“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Dua
Laras masih tidak mengerti kenapa Heru tiba-tiba menanyakan sesuatu yang sudah Laras kubur dalam-dalam. Meski baru kemarin, Laras tidak mau mengingat lagi perihal perselingkuhan suaminya itu. Pernikahannya selama ini tidak pernah harmonis jika di dalam rumah, berbeda saat mereka di luar rumah, mereka terlihat sangat romantis dan harmonis sekali.
“Oh iya, Ma. Mama tadi sama papa dan Nuri ke kedai es krim?” tanya Heru.
Laras kembali berhenti menyirami tanamannya. Pertanyaan macam apa lagi yang sekarang Heru tanyakan pada dirinya? Bukannya Heru tahu kalau dirinya sedang arisan dengan teman-temannya? Bahkan Heru sangat tahu kalau dirinya sedang arisan, dirinya tidak mau diganggu gugat, pokoknya kumpul dengan teman Arisan adalah hal yang paling Laras tunggu-tunggu setiap bulannya.
“Kamu ini tanya apa, Her? Mama itu kan Arisan tadi? Mana mungkin Mama ke kedai es krim sama papa dan Nuri?” jawab Laras.
“Kata Arini tadi Arini ketemu papa dan Nuri lagi makan di kedai es krim. Arini sampai nyapa papa kok, dan papa bilang Mama sedang beli baju ganti untuk Nuri di butik depan kedai es krim, karena Nuri semalam nginep gak bawa baju ganti,” jelas Heru.
“Mama itu kumpul sama teman arisan mama, dan baru pulang tadi?” ucap Laras. “Arini pasti ngada-ngada tuh anak!”
“Arini orangnya gak pernah bohong, Ma. Aku tahu Arini dia seperti apa orangnya, kalau dia lihat begitu, ya dia katakan begitu?” ucap Heru.
Laras hanya diam, entah kenapa hatinya menjadi tidak enak setelah mendengar Heru mengatakan hal demikian.
“Aku heran sama papa, Ma,” ucapnya.
“Kok gitu? Kenapa?” tanya Laras.
“Papa ini lama banget jadi mertuanya Arini. Bahkan papa dekat dengan Arini, tapi papa sekali pun gak pernah nyuapin Arini, papa gak pernah menyentuh kepala Arini dengan sentuhan lembut, layaknya seorang papa pada anaknya. Mereka dekat, tapi dekat dalam hal ngobrol, sharing kerjaan, ya begitulah. Tapi sama Nuri, Nuri belum jadi menantunya, Papa sudah berani nyuapin Nuri, ngelapin sudut bibir Nuri, dan rasanya itu sesuatu yang gak etis untuk dilakukan papa pada calon menantunya, sampai papa berani sentuh kepala Nuri, dielusnya, dan mengelus perut Nuri,” ucap Heru panjang lebar.
“Ya itu sih hal wajar, Her? Namanya mertua sama menantunya ya begitu, apalagi papa kan pengin sekali punya cucu. Nuri bisa ngasih kita cucu, sedangkan Arini?” ucap Laras.
“Tapi bagiku itu gak wajar, Ma!”
“Kamu cemburu sama papamu?”
“Bukan, ini bukan perkara cemburu, Ma! Tapi perkara tata krama calon mertua pada calon menantunya, Ma,” ucap Heru.
Lagi-lagi Laras hanya bisa diam saja. Dia memikirkan ucapan Heru, dan memikirkan tadi yang kata Arini dia pergi dengan Nuri juga suaminya di kedai es krim.
“Papa dulu selingkuh sama perempuan usianya berapa, Ma?” tanya Heru.
“Mama tidak tahu, Her. Mama hanya tahu chat mereka saja, tidak tahu perempuan itu seusia siapa. Mama juga menyalin nomornya, mama acam itu perempuan, tapi setelahnya nomor itu sudah gak aktif lagi. Nama perempuan itu adalah Melati,” jelas Laras.
“Melati?” gumam Heru lirih.
“Kenapa? Pernah tahu kamu, Her?”
“Pernah dengar sih, Ma. Tapi entah di mana,” jawab Heru.
Heru seperti tidak asing dengan nama Melati. Heru terus bergelut dengan pikirannya sendiri. Dia ingat ucapan Arini saat pertengkarannya waktu itu. Arini bilang Nuri pernah jadi simpanan om-om. Nuri juga pernah ikut dengan perempuan yang punya bisnis porstitusi, di mana Nuri adalah wanita malam di sana.
“Kamu gak boleh punya pikiran seperti itu, Her! Gak mungkin Nuri begitu!” batin Heru.
Malam harinya, Laras belum bisa memejamkan matanya. Dia merasakan hal yang sama dengan Heru, di mana dia melihat suaminya sangat perhatian sekali dengan Nuri, bahkan suaminya sampai mengambilkan makanan untuk Nuri saat tadi makan malam.
Laras harus bisa memejamkan matanya. Dia berusaha sekuat tenaga untuk terlelap, tapi sayangnya tidak bisa. Karena pikirannya masih belum bisa tenang. Laras merasakan Alvin bangun dari tidurnya, ia berusaha tak bangun. Ia tetap memilih pura-pura tidur lelap. Entah mau apa Alvin turun dari tempat tidurnya. Laras mengintip ke mana Alvin, ke kamar mandi atau keluar. Ternyata Alvin keluar kamar dengan mengendap-endap. Gak seperti biasanya, Alvin kalau mau keluar kamar tidak mengendap-endap seperti itu.
Setelah cukup lama Alvin keluar, Laras diam-diam ikut keluar dari kamarnya. Ia penasaran dengan suaminya itu, ditambah ucapan Heru tadi sore, dan ucapan Arini yang dilontarkan oleh Heru. Laras melihat suaminya masuk ke dalam kamar tamu yang ada di paling ujung ruangan, jauh dari kamar-kamar lainnya, entah mau apa suaminya ke sana. Atau mungkin suaminya tidak ingin lagi tidur dengannya. Laras memberanikan diri untuk membuka pintu kamar itu, namun ia urungkan saat mendengar suaminya bicara dengan perempuan lain.
“Om kangen, Mel,” ucap Alvin.
“Kangen terus ih om, kan tadi siang sudah?”
“Mel ... sudah lama om gak gini sama kamu, Sayang ....”
“Om ... aahhh ... jangan gini, masa gak mau pemanasan dulu, Om? Pelan, Om Alvin sayang ...,” ucap perempuan itu dengan lembut.
“Mama Laras sudah tidur, Om?” tanya perempuan itu, Laras sudah menduga itu adalah Nuri.
“Tenang saja dia sudah tidur pulas, Sayang? Malam ini om untuk kamu, Heru sudah tidur?”
“Dia sudah dari tadi tidurnya, Om,” ucap Nuri.
“Mel, om kangen kamu, om mau kamu batalkan pernikahan kamu dengan Heru, ini anak om, bukan anak Heru, Mel!” ucap Alvin.
“Bagaimana batalinnya, Om? Semua sudah Heru persiapkan? Bukannya kita masih bisa begini, meski aku menikah dengan Heru, Om?”
“Mama?” panggil Heru.
“Sssttt ... diam, sini Her!”
Heru mengikuti mamanya, dia ikut mendengarkan apa yang Nuri dan Alvin bicarakan di kamar itu, bahkan mereka mendengar adegan panas mereka.
“Papa, Nuri!” Heru membuka pintu kamar itu dengan tatapan nyalang.
“Mas ....”
“Heru! Apa-apaan kamu!”
“Papa yang apa-apaan!”
“Jadi selama ini? Dia Melati, Pa? Di—dia?
“Ya, dia Melati. Kenapa Laras? Dia lagi hamil anakku, darah dagingku!”
Tubuh Laras bergetar hebat, dia menangis tanpa suara, hanya saja tubuhnya bergetar semakin hebat. Heru memeluk ibunya, tidak ia sangka selama ini Nuri adalah simpanan papanya.
“Kenapa harus Nuri, Pa?” ucap Heru dengan suara serak.
“Kenapa harus kamu yang mau menikahi dia? Dia mengandung anakku!”
“Gak mungkin!” pekik Heru. “Katakan padaku itu tidak benar, Nuri?”
“Itu benar, Her!” jawab Nuri.
“Gak, Gak mungkin!”
Alvin kembali memakai pakaiannya, dia dekati Laras yang masih menangis di pelukan Heru. Ia menatap tajam Laras.
“Aku akan menikahinya! Aku sudah tidak peduli dengan wasiat dari papaku! Aku sudah memiliki semuanya! Silakan aset yang sudah papaku tuliskan untukmu bisa kamu bawa! Malam ini aku akan talak kamu, Laras! Indah Larasati, saya jatuhkan talak tiga untukmu!” ucap Alvin dengan terang-terangan di depan Laras dan Heru.
“Papa!”
“Apa, Heru? Kamu ini bukan anakku! Kamu anak perempuan ini dengan laki-laki lain! Itu kenapa aku tak sudi menerima kamu untuk bekerja denganku! Aku ini korban, Heru! Korban dari keegoisan orang tuaku! Aku tidak melakukan apa pun dengan perempuan ini, tapi aku disuruh menikahinya!”
“Diam kamu, Alvin! Kamu juga melakukannya!”
“Melakukannya? Iya aku melakukannya, aku melakukan itu bergilir dengan pria lain! Kenapa aku yang kamu tuduhkan! Bukan lainnya!”
“Karena kamu dalang di balik semua itu! Apa salahku, Alvin! Hingga kamu tega melakukan semua itu! Apa salahku!”
“Salahmu, kamu sudah memisahkan dengan Arum, perempuan yang aku cintai, karena kamu aku dan Arum berpisah!”
“Bukan aku, aku tidak pernah melakukan apa-apa pada Arum. Dia sendiri yang tidak mau denganmu, Vin!”
“Omong kosong kamu!”
“Hei, mamamu ini piala bergilir, gak lebih dari seorang jalang! Untung saja orang tuanya kaya raya, jadi aku bisa negosiasi saat akan menikahinya. Aku gak pernah bahagia dengan kamu! Kebahagiaanku ada pada Melati!”
“Gila, laki-laki gila kamu!” umpat Heru.
“Kamu berani mengataiku begitu?”
“Untuk apa aku tidak berani, kamu sendiri bilang aku bukan anakmu, bukan? Saya peringatkan pada kamu! Jangan pernah menyesal kamu melakukan ini Tuan Alvin yang terhormat!”
“Kita pergi, Ma!”
“Satu lagi untuk kamu, Nuri! Kamu benar-benar jalang! Benar apa yang Arini katakan, kalau saja aku percaya saat itu, ternyata aku sudah dibutakan perempuan dajal sepertimu!”
Nuri hanya diam, dia tidak berkata apa-apa, tidak peduli Heru berkata seperti itu, yang terpenting saat ini dia sudah menang.
Heru mengemasi pakaiannya. Setelahnya dia membantu ibunya mengemasi pakaiannya. Heru tidak tahu apa-apa, apa yang terjadi pada mamanya saat dulu, kenapa bisa papanya berkata sekejam itu padanya. Heru tidak mau bertanya apa-apa dulu pada Mamanya, karena dia tahu mamanya sangat terluka malam ini. Hanya dia yang bisa menjadi penguat mamanya kali ini.
“Maafkan mama, Her. Maafkan mama,” ucapnya.
“Sudah ya, Ma? Mama gak salah, kita pergi dari sini ya, Ma. Mama akan aman dengan aku, aku janji tidak akan meninggalkan mama. Kita akan sama-sama. Mama harus kuat, ya?”
Laras hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Mulutnya masih terus mengucapkan kata maaf, dengan air mata yang terus menetes. Tatapan matanya kosong, sesekali Laras menangis degan menjerit-jerit.
“Mama, jangan begini, Ma. Mama ada aku, aku janji akan rawat mama,” ucap Heru.
Heru sebisa mungkin harus menjadi penguat mamanya kali ini. Tidak peduli dirinya bukan anak kandung Alvin, Heru pun tak sudi memiliki seorang ayah seperti dia.
“Akan kubuat kau menyesal seumur hidupmu, Alvin!” geram Heru dalam hati.
katax pemegang sabuk hitam taekwondo
lawan laki durjana saja ko tak kuat🤧🤧cepeee deh🙄🙄
...