Tristan dan Amira yang berstatus sebagai Guru dan Murid ibarat simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Tristan butuh kenikmatan, Amira butuh uang.
Skandal panas keduanya telah berlangsung lama.
Di Sekolah dia menjadi muridnya, malam harinya menjadi teman dikala nafsu sedang meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Alyazahras, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mid Level?
Di dalam kelas 12 Mipa-2. Setelah memperkenalkan Reyhan, Damar izin pamit. Dia pergi dengan menutup pintu sambil mengamankan murid-murid yang berkerumun di luar kelas.
Reyhan melangkah ke depan dan berhenti di tengah-tengah.
Dengan tubuhnya yang tinggi semampai, dia dapat melihat seluruh wajah para murid barunya dengan jelas, termasuk sang pujaan hati, Amira.
Amira berada di baris keempat, bangku nomor dua. Sedang tertunduk, tak berani bersitatap dengan Reyhan.
Reyhan mengerti situasi saat ini. Dia hanya menyeringai dan mengesampingkan dulu urusan pribadinya.
"Kalian semua sudah tahu nama saya, kan? Di pertemuan pertama kita, saya tidak akan langsung menyuruh kalian ke lapangan untuk olahraga. Saya ingin mengenal kalian terlebih dahulu. Mulai dari baris keempat, lalu ke belakang. Perkenalkan nama kalian masing-masing," kata Reyhan dengan tatapan yang teduh.
Rambutnya sedikit ikal dan bervolume. Parasnya layaknya orang Timur tengah, bermata besar dengan kelopak mata yang dalam, bulu matanya pun tebal nan lentik. Tidak beda jauh dengan Tristan, bahkan mungkin lebih cocok menjadi adik Tristan daripada keponakannya.
Reyhan menarik kursi, lalu duduk. Dia menunggu para murid memperkenalkan diri dengan sikap yang tenang dan damai.
Sofi yang duduknya di bangku pertama pun berdiri. Dia terlihat gugup dipandang oleh guru olahraga barunya yang super hot dan tampan dengan otot tubuh yang padat berisi dibalik setelan olahraga.
"Perkenalkan nama saya Sofia Natalie. Mohon bimbingannya Pak untuk beberapa bulan kedepan," ucap Sofi dengan rona di wajah.
Reyhan tersenyum sambil mengangguk. "Tinggal di mana?" tanyanya basa-basi.
"Di Jln.Veteran Rt 04/07, No.56, Pak. Pintu terbuka lebar kalau Bapak mau main ke rumah, hehe ...," usil Sofi sambil cekikikan.
"Wkwkwk, modus Pak, modus!" teriak teman sekelasnya yang memecah suasana.
"Kapan-kapan saya mampir, deh," kata Reyhan. "Selanjutnya sebelah Sofia, siapa namanya?"
"Saya Fini Anggraeni, Pak. Tinggal di Brawijaya," ucap teman sebangku Sofi.
Amira terdiam dengan wajah pucat sambil meremas perutnya. Setiap gugup datang, sakit perut menyerang. Dia sampai berkeringat dingin. Telapak tangannya pun ikut berkeringat dan dingin sedingin es.
Uci beranjak bangun dengan penuh percaya diri sambil merapikan penampilannya. "Saya Li Mei Yusi, Pak. Biasa dipanggil Uci. Tinggal di Jln.Veteran Rt 04/07, No.55."
"Oh, tetanggaan sama Sofia, dong?" kata Reyhan mulai akrab.
"Hehe, iya, Pak."
"Pasti pulang-pergi bareng terus. Kamu ada keturunan Mandarin, ya?" Reyhan melihat dari warna kulit dan mata sipitnya. Dengan tubuh mungil dan rambutnya yang pendek, Uci terlihat imut.
Uci mengangguk sambil tersenyum malu. Tatapan Reyhan membuat hati berdebar sampai membuatnya salah tingkah.
"Lalu, sebelahnya ... tolong perkenalkan diri," pinta Reyhan. Inilah yang dia nantikan. Performa sang pujaan hati.
Uci terduduk sambil menyentuh dadanya yang masih berdegup kencang.
Dia melirik Amira. Diperhatikan dari tingkahnya, Uci tahu Amira grogi sampai wajahnya pucat begitu. Namun, kalau Amira sudah sampai meremas perutnya, biasanya grogi campur takut. Apa yang ditakutkan olehnya? Toh, hanya memperkenalkan diri saja.
"Ra?" bisik Uci sambil menyenggol lengannya. "Perkenalan diri!"
Amira hanya mengangguk sambil berusaha mengatur napas. Dia tidak berdiri saat memperkenalkan diri seperti teman-teman sebelumnya, tapi duduk seolah enggan meladeni.
"Saya Amira Arsiela Bilbina," jawab Amira sekenanya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Reyhan menarik sudut bibirnya. "Amira? Nama yang familiar bagi saya. Kenapa dengan wajahmu? Apa kamu sedang sakit?" tanyanya perhatian.
Amira menggelengkan kepalanya, cuek.
"Dia kalau gugup suka pucet Pak mukanya. Harap maklum, soalnya Bapak ganteng banget sih. Saya juga gugup barusan, hihihi," ucap Uci dengan senyum riang gembira.
"Oh, jadi gara-gara wajah saya, ya? Kalau gitu saya balik badan aja," celetuk Reyhan.
"Jangan, Pak, jangan! Wajah-wajah blasteran surga kayak Bapak justru bikin kita semangat hidup, semangat sekolah, semangat belajar! Amira mah abaikan aja, Pak. Orangnya emang rada-rada, ha-ha-ha!" Semua murid di kelas malah mengucilkan Amira.
"Iya, saya juga cuma bercanda. Amira, di mana kamu tinggal?" tanya Reyhan mengembalikan topik pembicaraan.
"Di rumah," jawab Amira tanpa sudi melihat Reyhan.
"Kamu lucu, deh. Saya tahu, semua orang pasti tinggal di rumah, tapi di daerah mana?"
"Ibu Kota."
"-_- iya dimananya? Ini kan juga di Ibu Kota."
"Pokoknya disuatu tempat. Aku gak terbiasa ngasih tau tempat tinggal sama 'orang asing', Pak. Maaf, ya," jawab Amira ketus, terlebih pada kata 'orang asing'. Nadanya diperdalam dan memiliki maksud tersembunyi. Hal itu membuat Reyhan langsung murung.
"Waduh, Amira. Gak boleh gitu, dong. Masa sama guru baru ngomongnya gitu?"
"Lagi PMS nih kayaknya si Amira. Gak asik kayak biasanya."
"Iya, apaan sih, Amira. Caper, deh!"
"Liat tuh, Pak Reyhan jadi kesinggung kan."
Amira hanya menarik napas dalam dan menghembuskannya cepat. Dia tidak mau perkataan teman sekelasnya semakin mempengaruhi suasana hatinya.
Namun, tiba-tiba saja Uci malah memberitahu dimana tempatnya tinggal pada Reyhan.
"Amira tinggal di Mid Level, Pak!" kata Uci dengan entengnya dia bicara begitu.
"Uci!" tekan Sofi memperingati sambil melotot.
Amira langsung menatap penuh amarah pada Uci. Dia pernah bilang pada Uci dan Sofi untuk merahasiakan tempat tinggalnya. Jika pun teman kelasnya bertanya di mana rumahnya, Amira selalu berkata kalau rumahnya kecil, jelek dan kotor hingga teman-temannya merasa tidak enak hati untuk membahas tempat tinggal Amira lagi dan memilih untuk cukup tahu saja kalau Amira dari keluarga yang kurang mampu.
Dengan begitu, jika ada kerja kelompok, tidak pernah sekalipun teman-temannya memilih pergi ke rumah Amira.
Kini kebohongannya selama satu tahun pun sia-sia.
Teman kelasnya tercengang bukan main. Mereka semua tahu lingkungan rumah seperti apa itu Mid Level. Rumah yang dihuni para kaum-kaum elite. Mid Level ini lebih eksklusif dengan jumlah yang cenderung terbatas, tidak seperti rumah cluster yang terdiri dari banyak unit.
"Serius, Amira tinggal di Mid Level?"
"Jangan bercanda kamu, Ci!
"Mid Level kan khusus kaum elite."
Melihat teman sekelas Amira kebingungan, membuat Reyhan bertanya-tanya. Apa mereka semua baru tahu tempat tinggalnya? Sangat aneh! Terlebih lagi, bagaimana bisa Amira yang dari keluarga sederhana 2 tahun lalu tinggal di Mid Level sekarang? Semua ini tidak masuk akal bagi Reyhan. Keningnya sampai mengerut tajam dengan tatapan meneliti.
Amira menghindari tatapan penuh tanya Reyhan. Reyhan tidak mungkin tidak mempertanyakannya nanti. Dia melirik Uci dan memasang raut kecewa padanya.
"Amira, aku -" Uci tak sempat menahan Amira, Amira sudah terlanjur meninggalkan kelas. Dia pun akhirnya menyesal.
"I-itu, bohong temen-temen. Aku gak serius! Amira bukan tinggal di Mid Level. Aku cuma bercanda!" kata Uci membela diri pada teman-temannya dengan perasaan tak karuan.
Reyhan melihat gerak-gerik Uci. Dari ekspresinya pun sudah dapat dijelaskan kalau apa yang Uci katakan bukan suatu kebohongan. Uci hanya sedang menutupi kecerobohannya saja.
"Kalau bohong, artinya kamu ngomong gitu cuma buat ngejek Amira doang, ya? Pantesan aja Amira kesel, terus langsung pergi."
"Kesinggung itu si Amira."
"Gimana sih kamu jadi temennya, sadis amat. Udah tau dia dari keluarga yang kurang mampu, malah diledek tinggal di Mid Level. Parah!"
°°°
tp amira tnpa sepengetahuan ibunya dia lnjutin sekolh,,
iya kah thor