Vherolla yang akrab disapa Vhe, adalah seorang wanita setia yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kekasihnya, Romi. Meski Romi dalam keadaan sulit tanpa pekerjaan, Vherolla tidak pernah mengeluh dan terus mencukupi kebutuhannya. Namun, pengorbanan Vherolla tidak berbuah manis. Romi justru diam-diam menggoda wanita-wanita lain melalui berbagai aplikasi media sosial.
Dalam menghadapi pengkhianatan ini, Vherolla sering mendapatkan dukungan dari Runi, adik Romi yang selalu berusaha menenangkan hatinya ketika kakaknya bersikap semena-mena. Sementara itu, Yasmin, sahabat akrab Vherolla, selalu siap mendengarkan curahan hati dan menjaga rahasianya. Ketika Vherolla mulai menyadari bahwa cintanya tidak dihargai, ia harus berjuang untuk menemukan jalan keluar dari hubungan yang menyakitkan ini.
warning : Dilarang plagiat karena inti cerita ini mengandung kisah pribadi author
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jhulie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelisah
Di kantor, Vherolla duduk termenung. Walaupun Pak Aldino sering mengajaknya mengobrol dan bahkan memberinya perhatian ekstra, hatinya justru merasa kosong. Setiap kali Pak Aldino menunjukkan ketulusan, perasaannya malah kembali mengarah pada Romi.
"Kenapa aku nggak bisa lepas dari bayangan Romi?" gumamnya pelan, sambil memandang keluar jendela kantor.
Pak Aldino memperhatikan Vherolla yang murung dan menghampirinya.
"Vhe, kamu baik-baik saja? Sepertinya akhir-akhir ini kamu banyak pikiran," ujar Pak Aldino sambil meletakkan secangkir kopi di mejanya.
"Oh, iya, Pak. Saya baik-baik saja kok," jawab Vherolla dengan senyum yang dipaksakan.
Pak Aldino menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. "Kalau ada masalah, kamu tahu kan kalau kamu bisa cerita sama saya?"
Vherolla mengangguk, tetapi pikirannya masih mengembara ke sosok Romi. Terlalu sering Romi menyakitinya, tetapi di balik semua luka itu, perasaan cinta masih terlalu dalam mengikat dirinya.
***
Malamnya, ketika kembali ke kos, Vherolla melihat ponselnya, berharap ada pesan dari Romi. Tetapi tidak ada apa-apa. Hampa. Rasa rindu menyesak di dadanya, namun gengsinya masih terlalu tinggi untuk menghubungi Romi lebih dulu.
“Apa kabar dia sekarang? Masih marah, mungkin...” pikirnya sambil menggigit bibir, menahan gejolak emosinya.
Tiba-tiba, pesan dari Pak Aldino muncul.
"Vhe, sudah sampai kos? Istirahat yang cukup ya, jangan terlalu stres. Kalau kamu butuh teman ngobrol, saya selalu ada buat kamu."
Vherolla menatap pesan itu lama. Ada rasa terharu dengan perhatian Pak Aldino, tapi juga perasaan bersalah yang tak bisa dia jelaskan. Dengan perasaan campur aduk, akhirnya dia membalas singkat.
"Iya, Pak. Terima kasih banyak ya."
Tak lama setelah itu, telepon berdering. Nama Pak Aldino muncul di layar.
"Halo, Pak?"
"Halo, Vhe. Kamu kelihatan murung terus akhir-akhir ini. Apa... apa ini soal pacarmu?" Pak Aldino bertanya hati-hati.
Vherolla terdiam sejenak, bingung harus menjawab apa.
"Entahlah, Pak. Mungkin… ya, saya memang sedang memikirkan dia," jawabnya jujur, walau dengan nada lemas.
Pak Aldino terdengar menarik napas panjang di ujung telepon. "Maaf, Vhe. Mungkin ini agak lancang, tapi kamu layak mendapatkan yang lebih baik. Kalau pria itu terus membuatmu terluka, kenapa kamu masih bertahan?"
"Aku… juga nggak tahu, Pak. Seolah-olah aku sudah terikat dengan dia. Meski sering kecewa, tapi hati ini… seakan nggak bisa jauh dari Romi," jawab Vherolla dengan nada lirih.
Keesokan harinya di kantor, Pak Aldino mencoba lagi menghibur Vherolla dengan berbagai cara. Dia mengajaknya makan siang di restoran favorit Vherolla, memberinya hadiah kecil, bahkan menawarkan bantuan dalam pekerjaannya. Namun, bukannya merasa lebih baik, Vherolla malah merasa semakin terbebani.
"Aku harus berterima kasih sama Pak Al... tapi kenapa rasanya malah makin aneh?" pikirnya dalam hati, sambil menatap hadiah yang diberikan Pak Aldino.
Ketika jam makan siang berakhir, Pak Aldino menunggu di pintu kantor dan menyapanya dengan senyum hangat.
"Vhe, nanti malam kamu ada acara? Mungkin kita bisa makan malam bareng?" ajaknya lembut.
Vherolla ragu-ragu. Makan malam bersama lagi? Di saat hatinya masih bimbang, dia tidak yakin bisa menerima lebih banyak perhatian dari Pak Aldino.
"Pak, maaf, tapi... mungkin lain kali ya. Saya sedang ingin sendirian dulu," jawabnya perlahan, mencoba tidak menyinggung perasaan Pak Aldino.
Pak Aldino terdiam sejenak, namun kemudian mengangguk. "Tentu, Vhe. Saya mengerti. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk cerita, ya."
Malam harinya, Vherolla termenung di balkon kosnya. Sejak pertemuan terakhir dengan Romi, perasaannya semakin kacau. Pak Aldino memang penuh perhatian, berbeda dengan Romi yang cenderung cuek dan terkadang egois. Namun anehnya, justru sifat Romi yang membuatnya sulit untuk benar-benar pergi.
"Pasti aku yang bodoh, kan?" katanya pada dirinya sendiri. "Orang lain mungkin bilang aku bisa dapat yang lebih baik, tapi kenapa justru hati ini milih Romi?"
Vherolla menggenggam ponselnya dengan erat, hampir menekan nomor Romi. Namun, gengsinya kembali menahan.
"Apa aku yang terlalu banyak berharap? Apa aku yang salah kalau masih terus sayang dia?"
Di dalam hatinya, dia tahu bahwa pilihan untuk dekat dengan Pak Aldino adalah salah satu bentuk pelariannya dari rasa sakit yang Romi berikan. Tapi dia juga tahu, tak ada pria lain yang bisa membuatnya merasakan perasaan yang sama seperti ketika bersama Romi.
Di tengah semua kebimbangan itu, Vherolla menangis pelan.
Sejak Pak Aldino menunjukkan perhatian lebih, Vherolla terus meyakinkan dirinya bahwa dia tak merasakan apa-apa selain rasa hormat sebagai bawahan. Walaupun Pak Aldino memperlakukannya dengan penuh perhatian, seolah mengisyaratkan perasaan yang lebih dalam, Vherolla menolak menganggap itu lebih dari sekadar kepedulian atasan.
Di kantor, saat Pak Aldino kembali menghampirinya dengan membawa secangkir kopi, dia tersenyum lembut.
"Ini buat kamu, Vhe. Kamu pasti lelah, kan, mengerjakan semua laporan ini sendirian?" Pak Aldino menyerahkan kopi itu dengan nada perhatian yang khas.
Vherolla mengangguk sopan, menerima kopi itu dengan senyum kecil. "Terima kasih banyak, Pak. Saya memang agak lelah, tapi semua ini sudah tanggung jawab saya. Nggak usah repot-repot, Pak."
Pak Aldino tersenyum, tampak kagum dengan dedikasi Vherolla. "Kamu ini memang berbeda, Vhe. Jarang sekali saya lihat seseorang yang punya komitmen seperti kamu."
Kalimat itu cukup membuat Vherolla tertegun sejenak. Dia tahu Pak Aldino menyanjungnya, tetapi hatinya benar-benar tak tergerak lebih dari rasa hormat. Dia ingin menanggapi Pak Aldino dengan baik, tetapi tetap menjaga jarak yang sewajarnya.
"Saya cuma ingin melakukan yang terbaik di sini, Pak. Bapak juga sudah banyak membantu saya," jawabnya, dengan suara yang diupayakan tetap datar.
Pak Aldino mengangguk, tapi ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Kamu tahu kan, Vhe? Saya di sini bukan cuma sebagai atasan. Kalau ada masalah apa pun, saya selalu siap mendengarkan."
Vherolla tersenyum, namun dalam hatinya terasa kosong. Dia tahu niat baik Pak Aldino tulus, tetapi dia tidak ingin membuka celah lebih jauh. Bayangan Romi terus menghantuinya. Meskipun Pak Aldino tampak sempurna dan begitu memperhatikannya, tak ada sedikit pun perasaan yang tumbuh untuk pria itu.
Semacam melayani perasaan namun menolak kebenaran, itulah yang Vherolla rasakan sekarang.
Saat jam makan siang, Pak Aldino kembali mengajaknya untuk makan di luar. Vherolla merasa serba salah, tetapi tak ingin terlihat menolak secara kasar.
"Maaf, Pak, mungkin saya makan di kantin saja hari ini. Ada beberapa hal yang ingin saya kerjakan," jawab Vherolla dengan senyum ramah.
Pak Aldino hanya tersenyum, meski tampak kecewa. "Tidak apa-apa, Vhe. Tapi, jangan terlalu keras pada diri sendiri, ya. Kalau kamu butuh istirahat atau ada apa pun, jangan sungkan cerita."
Vherolla mengangguk, berusaha tetap sopan. Ketika Pak Aldino berlalu, dia menarik napas panjang. Dia merasa lega bisa menolak ajakan atasannya tanpa menimbulkan salah paham.
Namun, saat dia duduk kembali di mejanya, perasaan bersalah kembali menyelimutinya. Ia tahu dirinya sedang menolak kenyataan yang Pak Aldino adalah sosok yang baik, lebih baik dari Romi dalam banyak hal. Tapi hatinya tetap terpaut pada Romi, dengan segala kesalahannya, sifat cueknya, dan mungkin ketidakpeduliannya.
"Aku tahu aku bisa lebih bahagia kalau aku membuka diri untuk Pak Al," gumamnya pelan. "Tapi kenapa rasanya seperti mengkhianati perasaanku sendiri?"
Vherolla menatap layar komputer dengan hampa, hatinya tetap ragu-ragu, seolah tak ingin meninggalkan Romi meski semua logika mengatakan bahwa pria itu tak pantas untuk diperjuangkan!