Aozora Jelitha, dikhianati oleh calon suaminya yang ternyata berselingkuh dengan adiknya sendiri. Padahal hari pernikahan mereka tinggal menunggu hari.
Sudah gagal menikah, ia juga dipaksa oleh ayah dan ibu tirinya, untuk membayar utang-utang papanya dengan menikahi pria yang koma,dan kalaupun bangun dari koma bisa dipastikan akan lumpuh. Kalau dia tidak mau, perusahaan yang merupakan peninggalan almarhum mamanya akan bangkrut. Pria itu adalah Arsenio Reymond Pratama. Ia pewaris perusahaan besar yang mengalami koma dan lumpuh karena sebuah kecelakaan.Karena pria itu koma, paman atau adik dari papanya Arsenio beserta putranya yang ternyata mantan dari Aozora, berusaha untuk mengambil alih perusahaan.Ternyata rencana mereka tidak berjalan mulus, karena tiba-tiba Aozora mengambil alih kepemimpinan untuk menggantikan Arsenio suaminya yang koma. Selama memimpin perusahaan, Aozora selalu mendapatkan bantuan, yang entah dari mana asalnya.
Siapakah sosok yang membantu Aozora?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosma Sri Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ribut
Sementara itu di tempat lain, tepatnya di kediaman Damian, tampak Tsania masih bergelung di bawah selimut, dan sepertinya tidak ada tanda-tanda akan bangun. Di sisi lain, Dimas terlihat buru-buru bersiap-siap untuk bekerja.
"Argh, aku udah punya istri, tapi sama aja seperti tidak punya istri," Dimas melirik ke arah Tsania yang masih tetap setia menutup matanya.
"Tsania, bangun! lihat ini sudah jam berapa? Aku sudah kesiangan!" Dimas menepuk-nepuk pundak Tsania, berharap istrinya itu akan bangun.
"Ahhh, Sayang aku masih ngantuk!" bukannya bangun, Tsania malah menarik selimutnya.
"Kamu apa-apaan sih? Suami mau bekerja, bukannya dibantu mempersiapkan kebutuhan suami, malah masih tidur!" nada bicara Dimas tersenyum sangat kesal.
Tsania sontak membuka matanya dan menatap kesal ke arah Dimas. "Kamu apaan sih? Kamu biasanya kan bisa sendiri? Jadi kenapa aku harus mempersiapkan apa yang kamu butuhkan?" ucap Tsania dengan mata yang masih mengantuk.
"Aku tahu aku bisa sendiri, tapi apa gunanya kamu sebagai istri? Harusnya kamu siapkan semua kebutuhanku, dan memberangkatkan aku kerja, bukannya malah molor. Lagian, kamu lihat jam ... Ini sudah hampir jam 8 Tsania. Kamu harusnya sudah bangun, dan setidaknya bantuin bibi atau mama di bawah sana untuk membuat sarapan," ucap Damian, semakin kesal.
"Apa kamu bilang?" Tsania sontak duduk dan menatap Dimas dengan tatapan tajam.
"Aku harus masak? Tidak, tidak! Bagaimana mungkin aku mau memasak. Kamu kan tahu sendiri, kalau aku tidak bisa memasak. Masa begitu aku menikah denganmu, aku harus memasak. Jadi, apa gunanya ada pembantu? Lagian ini masih jam 8 pagi, aku biasanya bangun 10 atau jam 11-an. Pokoknya kalau aku mau bangun, aku bangun kalau tidak, ya aku tetap tidur," tutur Tsania panjang lebar.
Dimas mengembuskan napasnya dengan sekali hentakan, masih berusaha untuk menahan diri agar tidak marah.
"Kamu sudah menikah, jadi kamu harus merubah kebiasaanmu. Kalau kamu tidak bisa memasak, ya belajar! memang ada pembantu, tapi kadang-kadang suami itu pengen makan masakan istri, dan dilayani istri. Kecuali kalau kamu sakit, atau ada halangan, itu bisa dikecualikan," Dimas masih sabar memberikan pengertian pada istrinya itu.
"Ahh, aki gak mau ya nggak mau! Yang jelas aku bukan pelayanmu. Aku itu biasa dilayani. Masa setelah menikah malah jadi pelayanmu. Pokoknya, walaupun aku sudah menikah, aku tidak akan pernah merubah kebiasaanku. Kakak, pergi kerja aja deh sekarang! Aku masih mau tidur!" Tsania menarik kembali selimutnya dan membaringkan tubuhnya.
"Dasar wanita tidak berguna. Bisanya hanya ngang*kang saja. Kamu beda sekali dengan Zora!" sepertinya Dimas mulai hilang sabar.
Tsania yang baru saja terpejam, kembali membuka matanya dan duduk kembali.
"Apa kamu bilang? Aku beda dengan Zora? Tentu saja aku beda dengannya dan kamu tahu itu! Kenapa? Apa kamu menyesal sudah menikah denganku? Apa kamu mau kembali mengejar Kak Zora? Kamu pikir dia masih mau menerimamu, hah!" napas Tsania terlihat memburu, saat melontarkan kata-katanya.
"Turunkan nada suaramu, bangsat! benar-benar wanita tidak berguna kamu!" Dimas meraih tas kerjanya dan langsung beranjak pergi.
"Kak Dimas, jangan pergi, aku belum selesai bicara!" teriak Tsania. Namun Dimas tidak berhenti melangkah, justru pria itu menutup pintu dengan sangat keras.
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
"Kenapa pagi-pagi kalian sudah ribut? belum ada seminggu kalian menikah, tapi sudah ribut. Bikin malu saja!" tegur Meta, begitu melihat kehadiran putranya.
"Dia yang cari ribut, Ma. Aku hanya memintanya untuk bangun dan menyiapkan pakaianku untuk kerja, tapi dia menolak dan bilang kalau dia bukan pelayanku. Aku minta membantu mama dan Bibi di dapur, dia tetap menolak. Aku kesal, Ma!" Dimas bercerita sembari mendaratkan tubuhnya duduk di kursinya.
"Pelan-pelan dibimbing, Nak. Jangan paksakan dulu dianya. Kamu tahu sendiri kan kalau dia selalu dimanjakan di rumahnya. Jadi jangan terlalu berharap begitu besar dulu!" ucap Meta, bijak.
"Ahh, sudahlah, Ma! Dia pasti tidak akan berubah. Dia jauh berbeda dengan Aozora!" cetus Dimas, membuat Meta mengernyitkan keningnya.
"Kenapa kamu membawa-bawa nama Zora? sifat semua orang itu berbeda, walaupun mereka kakak adik sekalipun. Lagian, jangan sebut-sebut nama Zora lagi, apalagi di depan Tsania. Jangan pernah membandingkan mereka. Tsania pasti akan merasa sedih nantinya!" Meta memasang wajah kesal.
"Kalau tidak mau dibandingkan setidaknya mau belajar. Ah, sudahlah, Ma. Aku berangkat dulu!" Dimas berdiri dari tempat dia duduk.
"Lho, kamu tidak sarapan dulu?" Meta mengernyitkan keningnya.
"Aku sarapan di kantor aja! Aku lagi tidak selera makan," sahut Dimas sembari melangkahkan kakinya.
Meta tidak ingin mencegah lagi. Wanita paruh baya itu hanya menatap kepergian putranya dengan helaan napas panjang dan berat.
"Yang dikatakan Dimas benar sih, kalau tidak mau dibandingkan, setidaknya mau belajar, agar bisa seperti Zora. Tidan perlu seratus persen seperti Zora. Dua puluh lima persen saja, sudah syukur!" batin Meta, membenarkan ucapan putranya tadi.
"Ah, tapi mereka kan masih baru menikah, Tsania kan juga masih butuh waktu. Nanti lambat laun pasti berubah kok," sambung Meta lagi.
"Ada apa, Sayang? Kenapa kamu bicara sendiri?" tiba-tiba Damian muncul, membuat Meta terjengkit kaget.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Kalau suasana pagi di rumah Dimas ada keributan, beda dengan suasana di kediaman Arsen.
Tampak Aozora sedang menyendokkan makanan ke piring Arsen dan memberikan minum suaminya itu. Suasana sarapan pagi di kediaman itu benar-benar terasa hangat. Walaupun memang Arsenio gengsi untuk mengucapkan terima kasih.
"Ma, piring mama sini, biar aku ambilkan makanan untuk Mama," Aozora menawarkan diri.
"Tidak perlu, Nak! Biar mama saja yang ambil. Kamu ambil punya kamu sendiri dan makan, biar kamu ada tenaga untuk mengahadapi Omelan suamimu nanti!" tolak Amber yang dalam ucapannya terselip sindiran pada sang putra.
Mendengar ucapan mama mertuanya, Aozora hanya bisa terkekeh dan mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Sedangkan Arsen tetap melanjutkan makannya,.seakan tidak peduli dengan sindiran mamanya itu.
"Selamat pagi semuanya!" tiba-tiba terdengar suara pria yang sangat familiar di telinga tiga orang itu. Siapa lagi pemilik suara itu kalau bukan Daren.
"Pagi, Nak Daren! Pagi sekali datangnya?" sambut Amber dengan senyuman.
"Emm, iya nih, Tan. Biar lebih lama terapinya," sahut Daren dengan mata menatap ke arah makanan di meja.
"Kamu pasti belum sarapan kan? Ayo sarapan dulu!" Amber kembali tersenyum, seakan mengerti dengan tatapan Daren.
"Wah, iya nih, Tan. Sepertinya enak nih," mata Daren berbinar. Pria itu pun mendarat tubuhnya duduk di kursi tidak jauh dari Aozora. Intinya Zora ada di antara tempat duduk Arsen dan Daren.
"Daren, sini piring kamu, biar aku ambilkan makanan untukmu!" Aozora berdiri dari kursinya.
"Oh, terima kasih, Zora!" Daren dengan senyum lebar meraih piring di meja dan hendak memberikan ke pada Zora.
"Dia punya tangan, Zora, biar dia ambil sendiri!" Cetus Arsen dengan nada dingin seraya menatap tajam ke arah Daren.
"Iya, Zora. Aku ambil sendiri deh!" ucap Daren yang seketika mengerti maksud tatapan sahabatnya itu. Sementara itu, Aozora hanya terpaku dengan kening berkerut, bingung
"Zora, kamu pindah duduk ke sini!" titah Arsen sembari menunjuk kursi di samping kirinya.
"Kenapa, Mas?" Aozora terlihat semakin bingung.
"Jangan banyak tanya! Aku suruh pindah ya pindah!" suara Arsen semakin dingin dan tak terbantahkan.
Dengan embusan napas sekali hentakan, Aozora akhirnya memilih untuk tidak bertanya lagi, karena dia tidak mau ada keributan.
"Cih, dasar posesif!" gumam Daren, melirik sinis ke arah Arsen.
Sementara itu, dari arah tempat duduknya, Amber hanya bisa tersenyum penuh makna melihat sikap putranya barusan.
Tbc
dan menjemput kebahagian masing-masing