Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?
Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.
vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melodi Perempuan Luar Biasa
Balqis menghela nafasnya beberapa kali. Bahkan dia mengusap air matanya yang ingin menitik. Hatinya tiba-tiba tidak karuan setelah mendengar obrolan Alditra bersama keluarganya.
Hatinya seperti diporak-parik. Antara luka dan cinta menjadi satu. Meskipun dia sendiri tidak tahu pasti seperti apa perasaannya sekarang.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumussalam
Setelah mengaji dimulai, Balqis maju paling depan menghadap Maryam yang menyambutnya sambil tersenyum.
"Ustadzah, bisa jelaskan lagi tentang sifat tercela itu seperti apa?"
"Bisa Qis,"
"Jangan terlalu banyak Ustadzah. Sedikit sedikit aja supaya saya paham,"
"Akhlak tercela atau bisa juga disebut akhlakul mazmumah, adalah sikap dan tingkah laku yang buruk terhadap Allah, sesama manusia, dan makhluk lain serta lingkungan. Allah juga benci pada manusia yang bersikap seperti itu,"
Balqis terdiam sambil mendengarkan.
"Contohnya, berburuk sangka, kikir, sombong, iri dan dengki, pemarah, riya, serakah. Dan masih banyak lagi sifat tercela yang Allah tidak ridhoi,"
Balqis mengangguk paham.
"Jadi saya harus menjauhi sifat itu supaya Allah nggak marah?"
"Iya. Balqis harus menjauhinya,"
"Tapi saya masih sering mengerjakannya," Balqis tersenyum cengengesan. Dia merasa malu bila harus mengakuinya, tapi mau bagaimana lagi dia merasa memang semua sifat itu ada pada dirinya.
"Balqis, kamu masih punya banyak waktu untuk memperbaiki diri. Belajarlah bersungguh-sungguh. Dan niatkan dalam hati kamu berubah karena Allah. Ustadzah yakin, seiring berjalannya waktu kamu bisa menjadi lebih baik lagi."
Balqis mengangguk-ngangguk. Dia ingin berubah menjadi lebih baik seperti Melodi. Meskipun dia belum bisa menjauhi akhlak tercela itu. Tapi seiring berjalannya waktu dia yakin bisa.
Setelah Balqis selesai dites. Dia kembali duduk di tempat belakang. Dia juga memilih diam memperhatikan pesawahan yang kini rusak akibat banjir kemarin.
Padi yang seharusnya panen kini gagal. Semuanya harus hilang akibat air yang deras. Bukan hanya padi, peternakan ikut mati, kemudian perikanan yang dibudidayakan ikut hanyut. Semua hilang dan harus memulai dari awal.
Namun harus bagaimana lagi, masyarakat hanya bisa bersabar karena semua terjadi atas kehendak sang Maha Kuasa.
"Balqis!"
Merasa namanya dipanggil. Balqis melirik sambil mengeryitkan alisnya.
"Kenapa?"
"Nggak. Cuman memastikan saja kamu hidup."
Balqis memutar matanya malas. Dia kembali memperhatikan pesawahan termasuk orang-orang sawah yang masih berdiri di sana.
"Kamu tahu, kenapa orang-orang sawah itu masih berdiri?" tanya Wita.
"Nggak," jawab Balqis.
"Itu semua atas kehendak Allah. Bila Allah menghendaki sesuatu agar rusak, itu akan rusak seketika. Tapi bila Allah menghendaki agar sesuatu utuh, itu akan tetap utuh meskipun terhantam badai dan apa pun." jelas Wita.
Balqis terdiam saat mendengarnya. Matanya juga masih tetap menatap orang-orangan sawah itu.
"Memang benar, lantas apa yang harus disombongkan? Sedangkan semuanya milik Allah."
Termasuk Om Gus. Dia milik Allah dan Allah pula yang menentukan jodohnya.
Balqis menghela nafasnya berulang kali. Kemudian beranjak bersama yang lain karena mengaji ternyata sudah selesai. Dengan langkah gontai dia berjalan menjauh dari rumah Maryam. Matanya sedari tadi juga memperhatikan semua teman-temannya.
Tap!
Langkah Balqis terhenti. Dia menatap gerbang yang terbuka lebar. Dia pun menghampiri sambil memperhatikan gerbang itu yang kini rusak.
Gerbang yang biasanya terkunci rapat. Tergembok besar, kini terbuka lebar seakan-akan menyambutnya untuk keluar memberikan waktu agar menikmati kebebasan.
Langkah Balqis sedikit pun tidak bergerak. Di menatap kosong keluar memperhatikan orang-orang yang antusias mengembalikan keindahan kampung.
"Ini adalah langkah yang bagus buat gue. Tapi----"
Balqis memejamkan matanya. Kemudian menoleh ke belakang.
Niat gue kabur sekarang udah ilang. gue mau memperbaiki diri supaya bisa sama Om Gus.
"Huh!"
Tap!
"Eh!"
Balqis membalikkan badannya. Dia juga terlihat memalingkan wajahnya saat mengetahui siapa orang yang sudah menarik kerudungnya.
"Apa?"
Balqis langsung membaca tulisan di buku tanpa melirik Alditra.
(Gerbang terbuka. Kamu bisa kabur sekarang.)
"Gue nggak bakalan kabur. Mulai sekarang gue mutusin buat tetep tinggal di sini. Hahaha,"
Alis Alditra mengeryit. Kemudian menulis lagi beberapa kata.
(Kenapa? Bukannya kamu ingin mendapatkan pulang ke kota dan menikmati kebebasan kamu lagi?)
"Dulu. Sekarang beda lagi ceritanya. Gue bakalan tetep tinggal di sini sampai jodoh gue cinta sama gue,"
(Jodoh. Siapa?)
"Ya Elo lah Om. Siapa lagi?" Balqis memasang wajah malas. "Ya.. Gue tau, Gue tau. Gue bisa dapetin cowok yang lebih dari lo, Om. Tapi---- "
Balqis tidak melanjutkan perkataannya. Dia malah membelakangi Alditra yang kini menatap punggungnya.
"Aku nggak tau cinta itu apa? Seperti apa? Gimana rasanya? Tapi lo itu cowok pertama yang deket sama gue selain Daddy dan Om Abraham. Lo cowok pertama yang bisa gue ajak ngobrol."
"Sebelumnya belum ada yang perna gue rasa kayak gini."
Alditra melepaskan pecinya, kemudian membenarkan rambutnya. Dia masih mendengar setia perkataan Balqis.
"Gue juga bingung sama perasaan gue sendiri. Gue nggak suka sama lo, tapi gue sakit kalo lo sama Annisa. Jadi gue bertekad memperbaiki diri supaya bisa kayak Annisa dan--- Apa lo mau sama gue."
Helaan nafas lembut terdengar dari bibir Alditra. Dia kebingungan setelah mendengar perkataan Balqis.
"Om Gus!"
Alditra tidak menjawab. Dia juga tidak menulis di buku. Ingin sekali dia berkata, namun bibirnya sangat kelu untuk mengeluarkan suara.
"Om Gus!"
Alditra mengangkat tangannya. Dia membalas perkataan Balqis dengan isyarat. Dia tahu Balqis tidak akan mengerti. Tapi setidaknya dia sudah menjawab.
(Pergilah! Aku pria kekurangan, tidak pantas untukmu.)
"kalo lo nggak pantes buat gue, berarti lo juga nggak pantes buat Annisa."
Alditra tercengang. Dia kira Balqis tidak akan mengerti arti isyaratnya, tapi siapa duga dia paham.
"Om Gus, Gue nggak minta supaya lo milih gue. Tapi seenggaknya lo tau perasaan gue."
Alditra terdiam.
"Kalo emang Annisa yang bakalan jadi istri lo, gue bakalan turut bahagia kok. Gue nggak akan ngerusak hubungan kalian!"
Tap!
Setelah mengatakan itu. Balqis berlalu pergi. Dia merasa lega karena sudah berkata jujur dan sekarang dia tinggal fokus memperbaiki diri.
Sesampainya di kobong, Balqis mendekati teman yang lain. Mereka tengah berkerumun menenangkan Sania yang menangis.
"Sania, nanti juga bakalan ketemu,"
"Tapi itu kerudung kesayangan aku, Teh. Pemberian dari alm, kakak aku."
Balqis yang mendengarnya masuk ke kamar. Dia membuka lemari dan mengambil sesuatu.
Setelah yang ditunjukan ada di tangan, dia segera kembali menemui Sania menyodorkan barang itu.
"Ambil aja. Kerudung ini masih baru dan sama persis kayak punya lo yang ada manik-maniknya."
Sania mengambil kerudung itu yang sama persis, hanya beda warna saja. "Apa kamu yakin ini untukku, Qis?"
"Iya, gue ikhlas ngasih itu buat lo."
Balqis pun kembali pergi. Dia ingat perkataan Maryam yang tidak boleh kikir, dia harus berlajar memberi.
"Gelang gue juga masih belum ketemu. Gelang itu juga berharga buat gue. soalnya gelang itu juga kenang-kenangan dari Alm. Mommy."
Balqis menatap sendu poster yang dipajangnya. Gelang yang selama ini dijaganya hilang dan belum ditemukan.
"Mungkin emang gue nggak pantes dapetin cinta kayak yang orang lain,"
Air mata Balqis luluh. Dia terisak membayangkan luka yang selama ini dirasakannya.
Tap!
Tap!
Tap!
Balqis segera menghapus air matanya saat suara langkah kaki terdengar ke kamarnya.
Ceklek!
"Balqis, ayo masak? Bukannya kamu ingin belajar,"
"Oke, Mel. yuk!?"
Balqis segera menghampiri Melodi. Ditutupnya pintu dengan pelan. Kemudian membantunya membawa sayuran.
"Biar aku saja, Qis,"
"Biar gue bantu, Mel,"
Melodi memberikan sebagian yang dibawanya. Senyumannya juga menyungging melihat Balqis membantu untuk pertama kalinya. "Aku harap Balqis menjadi pribadi yang sangat baik, lebih dariku." batinnya.
"Mel, ayo cepetan!?"
"Iya."
Sesampainya di dapur. Balqis dan Melodi mulai masak makanan yang biasanya. Meskipun terbilang masakan itu sering dimakan, tapi mereka tidak pernah mengeluh. Karena belum tentu ada yang beruntung di luaran sana seperti mereka yang masih bisa makan.
"Qis, akhir-akhir ini kamu terlihat galau. Kalau ada apa-apa kamu bisa cerita sama aku,"
"Perasaan gue biasa aja, Mel. Lagian gue lagi kagen aja sama Daddy,"
"Kalau kamu rindu ayahmu kenapa tidak mencoba meminjam ponsel Aby atau Umi untuk menghubungi mereka,"
Tangan Balqis yang tengah memotong wortel terhenti. Dia seperti baru saja mendapat pencerahan.
"Gue pergi dulu, Mel,"
"Mau ke mana, Qis?"
"Ke rumah Aby."
Balqis bergegas pergi. Dan juga setelah berlari agar cepat sampai. Dia sendiri merasa bodoh karena tidak berpikir ke sana, mungkin bila bisa meminjam ponsel dia akan tahu bagaimana kabar sang ayah sejak kemarin.
Tap!
"Balqis!"
"Gus Zaigham." Balqis tersenyum. "Gus, apa Aby ada?"
"Ada. Memangnya ada apa, Qis?"
"Saya mau pinjam ponsel buat ngehubungin Daddy. Apa bisa?"
Zaigham terdiam mendengar keinginan Balqis. Sebenernya bisa saja dia meminjamkan ponselnya, akan tetapi Hans berpesan agar Balqis tidak menghubunginya.
"Balqis, maaf sebelumnya. Nomor ponsel ayah kamu sekarang tidak bisa dihubungi. Terakhir kita mendapatkan kabar keadaan ayah kamu baik-baik saja, dia sedang mengawal Pak Danniel ke Luar Negeri karena ada acara kenegaraan dan banyak yang mengincar nyawa Pak Danniel jadi masih ingin menitipkanmu disini.."
Balqis terkejut mendengarnya.
"Kamu tidak usah khawatir. Semua akan selesai sesuai rencananya."
Balqis terdiam termenung...
"Percayalah Balqis pada Allah, karena Allah akan selalu melindungi ayahmu. Kamu tidak usah khawatir,"
Balqis mengangguk-ngangguk.
"Gus, kalo nanti Daddy dapet dikabarin lagi, tolong bilang sama Daddy kalo saya kangen banget,"
"Aku akan menyampaikannya."
Setelah mengobrol beberapa kata, Balqis berpamitan pergi dengan perasaan sedih karena harapannya barusan hilang seketika.
"Daddy, sekarang hanya kamu yang aku miliki di dunia ini. Aku pasti akan terus berdoa supaya kamu baik-baik aja dan selamat disana.. I love you Dad..."
Balqis kembali melanjutkan langkahnya setelah berhenti sejenak. Kepergiannya ke kobong juga tidak luput dari penglihatan Alditra yang menatap dari kejauhan.
Alditra masih memperhatikannya sampai hilang di balik tembok.
"Semenjak dia merasa cintanya ditolak, dia jadi berubah. Tidak ada lagi kejahilan yang saya liat lagi darinya, bahkan tawanya hilang seketika."
Alditra berulang kali menghela nafasnya. Rasanya sangat membingungkan. Dia tidak menyukai Balqis, tapi diamnya Balqis membuatnya kesepian.
*****
Hari ini, Hari yang paling menyebalkan untuk Balqis. Dia sejak tadi hanya bermalas-malasan. Niatan memperbaiki diri agar Alditra terkejut melihatnya yang berbeda hilang seketika. Dia membiarkan hidupnya berjalan seperti biasanya lagi.
Entahlah, moodnya seketika berubah semenjak kemarin mendengar obrolan Alditra tentang lamaran. Rasanya sudah cukup hatinya di porak-porandakan tanpa alasan. Cinta tidak, tapi dia tidak rela.
Bugh!
Balqis membanting bukunya. Dia sangat kesal karena sedari tadi mencoba menghapal sedikit pun tidak ada yang masuk ke otaknya.
"Ayo Balqis, pasti kamu bisa!"
Dengan malas Balqis mengambil bukunya lagi. Dia kembali membacanya berulang kali. Sejauh ini, dia hanya hapal doa tidur, makan dan sesudah makan. Selebihnya dia belum hapal sama sekali.
"Huh!"
Tangannya menyimpan buku itu kembali. Dia menyerah bila harus menghapal lagi. Dia sudah mencoba namun tetap tidak diingatnya. Tapi bila soal jumlah uang, dia akan sangat cepat mengingatnya.
"Sepertinya sabun gye udah abis."
Balqis beranjak dari duduknya. Dia memutuskan pergi ke warung untuk membeli peralatan mandi.
Setelah di luar kamar, terlihat semua santri tengah sibuk menghapal. Mereka membawa kitab, buku dan Al-Qur'an, bahkan ada yang sibuk menulis.
"Qis, mau ke mana?"
"Warung."
Langkah Balqis terhenti. Dia menunggu Melodi menghampiri sambil membawa kitab.
"Mel, kayaknya semua orang sibuk ngapalin. Emangnya mu ada apa?"
"Ada ulangan. Makanya kita harus menghapal,"
"Ouh!"
Setelah mengetahui kesibukan mereka, Balqis segera pergi sebelum adzan dzuhur berkumandang. Dia juga mempercepat langkahnya agar sampai.
Gret!
Sesampainya di warung Balqis mendudukkan dirinya. Dia menatap banyak makanan di depannya, namun satu pun tidak ada yang diinginkannya.
"Aku dengar Gus Alditra akan melamar Ning Annisa,"
"Kamu seriusan? Aku kira Ning Annisa akan menolak Gus Alditra,"
"Aku juga berpikirnya begitu,"
"Namanya juga sudah jodoh. Yang nggak dikira ternyata memang dia yang terbaik. Semoga saja rencana mereka lancar sampai hari istimewa nanti,"
"Aamiin."
Balqis yang mendengar obrolan beberapa santri lain langsung dibuat murung. Padahal dia sudah bilang pada Alditra akan bahagia, tapi nyatanya semua itu bohong.
Dia pun bergegas membeli peralatan sabun. Setelah membayarnya langsung pergi begitu saja. Dia juga sangat berharap tidak bertemu Alditra saat ini.
"Eh!"
Mata Balqis membulat. Dia sangat terkejut melihat Alditra yang tiba-tiba ada di depannya. Tatapannya lurus menatap dirinya tanpa berkedip.
Glek!
Ada di situasi seperti ini membuat Balqis tidak karuan, bahkan sekedar menelan salivanya saja membuatnya kesusahan.
"Al!"
Mendengar nama Alditra dipanggil, Balqis segera berlari menjauh. Dia juga menghiraukan Alditra yang melambai menyetopkan langkahnya.
Setelah lumayan jauh, Balqis mengintip memperhatikan Alditra yang masih diam di tempat. Dia sendiri menggerutu kenapa harus pergi begitu saja? Padahal dia bisa pura-pura biasa saja.
"Sialan. Seharusnya kan gue pura-pura bahagia. kalo kayak gini kan kesannya gue menderita banget."
Karena tidak ingin Alditra memandang dirinya bersedih. Dia pun kembali berlari menghampirinya.
"Tunggu, Om Gus!" "
Alditra melirik. Alisnya mengeryit melihat Balqis kini berkacak pinggang.
"Ada apa? lo mau ngomong apa?"
Alditra tidak menjawab. Dia memberikan selembar kertas pada Balqis agar dibaca.
"Apa ini? Pendaftaran lomba," Mata Balqis masih membaca selembar kertas itu. "Heh, Om Gus! Lo sendiri tau kan kalo gue itu nggak becus dalam segala hal, kenapa sekarang lo kasih ini sama gue?"
Alditra langsung menunjukkan tulisannya. Dia sudah tahu Balqis akan bicara seperti itu.
(Itu bukan untuk kamu, tapi untuk Melodi. Dia juara satu tingkat nasional pidato, siapa tahu dia akan ikut tingkat internasionalnya,)
"What?"
Balqis terkejut mendengarnya. Dia baru mengetahui siapa Melodi sebenarnya.
"Ck... Bilang dong dari awal!" ketus Balqis langsung berbalik.
Dengan langkah cepat Balqis menghampiri Melodi yang masih berkutat di dapur. Dia juga menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
"Mel, gue baru tau kalo lo juara tingkat nasional pidato. Kenapa lo nggak ngasih tau gue?"
Mendengar pertanyaan itu, Melodi langsung terlihat salah tingkah. "I-itu Balqis,"
"Kenapa lo nyembunyiin kepintaran lo dari gue?"
"Bukan maksud menyembunyikan. Tapi aku hanya tidak suka orang-orang tahu soal itu. Lagian sudah lama,"
"Jelasin sama gye, lo pernah jadi juara apa aja? Dan tingkat apa saja?"
Melodi terlihat ragu untuk menjawabnya. Dia sebenarnya tidak menyukai orang-orang mengetahuinya. Dia lebih suka menyembunyikannya ketimbang diumbar.
"Ck... Ayolah, Mel?"
"Aku qoriah tingkah nasional, lalu pidato tingkat nasional, santri terpintar tingkat nasional dan menjelaskan kitab,"
Balqis terkejut mendengarnya. Pantas saja Fatimah berencana akan menjodohkan Alditra dengan Melodi bila Annisa menolak, ternyata perempuan di depannya ini sangatlah luar biasa.
"Balqis!"
Melodi menggoyangkan bahu Balqis agar tersadar. "Qis, apa yang terjadi?"
"Ternyata lo emang pintar, Mel. lo itu tipikal perempuan yang luar biasa,"
"Allhamdulilah. Hmmm, Qis, jangan dibahas lagi ya?"
Balqis mengangguk.
Ck... Emang susah bangey jadi kayak Melodi. Udahlah.. Nggak ada harapan sama sejali!
Seharusnya Balqis tidak perlu menjadi seperti Melodi, dia cukup menjadi dirinya sendiri dengan sifat yang baik. Dari pada harus berusaha menjadi diri orang lain, karena diri kita adalah yang terbaik menurut versi kita masing-masing.
"Qis, bantu aku membawa ini ke kamar ya?"
Balqis langsung mengambil baskom kosong. Kemudian mengekori Melodi di belakang. Dengan langkah gontai dia menginjak anak tangga.
Dia kira kertas yang diberikan Alditra hanya padanya seorang. Ternyata kertas berisi perlombaan itu sudah dipasang di mana-mana dan sekarang tengah dikerumuni.
Terlihat banyak sekali santri yang antusias menyambutnya. Bahkan mereka sudah siap akan mengikuti lomba itu. Karena perlombaan seperti ini adalah hal yang selalu dinanti-nanti mereka.
Balqis yang melihatnya merasa iri, mereka sangat bersemangat ingin menjadi juara. Sedangkan dia? Menghapal satu doa pun rasanya sesak.
"Haah... Kayaknya cuma gue deh yang bodoh di sini. Gue nggak bisa apa-apa, nggak kayak mereka."
Balqis mendadak insecure saat menyadari dirinya tidak seperti yang lain. Sebenarnya dia bisa seperti mereka dan bahkan lebih, selama dia ingin belajar semua akan didapatkannya. Tapi sayang, dia banyak malasnya.
Dia lebih suka berleha-leha. Tapi setelah melihat orang lain lebih darinya, dia baru merasa insecure.
Sesampainya di kamar. Semua teman sekobongnya tengah sibuk akan mengikuti perlombaan yang mana. Balqis yang jengah memilih duduk dan menyendok nasi.
"Aku akan mengikuti lomba shalawatan saja," ucap Raras.
"Kalau aku kaligrafi." sahut Siti.
Balqis hanya mendengarkan saja. Dia sudah jelas tidak akan mengikuti apa-apa karena tidak bisa. Jangankan membut kaligrafi, shalawatan pun yang sangat mudah tidak bisa dia lakukan.
"Qis, kamu akan ikutan?" tanya Melodi.
Balqis menggelengkan kepalanya. "Ikutan apa? Mancing ikan. Baru gue bisa ikutan,"
"Qis, kamu ikut yang mudah saja. Ini ada? Minimal menghapal 25 doa-doa," ucap Siti.
Balqis memutar matanya malas. "Jangankan 25 doa-doa, 5 aja gue nggak apal-apal,"
"Jangan menyerah begitu dong, Qis. Kamu masih punya waktu untuk menghapal sampai 25," sahut Siska.
"Iya, waktu nulisnya doang. Soalnya kalo ngapalin mana becus gue," sahut Balqis.
"Jangan memaksa, Balqis. Bila dia tidak ingin ikutan tahun ini tidak apa-apa, karena masih ada enam bulan yang akan datang atau satu tahun yang akan datang. Balqis bisa mengikutinya setelah dia bisa dalam segala hal," ujar Melodi.
"Bener juga tuh. Kalo sekarang gue nggak ikutan semoga ntar gue bisa ikutan dan ngalahin kalian. Hahaha," balas Balqis.
Melodi beserta yang lain saling lirik satu sama lain. Sifat Balqis yang beberapa hari ini hilang kini kembali lagi.
"Eh, Sorry sorry! Maksudnya semoga nanti gue bisa kayak kalian."
"Hah?"
Mereka terkejut. Ini untuk pertama kalinya Balqis mengeluarkan kata maaf pada mereka.
"Apa kepala Balqis baik-baik saja?"
Balqis tersenyum cengengesan melihat wajah teman-temannya. Dia juga sedari tadi sibuk makan sendirian sambil memperhatikan mereka yang membahas perlombaan.