Reynard Fernando, seorang CEO sukses yang lumpuh, menikahi Caitlin Revelton, gadis ceria dan penuh semangat yang dikenal tak pernah mau kalah dalam perdebatan. Meskipun Caitlin tidak bisa membaca dan menulis, ia memiliki ingatan yang luar biasa. Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta, hanya sekadar kesepakatan.
Namun, apakah hubungan yang dimulai tanpa cinta ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam? Atau, mereka akan terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11
Mansion Fernando terhampar dalam keheningan malam, diterangi oleh cahaya lampu-lampu yang memantul dari kaca jendela besar di kamar, Reynard Fernando, pria yang memiliki segalanya, tengah duduk di kursi roda dengan tenang, membaca surat perjanjian. Di balik sikap tenangnya, ada senyum kecil yang tersungging di sudut bibirnya, sebuah senyum yang mengisyaratkan pemikiran yang lebih dalam.
"Gadis ini lucu sekali," gumamnya, tatapannya tak lepas dari kertas di tangannya. "Permintaannya juga aneh dan unik. Setelah menikah, surat ini hanya kertas yang tidak berharga bagiku." Ia berhenti sejenak, suaranya merendah penuh keyakinan. "Menikah dan bercerai? Mana mungkin akan terjadi. Pernikahan ini bukan hanya sekadar perjanjian, tapi juga masa depan. Setelah menikah, ulah apa lagi yang akan kamu gunakan?" Lirihnya, seakan berbicara pada bayangan Caitlin yang ada di benaknya.
Tiba-tiba, Reynard bangkit berdiri dari kursi rodanya, melangkah dengan normal dan pasti menuju jendela besar. Di sana, di bawah sinar rembulan dan lampu taman yang temaram, halamannya yang luas tampak indah dan tenang, seolah menyembunyikan rahasia gelap yang tersembunyi di balik kemewahan. Di balik sikapnya yang ramah dan elegan, ada sesuatu yang lebih dalam dan berbahaya.
Di sisi lain, seorang pria berpakaian rapi, Carlos, sedang berbicara dengan Tommy, paman Reynard. Wajah Carlos serius, namun ada sorot mata penuh kewaspadaan saat ia menyampaikan laporan pentingnya.
"Tuan," Carlos memulai dengan suara yang rendah, "Caitlin Revelton akan menjadi istri Reynard Fernando. Sepertinya mereka sudah sepakat."
Tommy, yang sejak awal merasa curiga, membelalakkan matanya sedikit. Wajahnya tak dapat menyembunyikan ketertarikan yang tiba-tiba. "Carlos, apakah sudah menyelidiki tentang gadis itu? Aku penasaran, apa istimewanya dari gadis sombong itu?" tanyanya dengan nada menyelidik, matanya menyipit seolah sedang menimbang kemungkinan baru.
Carlos menundukkan kepala sebelum menjawab, suaranya tenang namun penuh misteri. "Tuan, ada sesuatu yang mengejutkan dari gadis itu."
Tommy mengangkat alis, tertarik. "Apa itu?"
"Gadis itu," Carlos berhenti sebentar, membiarkan ketegangan menggantung di udara, "tidak pernah sekolah. Dia tidak bisa membaca dan menulis."
Tommy tertawa terbahak-bahak, suaranya bergema di ruangan yang besar. "Ha ha ha... keponakanku yang tampan dan cerdas memilih seorang istri yang buta huruf? Memalukan sekali!" ujarnya, tertawa sinis sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Carlos, meski serius, tak bisa menahan senyum tipis saat mendengar tawa tuannya. "Tuan, bukankah selama ini Anda ingin mendapatkan posisi direktur utama? Kita bisa memanfaatkan wanita itu," katanya, mencoba menggiring percakapan ke arah yang lebih menguntungkan.
Tommy berhenti tertawa, wajahnya berubah serius. Ia menatap Carlos dengan pandangan penuh pertimbangan. "Caitlin Revelton," katanya pelan, "hanya seorang gadis sombong yang tidak memiliki pengalaman apa pun. Andaikan ada yang tahu bahwa seorang bos besar menikahi gadis buta huruf... Apa reaksi mereka?" Ia mengakhiri kalimatnya dengan senyum sinis yang lebih dingin dari sebelumnya.
Mansion Revelton
Di dalam kamarnya yang sederhana Caitlin duduk di depan meja rias, fokus pada sebuah sketsa wajah yang ada di tangannya. Wajah di kertas itu tampak dingin dan penuh tipu muslihat, tidak lain adalah Tommy, paman dari Reynard Fernando. Guratan pensil di kertas memperlihatkan setiap detail, dari kerutan di sekitar matanya hingga senyuman tipis penuh licik yang menghiasi bibirnya.
Caitlin mengernyitkan alisnya, merasakan ketegangan yang tiba-tiba melanda dirinya. "Bagaimana mungkin aku bisa menjadi satu keluarga dengannya?" gumamnya pelan.
"Dia licik dan jahat," lanjutnya, tangannya menggenggam pensil dengan lebih erat. "Tidak tahu bagaimana nasib dua pria itu... apakah mereka masih hidup atau tidak. Sekarang aku malah menikah dengan keponakannya. Tidak tahu apa yang akan terjadi pada kehidupanku selanjutnya. Reynard Revelton juga bukan pria baik. Aku harus berhati-hati," bisiknya, seolah memberi peringatan kepada dirinya sendiri. Meski pernikahan dengan Reynard sudah di depan mata.
Dua minggu kemudian.
Pernikahan Reynard dan Caitlin hanya dijalankan dengan sederhana tanpa acara pesta. Mereka menandatangani surat pernikahan di kantor sipil.
Malam pertama pernikahan Reynard dan Caitlin berlangsung dalam keheningan yang tegang. Caitlin berdiri di ambang pintu kamar pengantin yang luas, menatap sekeliling dengan kagum dan sedikit rasa tidak nyaman. Fasilitas kamar itu benar-benar mewah, dari kasur berukuran jumbo hingga sofa kulit dan meja berukir, semuanya tampak sempurna. Namun, kemewahan ini tidak mampu menghilangkan rasa janggal yang melingkupi hati Caitlin.
Di tengah perhatiannya yang teralihkan oleh kemewahan ruangan, suara Reynard yang terduduk di kursi roda menariknya kembali ke realitas. “Kenapa, kamu tidak tidur? Atau, mungkin kamu ingin aku memelukmu sambil tidur?” Reynard bertanya dengan nada menggoda, senyum tipis terlukis di wajahnya.
Caitlin mendesah pelan, menatap kasur besar di depannya. "Aku tidur di mana? Aku tidak mau satu kasur denganmu," ucapnya, suaranya dingin dan penuh ketidaknyamanan.
Reynard hanya tersenyum lebih lebar, jelas menikmati situasi ini. "Sayang sekali kamu tidak ada pilihan lain. Kalau di kamar kita ada dua kasur, bukankah mereka akan tahu bahwa kita hanya pura-pura?"
Caitlin memutar matanya, merasa semakin frustrasi. “Selama hidupku, aku tidak pernah tidur dengan seorang pria. Mana mungkin aku harus tidur denganmu? Aku lebih baik tidur di lantai atau di sofa,” katanya sambil mengambil bantal dan selimut dari kasur, bersiap untuk tidur di sofa besar di sudut ruangan.
Reynard mengangkat bahu, tidak tampak terganggu. “Terserahmu saja. Tapi besok, kamu ikut aku ke perusahaan.”
Caitlin berhenti sejenak, memutar badannya menghadap Reynard dengan tatapan bingung. "Kenapa aku harus ke sana?" tanyanya, merasa aneh dengan permintaan itu.
“Kamu adalah istriku sekarang,” Reynard menjawab dengan tenang. “Bukankah sudah sewajarnya kamu datang dan melihat tempat suamimu bekerja? Kamu juga perlu mengenal orang-orang di sana.”
Caitlin mendengus, menyilangkan tangannya di depan dada. “Apakah mereka semua sama liciknya denganmu?”
Reynard terkekeh pelan, pandangannya masih terfokus pada Caitlin. “Kenapa kamu merasa aku licik? Kamu belum benar-benar memahamiku, Caitlin.”
Caitlin mendekatkan diri ke sofa, melemparkan pandangan tajam ke arah Reynard. "Kamu dan pamanmu sedarah, dan tentu saja sifat kalian sama saja,” jawabnya tanpa ragu, mengingat segala kecurigaan yang dia rasakan sejak awal.
"Aku tidak tahu kenapa kamu bisa berpikir seperti itu, Kita juga belum pernah bertemu sebelumnya," ujar Reynard.
"Tidak tahu bagaimana dengan nasib pria itu karena ulah pamanmu," gumam Caitlin.
Reynard yang mendengar gumaman istrinya, ia pun langsung bertanya," Pria mana yang kamu pikirkan? Pacarmu? Apakah kamu memiliki teman pria?" tanyanya dengan raut wajah serius.
hikzz..
Reinhard knp gk cari caitlin sendiri sih mlh nyuruh nic segala 😌😌😌