“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Satu
Arini menatap wajah Raka dengan lekat, lalu ia mengecup kilas bibir Raka. Entah kenapa dia merasa bersalah sudah berlarut mengenang kebersamaannya dengan Heru dulu. Sedangkan Raka, dialah orang yang salama ini menemaninya, saat Heru menyakitinya.
“Kok tiba-tiba cium? Kalau Juna lihat bagaimana?” tanya Raka yang bingung dengan sikap Arini.
“Juna masih pulas tidurnya, dia gak akan lihat,” ucap Arini.
“Kenapa cium?” tanya Raka.
“Gak boleh kalau aku cium kamu?”
“Boleh, tapi aneh, keapa tiba-tiba cium?”
“Aku minta maaf, ya? Seharusnya aku gak gini, malah aku nangisin Heru, nangisin orang yang sudah bikin aku terluka,” ucap Arini.
“Gak apa-apa, aku tahu perasaan kamu, Sayang,” ucap Raka, dengan mengusap pipi Arini, lalu membalas ciuman Arini dengan singkat.
Arini tidak mau sesingkat itu, dia menautkan kembali bibirnya pada bibir Raka. Bibir yang sekarang sudah mulai menjadi candu untuknya. Kecupan mereka semakin dalam, tidak peduli ada Juna di sana yang sedang tertidur pulas. Arini melepaskan pagutannya, lalu memeluk Raka.
“Sudah puas?” tanya Raka. Arini hanya menggelengkan kepalanya. Ia sebetulnya masih ingin lagi dan lagi bermain bibir Raka.
“Kalau belum kenapa sudah?”
“Ada Juna, takut bangun. Nanti lagi saja,” ucap Arini.
“Kamu hari ini gak ke kantor?” tanya Raka.
“Aku sudah izin kok, aku bilang mau antar Juna cooking class, pasti Mbak Eriana tahu lah, Juna kan dekat sama aku, dan Juna itu anak siapa,” jawab Arini.
“Gitu dong, gak usah merasa gak enakan sama Mbak Eriana, lagian jadwal kerja kamu kan fleksible, aku sengaja yang ngatur itu, biar kamu gak terlalu capek. Nanti kalau sudah menikah gak usah kerja, ya? Di rumah saja. Ikut aku kerja saja di sini, temani aku setiap hari,” pinta Raka.
“Gitu, ya?”
“Iya, harus seperti itu pokoknya,” jawab Raka.
“Iya deh, aku nurut sama calon suami,” ucap Arini.
“Oh iya, Sayang, tadi benar kamu lihat papanya Heru sama Nuri?” tanya Raka.
“Ya, aku malah curiga, Ka.”
Arini mengingat tadi, saat Papanya Heru mengusap lembut tangan Nuri, sampai menciumnya, dan mengusap perut Nuri.
“Curiga gimana maksud kamu, Sayang?”
“Curiga saja, Nuri hamil sama Papanya Heru. Aku tahu Nuri itu siapa. Dia wanita panggilan, dia nekat sih ikut seorang yang disebut Mamih, buat disalurkan ke Om-om gitu, terus Nuri juga jadi simpanan om-om saat itu, apa mungkin Papanya Heru, ya?” ucap Arini.
“Kamu ini pikirannya sampai sana-sana. Tapi, bisa jadi sih? Kasihan sekali Heru sama Mamanya kalau benar begitu?” ujar Raka.
“Balasan untuk mereka mungkin, yang sudah mendzolimi aku. Ya aku gak mau berbangga hati sih, kalau memang benar begitu. Mungkin Tuhan yang sudah mempersiapkan balasan yang cantik untuk mereka setelah menyakitiku,” ucap Arini.
“Ya, mungkin begitu. Sudah tidak usah dipikirkan. Biar saja itu jadi urusan mereka. Yang penting kamu dan Heru sudah selesai dengan cara baik-baik,” ucap Raka, dan ditanggapi dengan anggukkan kepala Arini. Raka kembali mendekap Arini. Rasanya ia takut sekali, jika memang itu terjadi pada Heru. Jika nanti Heru terluka karena Nuri, pasti Heru akan kembali pada Arini. Raka takut sekali, dia tidak mau kehilangan Arini. Dia sudah sangat mencintainya.
Arini tidak bisa membayangkan kalau benar semua itu terjadi. Kalau benar Nuri hamil dengan Papanya Heru bagaimana dengan perasaan Heru? Tapi ia segera menepiskan kembali pikirannya itu, untuk apa dia memikirkan itu, sedangkan Heru sudah sangat menyakiti dirinya, pun dengan mamanya Heru.
^^^
Sampai sore Heru masih berada di taman belakang rumahnya. Pikirannya masih campur aduk, tidak tenang dengan kejadian tadi yang ia lihat saat masuk rumah, Papanya sedang menyuapi Nuri, dengan tatapan yang meneduhkan, seperti ada sesuatu yang tersirat dari pandangan mata Papanya pada Nuri.
“Apa dia simpanan papa dulu? Yang membuat Mama stres karena ada peremuan yang menjadi simpanan Papa? Apa Nuri perempuan yang membuat Mama penasaran ingin ditemuinya, karena papa benar-benar seperti orang gila setelah mama mengetahui hubungan gelapnya dengan perempuan itu, dan perempuan itu kabur entah ke mana. Ah masa iya, sih? Iya Nuri sudah tidak perawan saat denganku, tapi masa dia sama papa?”
Heru terus bergelut dengan pikirannya sendiri. Apalagi dia ingat perkataan Arini saat itu, Arini bilang Nuri pernah menjadi simpanan om-om.
“Gak mungkin dia simpanan papa itu yang namanya siapa dulu, mama pernah nyebutin nama itu, tapi aku lupa,” ucap Heru.
Heru tahu hubungan mama dan papanya itu tidak pernah baik-baik saja. Tidak pernah harmonis jika bersama. Terlihat harmonis saat sedang menghadiri undangan rekan bisnis, itu pun Papanya dengan terpkasa sekali mengajak Mamanya dengan dirinya.
“Kamu di sini, Her?” tanya Laras yang sedang bersiap untuk menyirami tanamannya.
“Mama sudah pulang?”
“Sudah, aku kira kamu di kamar dengan Nuri? Soalnya Nuri kayak lagi ngobrol sama seseorang? Apa mungkin sedang telefon?” ucap Laras.
“Dari tadi aku di sini, malah sudah lama sekali, lagi ngopi sama ngerokok, jadi harus jauh dari Nuri, kasihan anakku kalau aku ngerokok di dekat Nuri,” jawabnya. “Oh iya, memang mama dengar Nuri ngobrol dengan siapa di kamar?” tanya Heru.
“Ya gak tahu, Mama dengar saja, mungkin dia sedang telefon?” jawab Laras.
“Papa di mana, Ma?”
“Di kamar, lagi telefon orang kantor. Biasa papamu sibuk sekali, tahu sendiri, kan? Lagi di rumah juga ya gitu, kerjaan saja yang dipikirkan. Kamu mau menikah juga masih saja seperti itu, gak mau mempersiapkan apa-apa, padahal mau punya cucu?” ucap Laras.
Heru menganggukkan kepalanya. Heru yakin mamanya selama ini pura-pura bahagia. Heru memang selama ini cuek, itu semua karena papanya pun cuek, jadi Heru sudah terbiasa masa bodoh dengan semuanya. Bahkan saat mama dan papanya cekcok karena perempuan simpanan papa nya saja Heru tidak peduli, Heru tidak mau ikut pusing untuk mengurusi itu.
“Ma, aku mau tanya sama mama, mama harus jawab jujur pokoknya,” ucap Heru.
“Mau tanya apa, serius sekali kamu?”
“Mama bahagia gak hidup sama papa?” Pertanyaan Heru membuat Laras berhenti aktifitas menyiram tanamannya.
“Kamu kok tanya itu?”
“Mama kan pernah diselingkuhi papa? Papa pernah punya simpanan, kok mama mau memaafkan papa? Sedangkan Arini tidak mau?” ucap Heru.
“Karena mama punya kamu, sedangkan Arini dan kamu tidak ada ikatan apa pun. Mama sebisa mungkin akan mempertahankan pernikahan mama dan papa. Tidak peduli papamu sudah mengkhianati mama sekali pun.”
“Kalau misalkan papa selingkuh lagi?” tanya Heru.
Laras hanya diam, dia tidak tahu harus menjawab apa. Sebetulnya ia pun sudah tidak sudi menerima Alvin, akan tetapi ia ingat dengan kata-kata mendiang papa mertunya, bahwa Laras harus bertahan dalam kondisi apa pun dengan Alvin. Ditambah Laras sangat mencintai Alvin.