Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Ujung Kabut.
Malam itu sunyi. Hanya suara angin yang berdesir di antara pepohonan yang menutupi jalan kecil menuju sebuah desa yang terletak di lereng gunung. Udara dingin menggigit, menusuk sampai ke tulang, menambah kesan mencekam. Cahaya bulan redup, terhalang oleh kabut tebal yang perlahan turun, seolah menelan seluruh desa.
Ari berjalan perlahan, mengayuh sepedanya di jalanan berbatu, sesekali menengok ke belakang seakan ada yang mengikuti. Entah kenapa, perasaan gelisah terus menghantui dirinya sepanjang perjalanan pulang malam itu. Dia baru saja kembali dari kota setelah bekerja sebagai kuli bangunan. “Kenapa selalu begini setiap kali aku lewat sini malam hari?” gumamnya dalam hati. Jalan ini, yang biasanya hanya sunyi, kini terasa lebih mengerikan.
Langkah sepedanya terhenti ketika kabut mulai mengental, membatasi pandangannya hanya sejauh beberapa meter ke depan. Ari menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, lalu melanjutkan perjalanan dengan waspada. Tapi, tak lama kemudian, dia mendengar suara. Suara yang samar, seperti bisikan, tapi jelas bukan angin.
“Ari...”
Suaranya halus, namun jelas. Ari mendadak berhenti. Ia menoleh ke sekeliling, mencari sumber suara, tapi tak ada siapa-siapa. Hanya kabut tebal yang semakin pekat.
“Ari...”
Kali ini lebih jelas, lebih dekat. Jantungnya berdegup kencang, dan kakinya terasa berat untuk bergerak. Ia melangkah mundur, menjauh dari sepedanya, mencoba memfokuskan diri di tengah pekatnya kabut.
Tiba-tiba, sebuah bayangan samar muncul dari balik kabut. Sosok seorang wanita dengan rambut panjang terurai, mengenakan pakaian putih yang hampir menyatu dengan kabut di sekitarnya. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya tajam, seolah menembus jiwanya.
“Ari...” Wanita itu kembali memanggil, kali ini dengan nada yang lebih dalam, lebih menyeramkan.
Ari mundur beberapa langkah lagi. "Siapa... siapa kamu?" suaranya bergetar, berusaha menguasai ketakutannya. Tapi sosok wanita itu tidak menjawab, hanya terus menatapnya dengan tatapan kosong.
Rasa takut yang sejak tadi menghantuinya kini berubah menjadi kepanikan. Ari berbalik dan berlari meninggalkan sepedanya, menembus kabut yang semakin pekat. Kakinya berlari secepat mungkin, melewati jalan setapak yang sudah dihafalnya luar kepala, berharap bisa segera sampai di rumah.
Namun, meski dia sudah berlari sejauh itu, jalanan tak kunjung berubah. Seolah dia berlari di tempat yang sama. Kabut tak juga menipis, bahkan semakin pekat dan menyesakkan.
“Mustahil!” batinnya menjerit. Dia mulai kehilangan orientasi, tak lagi tahu di mana dia berada. Di belakang, suara langkah samar mulai terdengar. Suara yang bukan berasal dari langkah kakinya.
“Tidak mungkin... ini tidak nyata!” Ari menggigit bibirnya, mencoba meyakinkan diri. Tapi suara langkah itu semakin dekat. Ia menengok, dan melihat bayangan yang mulai muncul dari balik kabut. Wanita itu lagi. Mendekat, semakin dekat.
Ari terjatuh. Napasnya tersengal-sengal. Dalam kepanikan, dia merayap mundur, berusaha bangkit, tapi kakinya lemas. Wanita itu kini tepat berdiri di hadapannya. Ia mengulurkan tangan, wajahnya yang pucat semakin dekat.
“Kenapa kau meninggalkan aku?” bisik wanita itu.
Wajah Ari memucat. Ia mengenali suara itu. “Tidak... tidak mungkin... kamu sudah mati!” teriak Ari. Suaranya bergetar, penuh ketakutan. Wanita itu tersenyum tipis, namun ada kesedihan dalam sorot matanya.
“Aku menunggumu, Ari... selamanya,” jawab wanita itu dengan lembut.
Tiba-tiba, semuanya menjadi gelap. Ari terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia berada di kamarnya, terbaring di atas kasur. Pikirannya kacau. Apa yang baru saja terjadi? Mimpi? Tidak mungkin. Semuanya terasa begitu nyata.
Dia memandang sekeliling, kamarnya tampak normal. Tak ada tanda-tanda keanehan. Namun, ketika ia menurunkan kakinya dari ranjang, telapak kakinya menyentuh sesuatu yang basah. Ari mengernyit. Dengan hati-hati, ia menunduk untuk melihat. Darah. Setetes darah menetes dari ujung jari kakinya, membasahi lantai kayu. Tubuhnya gemetar.
“Apa ini?” Ari berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Ia mencoba bangkit, tapi kakinya seolah menolak untuk bergerak. Lalu, perlahan, pintu kamarnya terbuka sendiri. Terdengar suara derit yang panjang dan menakutkan. Dalam kegelapan, sosok wanita itu muncul lagi, melangkah masuk dengan perlahan.
Kali ini, wajahnya bukan hanya pucat. Darah menetes dari matanya, membasahi pipinya yang tirus. Senyumnya tak lagi lembut, melainkan mengerikan. Ari tak bisa bergerak. Tubuhnya kaku, seolah membeku oleh ketakutan yang luar biasa.
Wanita itu mendekat, lalu berbisik dengan suara dingin, “Kau tidak akan pernah bisa lari dariku, Ari. Kau milikku, selamanya.”
Ari mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya menggigil hebat. Dalam hitungan detik, semua yang ada di sekitarnya mulai berputar. Ruangan itu terhisap oleh kegelapan, dan kabut tebal kembali menyelimuti pandangannya. Sekali lagi, Ari terjebak dalam mimpi buruk tanpa ujung.
---
Ari terbangun lagi. Kali ini, ia terbaring di tengah hutan. Suara dedaunan bergemerisik tertiup angin, dan sinar bulan kembali temaram di atasnya. Ia menatap langit, lalu ke sekeliling. Semua tampak sunyi, tapi ada yang janggal. Ini bukan mimpinya. Ini nyata.
Dengan susah payah, Ari bangkit berdiri. Tubuhnya terasa berat, kakinya gemetar. Di depannya, ada jalan setapak kecil yang sepertinya menuju ke suatu tempat. Hanya satu hal yang terpikirkan oleh Ari—dia harus keluar dari sini, harus lari sejauh mungkin.
Tanpa pikir panjang, ia mulai berjalan. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin berat, seolah ada beban tak terlihat yang menariknya kembali. Namun, ia tak peduli. Rasa takut yang mendalam memacu adrenalinnya, mendorongnya untuk terus bergerak.
Di sepanjang perjalanan, suara-suara aneh mulai terdengar lagi. Bukan hanya bisikan kali ini, melainkan suara-suara berat, gemuruh, seolah-olah dari balik pepohonan. Ari mempercepat langkahnya, tapi jalan seolah tak pernah berakhir.
Setelah berjam-jam berjalan, kabut kembali turun. Tapi kali ini, kabut itu terasa lebih menekan, lebih pekat, dan di dalamnya, Ari merasakan kehadiran sesuatu—sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar mimpi buruk. Di tengah kabut itu, ia melihat bayangan wanita yang selama ini menghantuinya. Wanita itu tak lagi sendiri. Di belakangnya, bayangan-bayangan lain mulai bermunculan, lebih besar, lebih menyeramkan. Mata mereka merah menyala, menatap Ari tanpa berkedip.
Ari ingin lari, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Seperti sebelumnya, rasa takut yang begitu mencekam menahan setiap langkahnya. Bayangan-bayangan itu mendekat, dan suara-suara mereka memenuhi udara malam yang mencekam.
"Kau milik kami sekarang, Ari..." kata mereka serempak.
Ari menutup matanya rapat-rapat, berusaha melawan ketakutan yang membelenggu pikirannya. Tapi suara-suara itu tak kunjung hilang, dan kegelapan semakin membungkusnya.
---
Keesokan paginya, penduduk desa menemukan Ari terbaring di tengah jalan setapak menuju desa, tubuhnya dingin dan kaku. Tak ada yang tahu apa yang terjadi padanya malam itu. Namun, dari bibirnya yang membeku, seolah ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tapi tak pernah sempat terucap.
Orang-orang yang lewat jalan itu sesekali masih mendengar bisikan di antara kabut, dan beberapa dari mereka mengaku melihat sosok wanita berbaju putih yang berdiri di kejauhan, memanggil nama orang-orang yang melintas.