Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 Kesal
Selama perjalanan pulang, aku dan Noel terlibat perang adu sindir. Dalam perang adu sindir itu, akulah pemenangnya. Dia memilih lawan yang salah jika beradu mulut. Sudah pasti kaum hawa pemenangnya. Beda jauh dengan kaum Adam yang menggunakan kekuatan otot.
Dave sampai pusing gara-gara perang adu sindir itu. Dia bingung ingin memihak aku atau lelakinya. Beruntung Carla berada di pihakku. Putri kecilku itu seolah tahu ada sesuatu yang terjadi di antara kami. Carla selalu mengoceh dan tidak habis ide mengajak Dave bermain atau sekedar menemaninya. Tidak biasanya Carla seperti itu.
Tentunya kelakuan Carla memudahkan aku untuk menguasai panggung peperangan. Jangan ditanya lagi bagaimana dengan Noel. Wajah pria itu selalu berubah warna setiap kena sindiran dariku. Dimulai dari memerah, kemerahan, dan terakhir kulihat hampir menyerupai ubi ungu.
Sesampainya di rumah, aku tidak langsung masuk ke kamar. Kebetulan Carla juga tidak tidur. Aku penasaran apa yang akan dilakukan jantan-betina itu di rumahku. Gelagatnya terlihat tidak ingin beranjak dari sini.
"Carla udah mau bobok belom?" tanyaku pada Carla.
"Cala macih mau main. Boleh mama?" gadis kecil itu malah menanyaiku balik.
Entah mengapa Carla hari ini memiliki banyak energi. Biasanya di jam lima sore begini, dia sudah santai dengan piyama sambil menunggu makan malam. Aku memang membiasakan Carla untuk tidak bermain atau beraktivitas berat menjelang malam.
Apa mungkin ini adalah bukti dari kuatnya ikatan batin? Carla masih kecil dan dia tidak tahu bagaimana caranya mengungkapkan rasa tidak enak di hatinya. Biarlah dia mengekspresikan suasana hatinya dengan caranya sendiri.
"Boleh," jawabku sambil tersenyum.
"Makacih mama," ucap Carla sambil mengecup pipiku.
"Eits! Tapi Carla mainnya di dalam rumah saja, ok!"
"Ok mama," senyum imut terukir di wajahnya. Membuatku tak tahan untuk mencubit kedua pipinya.
Maya yang tadi ku panggil langsung tiba. Sekarang gilirannya untuk mengurus Carla.
"Halo, nona kecil! Apa kabar? Kangen ngga sama mba Maya?" Maya mendaratkan lututnya ke lantai agar tinggi badannya menyamai Carla.
"Cala kangen kok," Carla melompat sambil melingkarkan tangannya di leher Maya.
Kedua gadis beda usia itu saling berpelukan melepas rindu. Maya memeluknya erat dan menghujaninya dengan ciuman.
"Hmm! Carla bau acem," ucap Maya saat mencium ceruk lehernya.
"Cala wangi," Carla tak mau kalah.
"Iya, nona kecilnya mba Maya wangi kok, tapi sekarang kita mandi dulu, yuk! Pasti gerah dari siang belum mandi," ajak Maya.
"Ayok!" Carla melompat turun dari pelukan Maya.
Melihat pemandangan mereka membuatku terlena. Hampir saja aku lupa dengan urusanku yang lain. Setelah bayangan Maya dan Carla menghilang dari anak tangga, aku kembali menuju si pembuat onar.
"Apa yang kau lakukan di sini?" pertanyaanku berhasil menarik perhatian dua pria yang sedang asyik berbincang.
Seumur hidupku, baru kali ini aku merasa muak melihat pria tampan. Muak karena tahu kelakuan mereka. Aku mendaratkan tubuhku di atas pangkuan Dave. Hal yang tidak pernah aku lakukan di depan umum. Ya, walaupun ini adalah rumahku tapi aku tidak pernah mengumbar kemesraan di depan Carla, Maya, mbok Ijah, dan pak Ujang.
Aku sedikit canggung dengan kelakuan ku sendiri. Posisi dudukku juga kurang nyaman. Dave merangkul pinggangku. Aku pikir dia akan memindahkan tubuhku. Namun, dugaanku meleset. Dave membenarkan posisi dudukku di atas pangkuannya.
Dapat kulihat wajah tidak senang Noel. Mau bertingkah di rumahku. Hmm, coba saja kalau berani! Aku adalah ratunya di sini. Aku tertawa pelan saat membayangkan Noel ingin dipangku juga oleh Dave. Aku semakin bertingkah manja. Sengaja memanasi lelaki betina itu.
"Apa yang lucu?" tanya Dave saat melihat wajahku mengukir senyum.
"Aku yakin kau tidak ingin tahu," balasku sambil mengecup pipinya.
"Terserah kau saja," balas Dave.
"Apa yang kau lakukan di sini?" aku mengulang pertanyaan yang tadi belum dijawab.
Noel masih setia dengan diamnya. Kedua matanya menatapku tajam bagai elang yang ingin menerkam mangsanya. Aku yakin seratus persen pria itu kesal setengah mati padaku.
"Aku ingin memperjelas semuanya," ucap pria itu.
"Noel! Tidak begitu caranya. Sekarang bukan waktu yang tepat," ucap Dave.
Aku melepas tanganku yang melingkar di leher Dave dan pindah posisi duduk. Tatapanku tidak teralihkan. Lelaki betina itu menatapku seperti itu, tentu saja akan ku balas.
"Sekarang waktu yang tepat," aku menyanggah Dave.
"Sayang, saat ini waktu yang tidak tepat. Kita semua lelah setelah menempuh perjalanan jauh," jelas Dave.
"Aku tidak masalah," jawab Noel.
Noel duduk dengan rileks. Dia menyandarkan punggungnya ke sofa. Pria itu memang berniat untuk memperjelas semuanya.
"Aku malah tidak sabar ingin mendengar karangan indah kalian berdua," balasku tanpa mengalihkan pandangan.
Dave menghela napas panjang. Dua orang yang dia kasihi sedang menaikkan ego mereka. Tidak ada jalan lain selain menuruti keinginanku dan Noel. Jika tidak, hari ini tidak akan berakhir baik.
"Ke ruang kerjaku saja," Dave berdiri dan meraih tanganku.
Menuntunku menuju ruang kerjanya yang terletak di lantai tiga. Aku tersenyum senang karena Dave memilihku daripada lelakinya. Noel bergegas berdiri dan berjalan mengikuti langkah kaki kami.
Ruang kerja Dave yang didominasi warna abu-abu muda dan putih mendadak suram saat kami bertiga masuk. Dave mengunci pintu agar tidak ada yang asal masuk ke dalam. Maya dan mbok Darmi tidak perlu dipusingkan tetapi putri kecil kami. Carla belum makan malam dan tidur.
Bisa saja gadis kecilku tiba-tiba mencari ku atau Dave. Aku tidak ingin Carla mendengar pembicaraan kami yang mungkin dapat memicu pertengkaran.
"Siapa yang ingin memulai lebih dulu?" tanyaku sambil menghempaskan bokongku ke sofa.
"Biarkan aku yang menjelaskan!" seru Dave pada Noel.
Sebelah tangannya menahan Noel untuk tidak tersulut. Api cemburu mulai memancar di hatiku. Dengan gaya Dave seperti itu, aku bisa tahu jika suamiku itu sangat paham dengan emosi lelakinya.
"Jika tidak bisa, biarkan aku yang membereskannya," ucap Noel santai namun penuh penekanan.
"Apa maksudmu dengan membereskan? Siapa yang ingin kau bereskan?" aku mencecarnya tak tahan dengan rasa cemburu ini.
Enak saja dia ingin membereskan ku. Memangnya aku ini mainan anak balita yang setelah bermain harus dibereskan dan dirapikan kembali ke tempat semula. Rasanya ingin aku uleg mulutnya.
"Aku hanya ingin memudahkan Dave," balasnya santai.
"Noel, bisa tenang sebentar!" seru Dave.
"Bukannya ini ide kalian berdua yang saling menuntut dan menunggu penjelasan? Jika kalian begini terus, jangan harap akan ada penjelasan!" timpal Dave.
Aku spontan diam. Benar juga yang dikatakan Dave. Jika aku adu mulut terus dengan Noel. Bisa-bisa tidak akan ada penjelasan yang sudah lama aku tunggu.