Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6
Bayangan Luna Gerallia saat akan pergi ke Bandung bersama keluarganya adalah mengunjungi tempat wisata, pergi ke sawah untuk bercocok tanam dan mencari tempat makan yang enak. Namun, dia harus menerima kenyataan bahwa semua itu hanya menjadi angan-angannya semata.
Pasalnya, Kedua orang tuanya justru bertengkar hebat saat mereka dalam perjalanan menuju tempat wisata. Mereka saling berteriak satu sama lain dan tidak ada yang mau mengalah tentang siapa yang salah.
"Kamu kenapa sih, nggak percaya sama aku?! Aku sudah bilang nggak ada hubungan apa-apa sama perempuan itu!" Satria berteriak sambil terus mengemudikan kendaraannya, sesekali dia menatap tajam Marisa yang duduk di sampingnya.
"Kalau nggak ada hubungan apa-apa, nggak mungkin dia telepon kamu pagi buta begini, Mas?! Tadi malam kan sudah telepon! Ngapain sekarang telepon lagi?!"
"Kamu itu selalu saja marah-marah. Kamu selalu nanya hal yang sudah aku jelasin berkali-kali!"
Marisa menghela napas kasar saat Satria mulai menyalahkan dirinya. "Kok kamu malah nyalahin aku? Orang curiga karena suaminya dapat telepon dari wanita lain itu wajar. Aku nggak tahu kamu ngelakuin apa di kantor, kamu main mata sama siapa aku nggak bakal tahu!"
"Main mata apa sih, Mar? Kamu bicara apa? Nuduh-nuduh begitu. Kalau aku yang balik nanya begitu kamu terima, nggak? Nggak, kan?"
"Kamu mau nanya apa? Memangnya aku pernah dapat telepon dari laki-laki lain?"
"General Manager kamu! Emangnya dia bukan laki-laki?" Satria menuduh tanpa basa-basi.
"Sudah aku bilang saat itu dia salah sambung!" Nada bicara Marisa semakin tinggi hingga membuat Luna terjungkat di bangku penumpang.
Satria tersenyum kecut mendengar perkataan Marisa. "Alasan klasik."
"Saat itu kamu percaya sama yang aku katakan, tapi sekarang apa? Alasan klasik? Kamu balik nyalahin aku saat kamu ketahuan selingkuh, gitu?!"
"Aku sudah bilang aku nggak selingkuh!"
"Ngelihat reaksimu kayak gini semakin buat aku curiga, Mas."
"Kamu selalu menuduh aku kayak gitu." Satria bicara dengan penuh penekanan sambil menggertakkan giginya.
"Apa aku salah?"
"Iya, kamu salah."
"Tapi perasaanku bilang, iya. Kamu selingkuh."
Satria memukul setirnya begitu Marisa berkata yakin.
Sementara itu di kursi penumpang, Luna hanya menundukkan kepala sambil menatap sedih kucing yang ada di pangkuannya. Dia sudah tidak semangat lagi untuk pergi ke tempat wisata, apalagi di saat orang tuanya bertengkar hebat, rasanya dia ingin kembali ke rumah saja.
"Ayah, aku ingin pulang." Luna merengek. Sungguh dia tidak ingin melihat pertengkaran orang tuanya lagi.
"Iya, Luna. Liburannya lain kali saja." Satria langsung memutar balik mobilnya begitu putrinya mengatakan bahwa dirinya ingin kembali ke rumah.
Luna mengira pertengkaran ayah dan ibunya akan mereda saat mereka kembali ke rumah neneknya, tapi dia salah. Keduanya masih berlanjut memperdebatkan sesuatu yang Luna sendiri tidak mengerti, dia terlalu dini untuk mengetahui apa itu perselingkuhan.
Selepas membantu kakek dan neneknya berkebun di pekarangan belakang rumah, Luna menghabiskan waktunya selama beberapa jam untuk duduk di teras bersama kucingnya. Dia belum berani masuk ke dalam rumah karena tahu betul kalau kedua orang tuanya masih bersitegang. Rumah tua itu memang tidak dipenuhi suara teriakan seperti apa yang terjadi di mobil, tapi amarahnya masih sangat terasa, dan Luna lebih memilih menghindari situasi itu dari pada melihat mereka kembali bertengkar.
Awalnya kucing itu duduk manis di pelukan Luna, tapi tiba-tiba dia berulah hingga menyusahkan pemiliknya. Kucing itu lari dari pelukan Luna dan menerobos pagar yang kebetulan belum ditutup sempurna.
Dengan cepat Luna mengejar kucingnya, berlari melewati beberapa gang sembari meneriaki nama kucingnya. "Wuri! Wuri! Wuri!”
Setelah mencari ke sana-kemari, Luna akhirnya menemukan kucing itu. Menemukannya bersama orang yang kelak akan selalu melindunginya. "Wuri~"
Begitu menemukan kucing kesayangannya, Luna langsung mendekap kucing itu ke dalam pelukannya. Saat itu juga Luna tersadar akan wajah familier itu. Sosok yang dia temui di kafe tempat dia membeli es krim.
"Eh, kamu yang di tempat es krim itu, ya?" Luna mengulurkan tangannya, ingin menjabat tangan anak laki-laki itu untuk diajak berkenalan. "Halo! Nama aku Luna."
Setelah beberapa saat terpaku, anak laki-laki itu akhirnya membalas uluran tangan Luna. "Nama aku Joano."
"Halo, Joano." Luna menggerakkan tangan kucingnya ke arah Joano, seakan menyuruh kucingnya untuk ikut menyapa.
"Kucing kamu lucu banget."
"Lucu, kan? Namanya Wuri."
"Halo, Wuri." Joano melambaikan tangannya pada kucing itu kemudian mengelusnya gemas. "Boleh nggak aku gendong Wuri?"
"Iya, boleh.” Luna menyodorkan kucingnya pada Joano. Dia ikut tersenyum geli melihat Joano mengelus kepala kucing itu.
"Itu tas apa yang kamu bawa? Besar banget?" Luna bertanya begitu melihat tas Joano yang berukuran jumbo. Tas itu bahkan lebih besar dari pemiliknya.
"Oh, ini. Aku baru saja pulang dari pasar."
"Pulang dari Pasar? Sendiri?"
Joano menganggukkan kepala.
"Kamu bisa pergi sendiri? Mama kamu nggak ikut?"
"Ibu aku sibuk."
Mendengar jawaban Joano membuat Luna ikut termenung. Sepertinya bukan orang tuanya saja yang mempunyai kesibukan, tapi orang tua anak-anak lain juga sama. Bedanya, mungkin orang tua anak yang lain sibuk bekerja, sedangkan orang tuanya sibuk bertengkar. Bahkan mungkin saja mereka lupa akan tujuannya pergi ke Bandung. "Mama aku juga sibuk."
"Ternyata kita sama." Joano menyungging senyum, miris. Apakah semua orang tua memang selalu sibuk? Orang tua angkatnya, orang tua Luna, juga orang tua anak-anak yang baru saja menghindarinya. Joano tidak tahu pastinya. Mungkin dia akan tahu setelah menjadi orang tua nanti.
"Kalau gitu kita bisa berteman." Luna berkata antusias.
"Berteman?" Joano mengulang perkataan Luna. Jujur saja, dia masih tidak percaya akan ada orang yang mau mengajaknya berteman, padahal baru beberapa menit yang lalu ada anak-anak menghindarinya karena tidak mau berteman dengannya. Tapi Luna, gadis kecil itu berkata dengan mudahnya untuk berteman. Joano tersenyum simpul. "Aku senang punya teman baru."
"Aku juga senang."
Keduanya tertawa bersama, membuat persetujuan bahwa mulai hari ini mereka resmi berteman.
"Aduh." Joano merintih kesakitan saat kucing yang digendongnya turun begitu saja melewati luka di pahanya.
"Kamu kenapa?" Luna panik, apa yang dilakukan kucingnya sampai membuat Joano merintih kesakitan?
"Kucingnya menginjak luka bakar di pahaku."
"Aduh, maaf." Sesal Luna.
"Nggak apa-apa, sekarang sudah nggak sakit."
"Kok bisa terkena luka bakar?" Luna menatap dalam-dalam, menanti jawaban Joano. Sungguh, dia penasaran bagaimana Joano bisa mendapatkan luka itu.
"Nggak sengaja ketumpahan kopi panas." Joano menjawab singkat. Dia tidak ingin terlihat lebih kasihan di hadapan Luna.
"Sakit banget, ya?"
“Nanti juga sembuh.” Joano tersenyum tipis. Memang lukanya itu sangat menyakitkan, tapi begitu melihat ada orang yang mengkhawatirkan dirinya, dia seperti mendapat kekuatan yang bisa mengurangi rasa sakitnya. Sekarang, Joano benar-benar mempunyai teman yang mau menerima dia apa adanya.
"Ngomong-ngomong, nanti kalau kamu udah nggak sakit lagi, kamu mau nggak main sunda manda sama aku?" Luna bertanya, berharap Joano menerima tawarannya. "Aku pengen banget main sunda manda, tapi teman-temanku nggak ada yang mau."
Sunda manda adalah permainan tradisional yang populer dari masa penjajahan Belanda, cara bermain permainan ini adalah dengan berjingkat-jingkat dari petak satu ke petak lainnya. Petak permainan ini digambar di tanah.
"Sunda manda? Aku tahu permainan itu, tapi nggak tahu cara mainnya gimana."
"Kamu mau?"
Joano menganggukkan kepala.
"Asyik!" Luna berteriak semringah. Akhirnya ada yang mau diajak bermain sunda manda bersamanya.
"Tapi aku nggak bisa main hari ini. Aku harus pulang sekarang." Kata Joano lalu bersiap menyeret tas belanjanya.
"Kita bertemu besok buat ajarin kamu, jadi lusa kita bisa main"
Setelah membuat janji bermain sunda manda, Joano pun berpamitan pada Luna untuk pulang lebih dulu. Sementara itu Luna tidak sabar menunggu hari esok tiba supaya dia bisa bermain sunda manda bersama Joano.
Keesokannya, Joano menepati janjinya untuk datang ke tempat pertemuan yang telah dia sepakati bersama Luna untuk bermain sunda manda. Kesempatan itu Joano curi saat dia sedang diperintahkan pergi ke pasar.
Tak selang berapa lama, Luna datang bersama kucing kesayangannya.
"Kamu tahu cara menggambar petaknya?" Luna bertanya.
Joano menggeleng.
"Kalau begitu aku yang gambar."
Selagi gadis kecil itu menggambar pola sunda manda petak demi petak, Joano dengan senang hati mengajak kucing kesayangan Luna bermain. Setelah semuanya siap, Luna mulai menjelaskan dan mempraktikkan cara bermain sunda manda kepada Joano.
Meski Joano belum bisa bermain sunda manda bersama Luna karena kakinya sakit, dia dengan cermat memperhatikan bagaimana Luna bermain.
Setelah menghabiskan waktu selama beberapa saat, Joano lantas pamit pulang dan keduanya kembali membuat janji untuk bertemu keesokan harinya.
"Hari ini kamu sudah bisa main sunda manda?"
Joano menggerakkan kakinya. Mencoba merasakan apakah dia masih kesakitan atau tidak. "Aku bisa main, kok. Tapi pelan-pelan."
"Kalau kamu belum bisa main sunda manda nggak apa-apa." Kata Luna, merasa tidak enak hati.
"Aku bisa." Joano berkata meyakinkan.
Meski sedikit ragu, Luna akhirnya menyetujui. Gadis kecil itu lantas memberi Joano koin untuk digunakan bermain.
"Mau nggak buat peraturan?" Joano tiba-tiba mengusulkan.
"Peraturan?"
"Iya, kalau yang kalah harus memenuhi permintaan pemenangnya."
"Berarti kalau aku yang menang aku bisa minta kita main sunda manda kapan pun aku mau?"
Anak laki-laki itu menganggukkan kepala. "Iya. Kalau aku yang menang kamu juga harus memenuhi permintaanku."
"YEAY!" Luna berteriak antusias. "Kalau kamu yang menang, kamu minta apa?"
"Aku minta kamu menjadi teman aku."
Luna termenung sejenak mendengar permintaan Joano, padahal tanpa harus meminta atau memenangkan permainan itu Luna akan tetap menjadi temannya. "Kan kita sudah berteman sejak hari pertama. Aku sudah jadi teman kamu. Katakan yang lain, kamu minta apa?"
Joano senang mendengar perkataan Luna. Ternyata gadis kecil itu bersungguh-sungguh ingin menjadi temannya.
"Ayo katakan, kamu minta apa?"
Joano berpikir sejenak. "Aku juga pengen bermain bersama Wuri."
"Itu juga boleh, kamu harus minta yang lain."
"Iya, nanti aku pikirin kalau menang mau minta apa." Tukas Joano. Meski dia yang mengusulkan peraturan ini, dia justru bingung sendiri saat ditanya apa keinginannya jika menang dalam permainan.
"Kamu harus mengatakan hari ini, soalnya besok aku harus kembali ke Jakarta."
Raut wajah Joano muram seketika mendengar perkataan Luna. "Kenapa?"
"Besok Mama, Papa harus bekerja. Jadi, kami harus kembali ke Jakarta."
"Jadi kamu nggak ke sini lagi?" Joano bertanya dengan nada tidak semangat.
"Kalau libur panjang, kami liburan ke sini."
Joano tersenyum setelah Luna mengatakan kalau dia akan kembali lagi. "Tapi, libur panjang itu kapan?"
Luna menggelengkan kepalanya, dia menunduk. "Aku nggak tahu."
"Kalau begitu aku tunggu sampai libur panjang tiba."
Luna tersenyuml. "Iya, nanti kalau libur panjang kita main sunda manda lagi."
Setelah membuat janji keduanya lantas bermain sunda manda. Untuk sejenak, Joano dan Luna melupakan bahwa mereka adalah korban keegoisan orang dewasa, mereka melupakan sakit dan luka yang tidak bisa diungkapkan. Melalui permainan itu mereka seolah menciptakan dunia mereka sendiri, dunia di mana hanya ada mereka berdua, tempat yang menjadi permainan dan pelarian.
"Woi! Ngapain lo di sini?!"
Suara teriakan yang menggelegar itu terdengar sangat jelas di kuping Joano. Bocah itu seketika mematung di tempatnya, menoleh ke belakang dan menemukan sosok Tio di ujung sana. Laki-laki paruh baya itu berjalan dengan sangar dan sorot mata tajam yang berapi-api.
Joano menelan ludah dengan susah payah, raut wajah yang sedari tadi ceria dan berbinar-binar itu mendadak pucat pasi. Tangannya gemetar, keringat dingin seketika membasahi seluruh tubuhnya. Ini pertama kalinya Joano tertangkap basah saat sedang bersenang-senang, ini juga pertama kalinya dia melihat Tio menampilkan wajah semenyeramkan itu.
Luna yang menyadari kalau ada sesuatu yang tidak baik-baik saja itu pun langsung meraih tangan Joano dan menggenggamnya erat.
Dua kali Joano mendapat tamparan di wajah hingga membuat tangannya terlepas dari genggaman Luna dan tubuh kecilnya tersungkur ke tanah.
"Berani-beraninya lo main di sini! Lo mau gue dapat masalah? Huh! Siapa yang suruh main di sini?!" Tio hendak memukul lagi, tapi dengan cepat Luna berlari dan merangkul Joano, mencoba menghalangi Tio agar tidak memukul anak itu lagi.
Joano terisak dan merintih kesakitan. Luna mendengar jelas suara itu.
Tio meraih tangan Luna lalu dengan mudah menghempaskan tubuh gadis itu. Dia lantas kembali memukul wajah Joano, memukul kepala, bahu, perut lalu ke wajah lagi.
"Tolong jangan pukul aku lagi, jangan pukul aku lagi." Joano menangis, dia berlutut sambil memohon ampun, wajahnya dipenuhi dengan darah dan luka lebam.
Melihat kejadian tragis itu, Luna langsung berlari ke arah Tio dan menggigit lengan laki-laki itu sekuat tenaga. Tapi tubuh Luna kembali terhempas ketika Tio mendorongnya.
"Diam lo! Gue nggak ada urusan sama lo!" Tio berseru sambil menodongkan jari telunjuk ke arah Luna. Laki-laki itu lantas mencengkeram lengan Joano dan menyeret tubuh anak itu masuk ke mobil yang jaraknya tak jauh dari tempat mereka berada.
Sementara itu, Luna berusaha untuk kembali bangkit, mencoba menghalangi gerak langkah kaki Tio meski dia kalah secara fisik. Luna terus berteriak, menyuruh Tio untuk melepaskan Joano. Tapi laki-laki itu tidak menghiraukan. Gadis kecil itu mengetuk pintu mobil Tio beberapa kali. Tapi mobil itu justru bergerak dan mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Tidak mau menyerah, Luna berusaha untuk mengejar mobil itu, tapi langkah kakinya justru terpeleset hingga membuatnya jatuh tersungkur.
"Tolong! Tolong!"
Luna berteriak minta tolong, tapi tidak ada satu orang pun datang menolongnya. Gang itu terlalu lengang.