima dengan serius. “Aku ngerti, Bim. Tapi semua ini butuh waktu dan peralatan khusus. Dua bulan adalah waktu tercepat kalau nggak mau hasilnya malah berantakan.”
Bima hanya bisa mengangguk pasrah, menyadari bahwa ia tidak punya pilihan lain selain menunggu.
Sementara itu, di ruang tengah, Flora, Nora, dan Meyrin tengah berkumpul. Mereka bercanda dan berbincang, menyenangkan hati Meyrin yang mulai terpesona dengan cerita-cerita heroik tentang Wira. Flora dan Nora berkisah tentang keberanian Wira dalam menghadapi Ruo, hingga Meyrin mulai terlihat terinspirasi.
Meyrin berkata sambil tersenyum, “Aku ingin jadi seperti Kak Wira… Bisa melindungi semua orang. Dan aku mau belajar menulis puisi, seperti Kak Wira.”
Flora tersenyum dan mengusap kepala Meyrin, bangga dengan semangat bocah kecil itu. “Kalau gitu, kita harus mulai latihan menulis, Meyrin. Kak Wira pasti bakal senang kalau tahu kamu mengikuti jejaknya.”
Tidak lama kemudian, Rizki dan Bima bergabung dalam percakapan mereka. Rizki membawa kabar baru yang ia temukan dari berita di internet.
“Saat ini, Ruo semakin menyebar dengan cepat,” ujar Rizki, wajahnya serius. “Menurut artikel yang kubaca, Ruo mampu berkamuflase sebagai manusia dan menyusup ke tempat-tempat manusia berkumpul. Mereka benar-benar makhluk yang terkoordinir. Dan yang mengendalikan mereka, pasti sangat cerdas.”
Nora terdiam mendengar itu, membayangkan ancaman besar yang semakin mendekat. “Jadi… nggak ada cara untuk membedakan Ruo dari manusia?”
Rizki mengangguk. “Belum ada. Bahkan, beberapa laporan menyebutkan bahwa beberapa Ruo bisa berbicara dan bertingkah layaknya manusia normal. Ini yang membuat mereka jadi ancaman yang sangat serius.”
Flora menghela napas dalam-dalam, kesadaran akan bahaya yang mereka hadapi semakin nyata. Mereka menyadari bahwa bertahan hidup bukan hanya soal menghindari bahaya, tetapi juga harus memahami bahwa musuh bisa menyamar dan menyusup di antara mereka kapan saja.
Di ruang tengah, setelah mendengar kabar dari Rizki, Nora tiba-tiba nyeletuk dengan nada khawatir, “Bagaimana dengan Wira? Kita nggak bisa mulai mencari dia tanpa menyelidiki rumah sakit itu. Rumah sakit itu kan tempat terakhir alat komunikasinya terlacak…”
Flora menenangkan Nora dengan tawa ringan. “Hei, Nora, tenang saja. Palingan dia sekarang sedang tidur nyenyak, mungkin sedang bersantai atau menikmati hidup.”
Pindah ke Wira...
Namun, beralih ke tempat Wira berada, jauh dari rasa nyaman atau santai, ia justru meronta-ronta, seluruh badannya terasa sakit. “Ini benar-benar neraka, dan kau adalah iblisnya, Kek! Bagaimana mungkin dari siang sampai sore kau terus saja membanting-banting badanku!”
Kakek itu hanya mendengus dan menjawab dengan tenang, “Ini baru hari pertama, dan kau sudah mengeluh? Kita akan melakukan ini selama seratus hari, Bocah.”
Wira menghela napas dalam hati, lalu bergumam dalam pikirannya, "Teman-temanku pasti akan menemukanku sebelum hari ke-100." Dengan senyum meledek, ia melontarkan, “Kek, aku ini manusia tampan, dan kau iblis. Fisik kita jelas beda, dong.”
Kakek menatapnya tajam dan menjawab, “Maka dari itu, aku akan menjadikanmu iblis juga.”
Mendengar jawaban kakek yang tenang namun tajam, Wira tersenyum kecil. Ada sesuatu yang menarik baginya dalam sikap keras kepala kakek itu. “Hoo, kau sudah mengerti diriku ya, Kakek Tua?” godanya, mencoba mencari topik untuk mengalihkan rasa lelahnya. “Ngomong-ngomong, buku apa yang kau baca, Kek?”
Kakek melirik novel yang ada di pangkuannya. “Ini? Hanya novel biasa.”
“Novel tentang apa?” tanya Wira, mencoba memancing obrolan.
“Seorang salesman yang berubah jadi kecoak,” jawab kakek tanpa ekspresi.
Wira terdiam sesaat, lalu tertawa terbahak-bahak. “Hahaha! Franz Kafka, Metamorphosis! Absurdism!”
Kakek menatap Wira sejenak, cukup terkejut bahwa bocah ini mengenali bukunya. “Hmm, lumayan juga kau, ya, bocah.”
Wira tersenyum puas, lalu berbaring sambil mengatur napasnya, merasa sedikit lebih dekat dengan kakek. “Selamat tidur, Kakek Iblis.”
Markas Nora, Sore hari
Setelah 62 hari berlalu sejak kejadian terakhir, sore itu Rizki tampak sibuk di ruang kerjanya. Setelah kerja keras selama berhari-hari, ia akhirnya berhasil menyelesaikan empat bom pembeku yang selama ini mereka tunggu-tunggu. Merasa lega, ia segera memanggil Bima untuk melihat hasil karyanya.
“Bim, akhirnya selesai. Ini empat granat pembeku yang sudah kita buat,” kata Rizki, menempatkan bom-bom itu di atas meja dengan hati-hati. Namun, ia memberi peringatan serius, “Tapi ingat, mekanisme pengamannya belum sempurna. Kau harus ekstra hati-hati saat menggunakannya, karena bisa saja meledak dan melukai penggunanya juga.”
Bima mengangguk, tekad terlihat di wajahnya. “Baik, Riz. Aku akan berhati-hati. Besok, aku akan ke rumah sakit untuk menghancurkan kepala Ruo itu. Sudah terlalu lama kita menunggu kesempatan ini, dan sekarang kita punya alat yang tepat.”
Bima pun keluar dari ruang kerja Rizki dan berjalan ke ruang tengah. Di sana, ia melihat Flora sedang bermain bersama Meyrin. Wajah Meyrin terlihat lebih ceria, mungkin karena kedekatannya dengan Flora dan kekagumannya terhadap cerita heroik Wira yang diceritakan Flora dan Nora. Bima lalu menanyakan keberadaan Nora kepada Flora.
“Nora? Sepertinya dia sedang keluar. Mungkin mencari tanaman obat di sekitar sini,” jawab Flora sambil tersenyum.
Ingin memastikan keberadaan Nora, Bima memutuskan untuk keluar dan mencarinya. Setelah berjalan cukup jauh, ia akhirnya menemukan Nora duduk sendirian di bangku trotoar, terlihat sedang merenung dan memandangi sesuatu.
“Sedang apa kau di sini, Nora?” tanya Bima, mencoba membuka percakapan.
Nora menoleh dan tersenyum tipis. “Aku cuma jalan-jalan, Bim. Sekalian mencari tanaman obat yang mungkin bisa kita manfaatkan nanti.”
Dengan nada semangat, Bima memberi kabar baik, “Rizki berhasil menyelesaikan bom pembeku! Besok aku akan ke rumah sakit, menghancurkan Ruo itu, dan mencari Wira. Kudengar juga stok obat kita mulai menipis, jadi mari ikut denganku.”
Nora mengangguk setuju. “Baiklah, Bima. Aku akan ikut denganmu besok.”
Saat Bima hendak beranjak kembali ke markas, Nora tiba-tiba memanggilnya dengan nada pelan. “Bima...”
Bima menoleh, memperhatikan Nora yang tampak ragu-ragu. “Ada apa, Nora?”
Nora menunduk sejenak sebelum berbicara. “Tidak jauh dari sini, aku... melihat mayat manusia. Awalnya, aku sempat takut itu adalah Wira. Jadi, aku menggalinya untuk memastikan. Syukurlah itu bukan Wira, tapi ternyata dua preman yang pernah menggangguku dulu.” Nora berhenti sejenak, tampak berpikir. “Dari luka-lukanya, sepertinya mereka mati karena tembakan, dan satunya lagi... karena pukulan yang menghancurkan tulang tengkoraknya.”
Bima terdiam, tersentak mendengar ini. Ia sadar bahwa mayat itu mungkin tidak dikubur dengan baik saat itu.
Nora melanjutkan, dengan tatapan penuh tanda tanya, “Bima, jujurlah padaku. Apakah Wira yang membunuh mereka?”
Setelah hening beberapa saat, Bima mengangguk. “Benar, Nora. Wira yang membunuh mereka.”
Nora memandang Bima, mencari kepastian. “Kau tahu alasannya kenapa Wira melakukan itu?”
Bima menghela napas. “Wira bilang kalau dia diganggu dan diancam akan dibunuh. Jadi, dia memutuskan untuk membunuh mereka dulu.”
Namun, Nora menggeleng, tidak sepenuhnya puas. “Bukan itu pertanyaanku, Bima. Aku belajar ilmu medis selama enam tahun, jadi aku tahu dasar-dasar otopsi. Dari luka di mayat itu, aku bisa melihat bahwa pria yang satunya tidak mati karena tembakan, tetapi karena pukulan beruntun yang menghancurkan tengkoraknya. Jadi, pertanyaanku adalah, kenapa Wira harus menyiksanya dulu? Kenapa dia tidak langsung menembak kepala mereka?”
Bima terdiam lama, tak punya jawaban yang pasti. “Nora... aku sendiri juga tidak tahu.”
Nora menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Baiklah kalau begitu, mari kita kembali ke markas.”
Mereka pun kembali berjalan menuju markas dalam keheningan. Dalam perjalanan, baik Bima maupun Nora tampak tenggelam dalam pikiran masing-masing, dengan semakin banyaknya tanda tanya dan keraguan yang menyelimuti pikiran mereka tentang sosok Wira yang tampaknya lebih kompleks dan penuh misteri dari yang mereka bayangkan.
Keesokan paginya, Bima dan Nora bersiap di depan pintu untuk menuju rumah sakit, penuh tekad untuk menghadapi Ruo yang selama ini menghalangi mereka. Saat hendak berangkat, Rizki menyela mereka, mengatakan, “Aku juga ingin ikut. Aku harus lihat sendiri seberapa efektif bom pembeku ini.” Bima mengangguk setuju, senang mendapat bantuan tambahan.
Di markas, Flora dan Meyrin tetap tinggal. Flora tampak mengajari Meyrin memasak, memberi suasana nyaman dan sedikit hiburan bagi gadis kecil itu di tengah masa-masa sulit ini.
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, suasana di dalam mobil terasa sangat hening. Bima dan Nora masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka. Rizki, yang duduk di belakang, merasakan ketegangan itu dan mencoba memecah suasana dengan lelucon, namun tidak berhasil menghidupkan atmosfer; keheningan tetap menguasai.
Sesampainya di rumah sakit, Bima dengan sigap menenteng tas berisi empat granat pembeku, pistol di pinggangnya, dan pemukul baseball di tangan kanannya. Ketiganya mulai berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang suram. Bima, yang tampak lebih percaya diri dari biasanya, mengetukkan tongkat baseball-nya ke dinding-dinding sepanjang lorong sambil bergumam, “Ruo, kali ini kaulah yang kami buru!”
Suara ketukan tongkat baseball-nya menggema di lorong, menambah ketegangan. Tak lama kemudian, mereka melihat sosok Ruo berdiri di ujung lorong. Bima dan Ruo sama-sama maju dengan langkah yang mantap, saling mengintimidasi, sementara Nora dan Rizki tetap di belakang, mengamati.
Ketika jarak antara Bima dan Ruo cukup dekat, Bima meraih satu granat pembeku dari tasnya. Ia melepas pinnya dan melemparkannya tepat di depan wajah Ruo. Dalam hitungan detik, granat itu mulai melepaskan gas pembeku yang kuat cressss… dan Ruo mulai membeku dari kepala hingga ke seluruh tubuhnya. Rizki yang menyaksikan dari belakang berbisik penuh kagum, “Bagus! Senjatanya sangat efektif.”
Dengan percaya diri, Bima berjalan santai, memutar-mutar tongkat baseball di tangannya, mendekati Ruo yang kini berdiri membeku. Ia berjalan santai melewati Ruo yang tak bisa bergerak, berhenti sejenak, lalu dengan satu ayunan keras DANG! kepala Ruo hancur seketika, berantakan oleh pukulan telak dari tongkat baseball Bima.
Rizki dan Nora hanya bisa terdiam sejenak, menyaksikan kemenangan mereka. Bima tersenyum puas, memandangi hasil pukulannya, kepala Ruo itu benar-benar berantakan.
Nora dan Rizki tersenyum lega, merasa harapan mereka untuk melawan Ruo kini semakin nyata setelah menyaksikan efektivitas bom pembeku. Merasa lebih optimis, mereka melanjutkan rencana mereka dengan mencoba mencari jejak Wira. Demi efisiensi, mereka pun berpencar, masing-masing menyusuri area rumah sakit yang berbeda.
Dua jam berlalu, dan mereka tidak menemukan apa pun yang mengarah pada keberadaan Wira. Ketika Bima mulai memperluas pencariannya ke luar rumah sakit, ia berjalan sekitar 30 meter dari gedung dan menemukan sebuah sungai besar yang berada di bawah tebing setinggi sekitar 8 meter. Pemandangan sungai itu membuatnya berpikir.
Bima mengaktifkan alat komunikasinya dan berbicara kepada yang lain, “Nora, Rizki, 30 meter dari rumah sakit ada sungai besar. Melihat kita tidak menemukan apa-apa di dalam rumah sakit, kemungkinan besar Wira mungkin melompat dan hanyut ke sungai ini.”
Mendengar itu, Nora langsung memasang ekspresi khawatir dan menjawab, “Kalau begitu, ayo kita cari Wira! Kita bisa menyusuri sungai ini dan mungkin menemukan petunjuk.”
Namun, Bima menjawab dengan nada tegas, “Tidak bisa, Nora. Sepanjang tepi sungai ini adalah hutan lebat. Kita akan butuh persiapan yang lebih matang jika memang akan menyusuri sungai ini.”
Nora tampak menunduk kecewa, tapi memahami situasinya. Bima melanjutkan, “Sekarang, sebaiknya kita kembali dulu. Nora, ambillah beberapa obat yang kita butuhkan, dan Rizki, tolong bantu Nora. Setelah itu kita kembali ke markas dan merencanakan lebih lanjut.”
Nora dan Rizki mengangguk setuju, lalu bergegas untuk mencari persediaan obat-obatan sebelum mereka pulang. Di tengah kekhawatiran, ada tekad baru untuk menemukan Wira dan menyusuri sungai dengan persiapan yang lebih matang di kemudian hari.
Gubuk Kecil kakek
Di tepi sungai dekat gubuk kecil milik si kakek, Wira tampak memeras bajunya yang basah dengan telanjang dada. Tubuhnya yang kini dipenuhi bekas luka dan otot-otot yang mulai terbentuk terlihat lebih tangguh, rambutnya juga sudah memanjang. Setelah hari yang melelahkan dengan latihan tanpa henti dari pagi hingga sore, Wira bersantai sejenak, menikmati pemandangan langit senja yang mulai berubah warna, sembari menunggu matahari terbenam.“Jauh... jauh sekali...” gumamnya pelan, matanya menatap ke arah cakrawala. Ia mengangkat tangan ke arah langit, mengarahkan telapak tangannya seolah-olah ingin meraih matahari yang mulai tenggelam di balik bukit. “Apa batasnya? Bagaimana rasanya?”
Seolah tenggelam dalam dunianya sendiri, Wira berdiri, memejamkan mata, dan mulai memutar melodi di pikirannya. Tubuhnya mulai bergerak, mengikuti irama yang hanya bisa ia dengar, seakan menyulap tepi sungai itu menjadi panggung pertunjukannya sendiri. Ia menari, meskipun gerakannya tampak tak beraturan dan kaku, namun ada semacam keinginan kuat untuk menciptakan keindahan di setiap langkahnya.
Beberapa saat kemudian, suara kakek yang berat terdengar di belakangnya. “Bocah ini sudah gila!” gumam kakek dengan nada mencela, membuat Wira tersentak kaget.
“Hei, kakek iblis! Tega sekali kau menghancurkan panggungku!” seru Wira, merasa seolah aksinya telah diganggu.
Kakek menggeleng pelan, memasang ekspresi tak sabar. “Apa yang sedang kau lakukan, bocah?”
Wira membusungkan dada, menjawab dengan bangga, “Aku sedang membuat keindahan.”
Kakek menatapnya skeptis dan mengangkat sebelah alis. “Keindahan? Tarianmu bahkan tidak indah sama sekali. Gerakanmu kaku dan... menjijikkan.”
Wira mendengus sebal. “Ya jelas saja tubuhku kaku, kau setiap hari memukuliku sampai remuk!”
Sejenak mereka terdiam, sebelum si kakek mengambil beberapa buah pisang yang baru saja ia petik dari hutan. Ia melemparkan satu buah kepada Wira, yang langsung ditangkap olehnya.
Wira menatap pisang itu, tersenyum miring. “Kau memang keterlaluan, kakek iblis. Setelah kau mengataiku menjijikkan, sekarang kau memberiku pisang. Kau pikir aku monyet?”
Kakek hanya menatapnya dengan datar, lalu berkata, “Tidak mau? Ya sudah,” sambil berbalik hendak pergi.
“Tidak! Tidak! Aku hanya bercanda!” buru-buru Wira berkata, menarik kembali ucapannya. Ia mulai mengupas pisang itu dengan antusias.
Sambil pergi meninggalkan Wira, kakek bergumam pelan, “Dasar bocah aneh...”
Wira duduk sendiri, menikmati pisang yang diberikan kakek, merasakan ketenangan senja yang perlahan menyelimuti hutan.