Pernikahan yang sudah didepan mata harus batal sepihak karena calon suaminya ternyata sudah menghamili wanita lain, yang merupakan adiknya sendiri, Fauzana harus hidup dalam kesedihan setelah pengkhianatan Erik.
Berharap dukungan keluarga, Fauzana seolah tidak dipedulikan, semua hanya memperdulikan adiknya yang sudah merusak pesta pernikahannya, Apakah yang akan Fauzana lakukan setelah kejadian ini?
Akankah dia bisa kuat menerima takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Tujuh
Ana akhirnya mendapat izin masuk walau sebenarnya jam besuk telah selesai. Dia meletakan tas di bangku tunggu. Berjalan masuk dengan perlahan.
Ketika dia masuk ke ruangan itu, dia hampir tidak bisa mengenali ayahnya. Wajahnya pucat dan lesu, terhubung dengan berbagai alat yang membuatnya tampak rapuh dan rentan. Tangis Ana tak dapat lagi dia tahan. Air mata jatuh membasahi pipinya.
"Ayah, bangunlah. Aku tak sanggup melihat ayah begini. Walau ayah tak menyayangiku, itu lebih baik dari pada melihatmu begini," rengek Ana sambil mengusap matanya yang berair.
Tiba-tiba, ayahnya Ana terlihat bergerak perlahan. Matanya yang terpejam sepertinya mencoba membuka sedikit demi sedikit. Ana langsung mendekatinya.
"Ayah, maafkan aku," ucap Ana terisak.
Ayahnya Ana tampak berusaha tersenyum. Tangannya terangkat perlahan seperti ingin bersalaman. Gadis itu meraihnya dan menggenggamnya. Dia lalu menciumnya.
"Maaf, karena aku baru bisa pulang," ujar Ana dengan suara terbata karena menangis.
Air mata ayah keluar perlahan. Ana mendekati wajah ayahnya dan menghapus air mata di kulit yang sudah keriput itu.
"Maafkan ayah, Nak," ucap ayah dengan suara pelan dan terbata.
"Aku sudah memaafkan Ayah. Sekarang Ayah harus berusaha untuk sembuh. Nanti kita bisa bersama lagi," balas Ana.
"Ayah tak yakin sembuh. Tapi sekarang ayah sudah bisa pergi dengan tenang. Keinginan ayah bertemu denganmu sebelum meninggalkan dunia ini telah terkabul. Satu lagi doa dan keinginan ayah, kamu mendapatkan pria yang benar-benar mencintai kamu dan bisa membahagiakan kamu," ucap Ayah dengan terbata.
Deru napasnya tersengal-sengal. Dengan irama yang tak beraturan. Tampak sekali dia berusaha kuat agar bisa bicara dengan anaknya itu.
"Ayah, jangan bicara lagi. Sekarang ayah istirahat. Aku menunggu di luar," ucap Ana.
"Ana, ayah takut tak bisa bicara denganmu lagi, Nak. Sekali lagi maafkan, Ayah. Karena tak bisa menjadi ayah yang baik seperti ayah-ayah temanmu yang lain. Tapi percayalah, Nak. Ayah sangat mencintaimu. Mungkin cara ayah selama ini yang salah dan tak bisa kamu terima. Sekali lagi maafkan ayah, Nak!" seru Ayah.
"Sudah, Ayah. Jangan minta maaf terus. Sekarang tidurlah. Aku akan menunggu di luar," ucap Ana.
Ana lalu mencium tangan Ayahnya. Tak lupa dia juga mencium dahi pria itu. Barulah dia keluar.
Ana duduk di luar ruang ICU dengan hati yang berat. Suasana sepi dan hening membuatnya semakin gelisah. Ia masih teringat betapa tegar ayahnya ketika ia berbaring lemah di ranjang itu. Ana terus-menerus berdoa agar ayahnya cepat pulih, namun mendengar kabar dari dokter membuatnya hancur.
Dokter jaga lalu masuk, Ana ingin bicara dengannya. Ingin tahu keadaan ayahnya saat ini.
Di rumah sakit sedang berkumpul semuanya. Ada Erik dan Ayu juga. Anaknya tidak di bawa, entah dititipkan dengan siapa.
Dokter keluar dari ICU dengan wajah yang serius. Ana langsung berdiri dan mendekati dokter jaga itu.
"Dokter, bagaimana keadaan ayah saya?" tanya Ana pelan. Dia masih sedih melihat keadaan ayahnya tadi.
"Apa Anda keluarga Pak Refdi?" Dokter itu balik bertanya.
"Saya anaknya, Dok," jawab Ana.
"Maaf, Mbak. Kami telah berusaha dengan maksimal, tapi semua adalah ketetapan dan kehendak Tuhan, ayah Anda tak dapat kami tolong lagi," ucap Dokter.
"Maksudnya Dokter, apa?" tanya Ana dengan suara bergetar.
"Ayah Anda telah meninggal dunia," jawab Dokter dengan suara pelan.
Tubuh Ana terasa lemah, hampir saja dia tumbang. Beruntung Erik langsung menyambutnya. Melihat itu Ayu tak bisa terima. Dia melepaskan pelukan suaminya. Ana terduduk di bangku tunggu.
"Jangan cari kesempatan kamu, Mas!" seru Ayu dengan suara ketus.
"Maafkan kami. Saya mau pamit. Masih ada pasien. Keluarga bisa membayar administrasi untuk kepulangan jenazah," ucap Dokter itu lagi.
"Baik, Dok," jawab Ana pelan.
Ana tidak dapat menyembunyikan kesedihannya, air mata mengalir deras dari mata yang merah. Ia merasa dunianya runtuh, dan hatinya penuh dengan kehilangan. Bayangan ayahnya yang kuat dan penuh kasih akan terus menghantui dalam ingatannya.
Ana merenung tentang masa kecilnya, ketika ayahnya mendampinginya dalam setiap langkah hidupnya. Ayahnya adalah sosok yang penuh cinta dan selalu siap memberikan nasihat dan dukungan. Tidak ada kata yang dapat digambarkan betapa ia merindukan pelukan hangatnya.
Semua berubah saat ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi. Dia seperti kehilangan sosok ayahnya.
Ana masih terduduk di bangku, tubuhnya masih terasa sangat lemah. Keluarga satu-satunya telah pergi untuk selamanya.
Ibu Rida lalu mendekati Ana. Dia menatap wajah anak tirinya itu dengan sinis.
"Jangan pura-pura bersedih! Bukankah kamu yang mengatakan jika sangat membenci ayahmu sebelum kau pergi. Apa kau sadar, karena ucapanmu itu membuatnya sedih. Setiap hari merasa bersalah, hingga sering sakit. Di mana kau setelah itu? Sekarang kau datang seolah orang yang paling sedih dan mendekati!" seru Ibu Rida.
Ana tak menanggapi apa pun ucapan ibu tirinya. Tenggorokannya terasa tersekat, tak bisa mengeluarkan kata apa pun. Dalam dirinya ada penyesalan terdalam atas ucapannya sebelum meninggalkan sang ayah. Salam hatinya jadi berpikir, apakah benar ayahnya meninggal karena ucapannya itu.
"Betul apa yang Ibu katakan. Sejak kau pergi, dia sering sakit. Secara tak langsung kau telah membunuh ayah. Padahal yang ada dalam pikiran ayah itu adalah kau, tapi dengan lantang kau berkata jika kau sangat membencinya. Orang tua mana yang tak akan sedih mendengar ucapan anaknya itu!" seru Ayu.
Ibu dan anak itu seolah mendapat kesempatan untuk merusak mental Ana. Mereka seperti sengaja ingin membuat gadis itu merasa sangat bersalah dengan kepergian sang ayah.
Tangis Ana makin pecah mendengar ucapan kedua wanita itu. Rasa bersalah mulai dia rasakan. Rasanya dunia ini begitu kejam dengannya. Tak ada tempat bersandar saat dia sedang rapuh begini, justru mereka menyerang mentalnya.
Seorang bocah cilik dari kejauhan berlari memanggil nama Ana. Membuat Ibu Rida, Ayu dan Erik serempak memandangi asal suara.
"Mami Ana ...," teriak Chelsea di tengah kesunyian rumah sakit.
***
Selamat Pagi. Happy weekend. Mama datang membawa rekomendasi novel karya teman mama. Bisa si baca sambil menunggu novel ini update. Terima kasih.