Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Pagi itu, Renaya terbangun dengan tubuh yang terasa pegal dan sakit di sana-sini. Ia membuka mata dan mendapati dirinya terbaring di ranjang hotel yang nyaman, namun anehnya, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Tubuhnya terasa lebih hangat dari biasanya, dan saat ia menoleh, ia terkejut melihat Mario sedang tidur pulas di sampingnya, tangannya melingkar di tubuh Renaya. Ketegangan yang semalam masih terasa, tetapi ada sesuatu yang tidak jelas di pikirannya.
"Kenapa aku bisa tidur di sini?" pikirnya bingung, mencoba mengingat apa yang terjadi. Perlahan, potongan-potongan ingatan mulai menyelinap ke dalam pikirannya, namun ia merasa sangat kabur. Kemudian, ingatannya kembali pada malam sebelumnya. Ia ingat menerima minuman dari Edwin yang rasanya aneh, dan setelah itu semuanya menjadi gelap.
Lalu, "Edwin kemana?" pikir Renaya dalam hati, perasaan cemas mulai menguasai dirinya. Ia tidak bisa mengingat apapun setelah meminum minuman itu, dan itu membuatnya merasa sangat tidak nyaman.
Tiba-tiba, Mario bergerak, menarik napas dalam-dalam, dan perlahan membuka matanya. "Sudah bangun sayang?" tanya Mario dengan suara serak, seolah baru saja terjaga dari tidur yang sangat lelap.
Renaya terdiam beberapa saat, matanya berkeliling mencari petunjuk, sebelum akhirnya bertanya, "Daddy, kenapa kita ada di sini?" Suaranya terdengar penuh kebingungan dan sedikit ketakutan. Ia masih belum sepenuhnya bisa memahami keadaan yang sedang terjadi. Mengapa ia berada di tempat yang tidak dikenalnya, dalam pelukan Mario yang terlihat begitu tenang?
Mario yang sudah duduk, memandang Renaya dengan tatapan lembut. Dengan gerakan penuh kasih sayang, ia mengusap puncak kepala Renaya, menyentuh rambutnya yang acak-acakan. "Tak perlu tahu bagaimana kamu bisa ada di sini," jawab Mario dengan suara yang tenang dan penuh kepastian. "Yang jelas, kamu aman bersama Daddy. Itu yang terpenting."
Renaya menatap Mario, mencoba mencari jawaban di mata pria itu, namun wajah Mario terlihat begitu serius, seolah tak ingin membicarakan hal lain.
"Kenapa Daddy nggak cerita?" tanya Renaya lagi, suaranya kini terdengar lebih lembut, namun masih ada kekhawatiran yang mengintai. Meskipun ia merasa aman bersama Mario, entah mengapa ada rasa curiga yang masih menggelayuti dirinya.
Mario tersenyum sedikit, meski senyum itu lebih terlihat penuh kasih sayang. "Karena kamu tak perlu tahu semuanya sekarang. Yang terpenting adalah kamu baik-baik saja, dan kita akan hadapi semuanya bersama-sama."
Renaya merasakan kehangatan dari kata-kata Mario, tetapi ada satu hal yang masih mengganjal dalam pikirannya. Apa yang sebenarnya terjadi setelah ia meminum minuman itu? Mengapa ia tidak ingat apa-apa? Namun, ia memutuskan untuk menenangkan diri, mempercayai apa yang Mario katakan.
"Terima kasih, Daddy," ujar Renaya pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Setelah beberapa saat menghabiskan waktu di hotel, Mario akhirnya memutuskan untuk membawa Renaya pergi. Dia menyarankan agar Renaya membersihkan diri, memberi kesempatan bagi gadis itu untuk mengembalikan sedikit kenyamanannya setelah kejadian semalam yang membuatnya bingung. Mereka berdua berjalan keluar dari hotel menuju mobil, dan Mario mengantarkan Renaya kembali ke apartemennya.
Setibanya di depan apartemen Renaya, Mario menatapnya dengan serius. "Jaga dirimu baik-baik, jangan keluar dari sini dulu. Kita akan bicarakan semuanya nanti," ujar Mario dengan suara yang tenang, namun penuh penekanan. Renaya mengangguk, merasa lebih tenang dengan perlakuan Mario, meski hatinya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Setelah memastikan Renaya masuk ke apartemennya dengan aman, Mario segera berbalik dan melangkah menuju mobilnya. Hari ini, ia harus mengurus sesuatu yang lebih mendalam dan jauh lebih gelap dari apa yang terlihat di permukaan. Tidak ada waktu lagi untuk bermain-main. Tujuan selanjutnya adalah markas yang selama ini hanya sedikit orang yang tahu.
Markas tersebut tersembunyi dengan rapi di balik kesuksesan Mario sebagai seorang pebisnis. Tetapi, di balik senyuman ramah dan sikap profesional yang ditampilkannya, ada sisi gelap yang selama ini ia sembunyikan. Itu adalah dunia yang sama sekali berbeda. Dunia yang penuh dengan kekuasaan, uang, dan keinginan untuk mengendalikan segala sesuatu.
Sesampainya di markas, Mario melangkah masuk ke ruang bawah tanah yang gelap. Di sudut ruangan, terlihat Edwin, terikat di kursi dengan tangan terikat erat. Wajahnya penuh rasa kesakitan dan ketakutan. Devon, salah satu pengawalnya yang setia, berdiri di sampingnya, menatap Mario dengan wajah kosong.
"Dia masih hidup, Tuan," kata Devon dengan nada datar, mengamati Edwin yang sepertinya tidak memiliki energi lagi untuk berontak. "Apa yang akan kita lakukan padanya?"
Mario mendekati Edwin dengan langkah tenang, matanya menyala penuh amarah yang tersembunyi. "Tinggalkan kami," jawab Mario dengan suara rendah, tetapi penuh kekuatan. "Aku ingin berdua saja dengan cecunguk ini."
Devon tidak menjawab, hanya memberi anggukan sebelum berjalan keluar, meninggalkan Mario dan Edwin dalam keheningan yang menegangkan. Edwin, meskipun terikat dan tak bisa bergerak, mencoba untuk berbicara dengan suara yang tersekat. "Mario, kau nggak bisa melakukan ini! Aku... aku cuma mengikuti perintah!"
Mario menatapnya dengan tatapan tajam, bibirnya terkulum senyum tipis yang tidak mengandung kebaikan. "Kau pikir aku peduli dengan perintah yang datang darimu?" katanya, suara dingin dan mengerikan. "Sekarang, kita akan menyelesaikan semuanya, Edwin."
Mario menatap Edwin dengan mata yang penuh kemarahan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar dingin, namun penuh ancaman yang terselip. “Beraninya kamu menjebak kekasihku," ujar Mario dengan nada suara rendah, seperti mendesis. "Siapa yang menyuruhmu?”
Edwin, meskipun terikat dan berada dalam posisi yang sangat buruk, mencoba untuk tetap menunjukkan sikap keras kepala. Wajahnya yang penuh darah dan luka-luka ringan akibat perlawanan semalam, hanya memberikan sedikit petunjuk tentang keadaannya. Namun, ia masih bisa tertawa, meski tertawa itu terdengar sangat terpaksa.
"Tertawa?!" Mario menatapnya dengan tajam, merasa setiap detik kebencian terhadap pria di depannya semakin tumbuh. "Pantang aku menjawab, Mario!" balas Edwin dengan senyum terbalik yang penuh dengan keputusasaan, namun tetap mencoba menunjukkan keteguhan dalam dirinya.
Mario menarik napas dalam-dalam. Kemarahannya membuncah, tetapi ia tetap mengontrol dirinya. "Kau pikir aku tak bisa membuatmu berbicara?" tanya Mario dengan suara yang penuh ancaman. "Tidak perlu berani-berani menantangku, Edwin. Kau sudah terperangkap di jaringku."
Edwin hanya diam, tetap menjaga sikap keras kepalanya, meskipun dalam hati ia tahu ia sudah tidak punya banyak jalan keluar. Mario melangkah lebih dekat, kini berada tepat di depan Edwin. Senyum di wajah Mario semakin tipis, namun mengerikan.
"Jika kau tidak mau berbicara, itu tidak masalah," kata Mario, suaranya begitu tenang, bahkan hampir terdengar biasa, meskipun semua orang yang mendengarnya tahu bahwa itu adalah kalimat yang sangat berbahaya. "Aku tahu caraku sendiri. Aku tidak butuh kata-katamu. Aku akan mencari cara lain untuk mengungkap semuanya."
Edwin hanya menatap Mario dengan mata yang mulai memancarkan rasa putus asa. Namun, ia tetap memilih diam, tidak ingin memberi kepuasan sedikit pun kepada Mario. Tidak ada yang lebih ia inginkan selain keluar dari situasi ini, tapi dia tahu, dengan Mario yang seperti ini, harapannya semakin tipis.
Mario berdiri tegak, seolah memikirkan sesuatu dengan serius. Dengan gerakan lambat namun pasti, dia mengangkat tangannya dan memberi isyarat kepada salah satu orang di markas yang tersembunyi di balik bayang-bayang.
“Katakan, atau pistol ini akan menembus otakmu yang hanya bisanya memikirkan sel44ngk44ngan wanita saja!” seru Mario sambil menodongkan moncong pistolnya pada Edwin.
Edwin mulai gentar saat Mario mendekatkan pistolnya, ujung larasnya menyentuh pelipis kepala Edwin dengan dingin. Napas Edwin terengah-engah, wajahnya semakin pucat, merasa tekanan maut semakin dekat. “Ak-aku akan katakan siapa orangnya...” suara Edwin terdengar tergagap, berusaha menyelamatkan diri dengan memberi informasi yang mungkin dapat meringankan nasibnya. "Dia adalah Be..."
Namun, belum sempat Edwin menyelesaikan kalimatnya, suara letusan keras memecah keheningan ruangan. Dentuman tembakan yang mengguncang udara itu membuat tubuh Edwin terkulai lemas, meregang nyawa seketika. Darah mengalir deras dari kepalanya yang tertembus peluru, tubuhnya jatuh terjerembap ke lantai dengan mata terbuka kosong.
Mario hanya berdiri di sana, tak sedikit pun terkejut oleh peristiwa itu. Senyum tipis tersungging di bibirnya, meskipun senyum itu terasa dingin dan penuh perhitungan. "Aku sudah menduga," katanya dengan suara datar, tanpa emosi. "Kamulah orang di balik semua ini."
jadi wajib baca dan masuk rak.