Sasa, seorang gadis SMA yang tertekan oleh ambisi ayahnya untuknya menjadi dokter, mendapati pelarian dalam persahabatan dengan Algar. Namun, persahabatan mereka berakhir tragis ketika Sasa menyerahkan keperawanannya kepada Algar, yang kemudian menghilang tanpa jejak. Terjebak antara tekanan ayahnya dan rasa kehilangan yang mendalam, Sasa harus mencari cara untuk mengatasi kedua beban tersebut dan menemukan jalan menuju kebahagiaan dan jati dirinya di tengah kesulitan.
Butuh support guys, biar author makin semangat upload-nya
Jangan lupa
* LIKE
* KOMENT
* VOTE
* HADIAH
* FAVORIT
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melita_emerald, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 11 ( Semesta Kita Berdua )
Di tengah pemandangan yang memukau, Sasa dan Algar duduk di bawah pohon besar, menyaksikan hamparan awan dan perbukitan yang terhampar sejauh mata memandang. Udara pagi terasa begitu segar, memberikan suasana damai yang jarang mereka temukan. Teman-teman mereka masih sibuk mengabadikan momen di kejauhan, sementara Sasa dan Algar berbagi momen pribadi yang hangat dan tenang.
Sasa menatap jauh ke arah pemandangan, senyum merekah di wajahnya yang terlihat semakin bersinar di bawah cahaya matahari pagi. “Lihat deh, Al,” katanya dengan antusias, menunjuk ke arah lembah di bawah, di mana sinar matahari perlahan menyelinap, menciptakan permainan cahaya dan bayangan di antara pohon-pohon.
Algar hanya tersenyum sambil menatapnya, memperhatikan setiap ekspresi bahagia yang terpancar dari wajah Sasa. Ia mengeluarkan kamera dan, tanpa sepengetahuan Sasa, diam-diam mengambil fotonya. Tangannya bergetar sedikit, bukan karena gugup, tapi karena setiap momen bersamanya terasa begitu berharga. Ia ingin menyimpan senyum Sasa di sana, di dalam kamera dan juga di hatinya.
Ketika Sasa menyadari Algar memotretnya, ia tersenyum sambil mengangkat alis, “Eh, diam-diam foto, ya? Kirain kamu nggak suka selfie, Al.”
Algar terkekeh, mendekatkan wajahnya ke arahnya. “Nggak apa-apa, kan? Kan bagus buat kenangan. Momen kayak gini langka, soalnya,” jawabnya sambil menatap Sasa lekat-lekat, matanya hangat dan penuh rasa sayang.
Mendengar itu, Sasa tertawa kecil, namun pipinya bersemu merah. Ia mengalihkan pandangan sejenak, mencoba menenangkan debaran di dadanya yang tiba-tiba terasa cepat. Tapi saat Algar merangkulnya dengan lembut, tarikan itu membuatnya kembali menoleh, dan perasaannya tak bisa lagi disembunyikan.
“Al…” panggil Sasa dengan suara bergetar, sedikit terkejut saat ia merasakan jemari Algar yang lembut menyentuh rambutnya, mengelus pelan seolah menyampaikan kata-kata yang tak pernah terucap.
Algar tersenyum kecil, menatapnya penuh makna. “Gue senang Lo bisa menikmati tempat ini, Sa. Senang lihat kamu bahagia,” ucapnya pelan, suaranya rendah namun terdengar begitu tulus.
Sasa terdiam, matanya berkaca-kaca, lalu ia tersenyum sambil menunduk. Di dalam hatinya, ada rasa hangat yang terus tumbuh, seolah rasa itu telah lama ia pendam tanpa ia sadari. “Gue juga senang, Al. Rasanya tenang bisa di sini sama lo,” balasnya.
Detik itu, seakan dunia berhenti bergerak. Mereka terdiam dalam kehangatan yang tak perlu dijelaskan, cukup dirasakan. Algar memeluknya lebih erat, dan Sasa menutup mata, meresapi kehadiran yang terasa begitu mendalam di hatinya.
Di kejauhan, suara tawa teman-teman mereka terdengar samar-samar, namun momen di antara mereka terasa seolah hanya milik mereka berdua. Dengan angin yang berembus pelan dan aroma hutan yang menenangkan, Sasa dan Algar menikmati keheningan yang penuh rasa.
Di bawah pohon besar itu, Sasa dan Algar duduk bersebelahan, merasakan hembusan angin lembut yang membawa aroma dedaunan dan embun pagi. Suasana sekitar hening, seolah waktu melambat di tempat itu, hanya menyisakan mereka berdua dalam momen yang terasa begitu intim.
Algar menatap wajah Sasa yang terlihat damai, matanya terpaku pada senyum yang perlahan terukir di bibirnya. Ia sedikit mencondongkan tubuh, mendekatkan wajahnya pada Sasa, membuat jarak di antara mereka semakin sempit. Sasa menyadari gerakan Algar dan jantungnya berdegup lebih cepat. Mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu ada kehangatan yang tak perlu diungkapkan dengan kata-kata.
Algar menelusuri wajah Sasa dengan pandangan penuh kelembutan, memperhatikan setiap detil—matanya yang berkilau, pipinya yang memerah, dan senyumnya yang seolah tak pernah memudar. Dengan perlahan, ia mengangkat tangannya dan menyelipkan beberapa helai rambut yang tertiup angin ke belakang telinga Sasa, jari-jarinya terasa hangat di kulitnya.
"Sa…" bisik Algar, suaranya terdengar rendah namun penuh makna. Tatapannya tetap terfokus pada wajahnya, begitu lekat seakan ia takut kehilangan detik ini.
Sasa menelan ludah, menatap balik ke dalam mata Algar yang begitu dalam, seolah mencoba memahami semua perasaan yang terpendam di sana. "Al… kenapa?" tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik, namun ada sedikit gemetar dalam nada suaranya.
Algar tersenyum tipis, menenangkan, lalu dengan lembut ia mendekatkan wajahnya sedikit lagi. Jarak mereka hanya tinggal beberapa inci, dan Sasa bisa merasakan hembusan napasnya yang hangat. "Aku cuma… ingin lebih dekat dengan kamu, Sa. Rasanya, kalau kayak gini, semua terasa sempurna," jawabnya, tatapannya tak pernah lepas dari matanya.
Dalam diam, mereka membiarkan detik-detik itu berlalu, membiarkan perasaan saling terungkap tanpa satu kata pun. Hanya tatapan dalam yang berbicara, mengisyaratkan rasa sayang yang selama ini terpendam. Sasa merasa tenang dan nyaman, seolah ia telah menemukan tempat yang tepat di samping Algar.
Tanpa sadar, Algar menyentuh pipi Sasa dengan lembut, jari-jarinya mengelus perlahan. Sasa pun terdiam, menikmati sentuhan itu dan kehangatan yang ia rasakan. Sejenak, mereka terhanyut dalam momen itu, di mana hanya ada mereka berdua di dunia ini, dalam keheningan yang penuh makna.
Algar mendekatkan wajahnya perlahan, membuat detak jantung Sasa semakin tak menentu. Mata mereka bertemu dalam keheningan, menyimpan semua perasaan yang tak terucapkan. Hanya ada mereka berdua, dunia di sekitar seakan menghilang, meninggalkan mereka dalam keintiman yang begitu mendalam.
Algar menatap dalam-dalam ke mata Sasa, lalu perlahan pandangannya turun ke bibirnya yang terlihat bergetar halus. Tanpa sadar, ia mendekat sedikit lagi, dan Sasa tak bergerak, hanya menutup matanya perlahan, menikmati kedekatan yang membuat dadanya terasa hangat.
Dalam keheningan itu, bibir mereka bersentuhan, lembut dan penuh kehangatan. Sentuhan itu terasa ringan, tapi membawa semua emosi yang selama ini mereka simpan. Sasa merasa hatinya berdebar kuat, namun ada rasa tenang yang memenuhi setiap sudut jiwanya. Perlahan, sentuhan mereka menjadi lebih dalam, seakan ingin mengukir momen itu di hati mereka masing-masing.
Algar menangkup wajah Sasa dengan lembut, tangannya masih di pipinya, membuat Sasa semakin tenggelam dalam kehangatan yang ia rasakan. Mereka menikmati setiap detik, meresapi perasaan yang mengalir di antara mereka dalam keheningan penuh kasih.
Ketika akhirnya mereka perlahan menarik diri, mata mereka bertemu lagi, dengan senyum kecil yang muncul di bibir masing-masing. Tidak ada kata-kata yang terucap, namun dalam tatapan itu, mereka tahu bahwa momen ini akan selalu menjadi bagian dari kenangan yang indah, tertanam dalam di hati masing-masing.
Sasa dan Algar masih larut dalam momen kebersamaan mereka, senyum mereka tak kunjung hilang, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Namun, momen indah itu tiba-tiba terhenti ketika terdengar suara tawa dan langkah kaki yang mendekat. Mereka langsung menoleh, sedikit terkejut melihat teman-teman yang berjalan menghampiri sambil tersenyum penuh arti.
“Aduuuh, maaf nih kalau kami ganggu momen penting kalian,” goda Aldrin sambil tertawa, membuat wajah Sasa merona seketika. Ia langsung merapikan rambutnya dan berusaha duduk lebih tegap, tapi senyuman di wajahnya tak bisa ia sembunyikan.
Clara mengangkat alisnya, menatap mereka berdua dengan tatapan menyelidik. “Iya nih, dari jauh kita lihat kalian lagi… ya, ngobrol mesra banget. Wah, ada yang makin lengket nih,” canda Clara sambil melirik ke arah Andin, yang hanya tertawa kecil di sampingnya.
Sasa mengalihkan pandangannya, merasa malu, sementara Algar hanya tersenyum kecil dan mengangkat bahu dengan santai. “Ya namanya juga menikmati pemandangan di puncak. Kalau kalian iri, kan bisa aja duduk manis di sini,” ucapnya sambil tertawa kecil, tak kalah tenang.
Awan ikut tersenyum jahil sambil menepuk bahu Algar. “Aduh, bro, jangan terlalu romantis dong. Bikin kita semua jadi merasa jomblo di puncak nih!” katanya sambil tertawa, yang diikuti oleh semua teman-teman yang lain.
Sasa tertawa kecil, akhirnya ikut masuk ke dalam candaan. “Udah deh, kalian juga bisa kok nikmatin pemandangan. Enggak harus ganggu kami,” ujarnya sambil tersenyum malu.
Namun, Aldrin tak berhenti di situ, ia malah mendekat ke Sasa dan Algar, mencondongkan tubuh seolah ingin mendengar lebih dekat. “Jadi... apa tadi momen spesial yang kita ganggu, ya?” tanyanya dengan nada penuh keisengan, membuat yang lain kembali tertawa.
Sasa hanya menepuk pundak Aldrin sambil tertawa. “Udah, udah, enggak ada momen apa-apa. Cuma ngobrol santai aja, kok!” ujarnya mencoba mengelak, meski wajahnya tetap merona merah.
Teman-teman tertawa, senang bisa meledek mereka, sebelum akhirnya duduk di sekeliling Sasa dan Algar, menikmati pagi bersama-sama. Meski tawa dan canda mereka menggema di udara, Sasa dan Algar tahu bahwa momen istimewa itu akan selalu menjadi kenangan yang hanya milik mereka, tersimpan manis di dalam hati masing-masing.