Kiyai Aldan menatap tajam Agra dkk dan Adira dkk. Ruangan ini begitu sagat panas dan terasa sesak dengan aura yang dikeluarkan oleh kiyai Aldan.
“Sedang apa kalian di sana?” Tanyanya pelan namun dingin.
“Afwan kiyai, sepertinya kiyai salah paham atas…,” Agra menutup matanya saat kiyai Aldan kembali memotong ucapannya.
“Apa? Saya salah paham apa? Memangnya mata saya ini rabun? Jelas-jelas kalian itu sedang… astagfirullah.” Kiyai Aldan mengusap wajahnya dengan kasar. “Bisa-bisanya kalian ini… kalian bukan muhrim. Bagaimana jika orang lain yang melihat kalian seperti itu tadi ha? “
“Afwan kiyai.” Lirih mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KABUR DARI PONDOK
“Ini uang jajan mu, dan ini uang keperluan selama sebulan. Gunakan dengan baik, jika masih kurang katakan saja.” Ujar Bima kepada istrinya.
Almaira menerima uang dan kartu itu dari Abraham. “A-apa ini tidak kebanyakan ustadz?” Tanya. Ini mah kebanyakan.
Bima tersenyum lalu menggeleng. “Tidak, gunakan itu dengan baik ya.” Jawabnya. “Sekarang kamu harus berangkat kemadrasah.” Lanjutnya setelah melihat jam tangan dipergelangan tangannya.
Almaira mengangguk, terlebih dahulu menyimpan uang itu didalam lemari pakaiannya. Lalu mengambil tasnya dan menyusul suaminya keluar dari kamar, mereka juga sarapan bersama beberapa menit yang lalu.
“Ustadz tidak keluar?” Tanya Almaira setelah memakai sepatunya. Posisinya masih didalam rumah.
Bima berpikir sebentar, lalu menjawab. “Keluar, rapat untuk persiapan acara tahunan pondok.” Jawabnya membuat Almaira mengangguk.
“Owhhh, kalau begitu aku pamit dulu ustadz.” Almaira meraih tangan besar milik suaminya lalu menciumnya dengan takzim.
“Hm, baiklah. Belajar yang rajin ya.”
xxx
“Memangnya kamu simpan dimana? Bukannya sudah kamu siapkan semalam?” Cecar Abraham. “Kamu terlalu teledor Aruna.” Lanjutnya lagi. Mencari ciput istrinya yang entah ditaruh dimana.
Aruna kesal, masih pagi sudah dibuat kesal dengan ciput yang dia siapkan semalam namun semakin kesal lagi saat mendapat ocehan dari ustadz Abraham.
“Aku taruh di sini kok semalam, benar aku simpan di sini ustadz.” Katanya dengan tangan yang menunjuk hanger yang tergantung digagang lemari itu.
Abraham kembali mencarinya. “Atau kamu pernah memakainya? Kamu tidak pakai saat shalat subuh tadi? Coba lihat mukenah kamu.”
Aruna menurut saja, dia tidak bisa mengingat karena sedang kesal. Sifat pelupa dalam dirinya ini sudah mendarah daging, dan itu tak bisa dihilangkan lagi.
“Tidak ada ustadz.” Ujarnya mengacak-acak mukenahnya.
Abraham mendengus, meraih mukenah itu lalu memeriksanya dengan teliti tanpa banyak bicara seperti istrinya ini. Belum ada dua puluh empat jam tinggal serumah dengan Aruna membuat Abraham harus banyak sabar, dari istrinya yang pelupa menaruh barang serta ocehannya yang terkadang membuatnya pesing sendiri.
Aruna meringis pelan saat melihat Abraham mengeluarkan ciput yang tengah mereka cari. “I-tu…,”
“Kalau cari itu pakai mata, bukan banyak oceh Aruna.” Kata Abraham. “Siap-siap, lalu kita sarapan.”
xxx
Agra menyiapkan keperluan Adira, dari menyusun buku sekolahnya dan memasukkannya kedalan tasnya. Menyiapkan seragam sekolahnya, lalu menyiapkan sarapan pagi.
“Perutmu masih sakit?” Tanya Agra menghampiri Adira yang duduk dipinggir tempat tidur sesekali meringis pelan.
“Mmm.” Jawab seadanya.
Agra mengusap keringat kecil pada kening istrinya. “Tidak usah berangkat.” Ujar Agra. Dia tidak tahu harus berbuat apa karena ini kali pertanya menghadapi seorang perempuan yang sedang datang bulan.
“Tidak mau, aku…,”
“Mendengar lah.” Tekan Agra. Dia tidak suka saat melihat Adira yang tengah menahan rasa nyerinya, dia tidak tahu sesakit apa yang dirasakan istrinya.
“Aku tidak mau izin ustadz, teman-teman aku juga pasti sudah menunggu…,”
Agra tiba-tiba saja berjongkok didepan Adira, kedua tangan besarnya meraih tangan kecil Adira. “Kamu tidak bisa fokus jika rasa nyerinya tidak hilang.” Ujarnya pelan. “Jadi, istirahatlah.”
Adira menatap Agra dengan sayu, ini hari pertama tanggal merahnya dan rasa nyeri ini benar-benar membuatnya tidak tahan. Gerak sedikit saja rasa nyerinya bisa bertambah, begitulah dirinya jika sedang datang bulan.
“Tidak usah berangkat.” Mutlak. Perintah yang tidak bisa dibantah oleh Adira jika suara dingin itu sudah keluar.
xxx
“Tinggalkan itu, dan bersiap untuk berangkat.” Ujar Abyan. Menghentikan pergerakan istrinya saat hendak mencuci piring kotor bekas sarapan pagi mereka.
“Tidak ustadz, sekalian saja piring ustadz bawah kesini.” Ayyara bukannya berhenti malah menyuruh ustadz Abyan membawakan piring kotor itu.
Abyan menyimpan piring kotor itu, lalu menarik tangan istrinya menuju kamar mereka. Mengambil tas milik Ayyara lalu memakaikannya kepada istrinya. Ayyara hanya menurut saja, pasrah dengan segala perlakuan ustadz Abyan padanya.
Abyan lalu merogok sakunya, mengambil dompet hitamnya yang lumayan tebal itu. Mengeluarkan beberapa lembar uang merah yang membuat Ayyara menatap jernih uang itu.
“Ambil dan pakailah, uang jajan mu gunakan dengan baik.” Katanya. Sambil menyerahkan beberapa uang lembar itu kepada Ayyara.
“I-ni apa tidak kebanyakan?” Tanyanya. Tangannya meraih uang merah itu.
“Tidak, gunakan itu.” Jawabnya mengembalikan dompetnya kedalam saku celanya. “Jangan minta lagi pada ayah mu.” Lanjutnya.
Ayyara hanya mengangguk saja, matanya tak bisa lepas dari beberapa lembar uang merah itu dan Abyan merasa lucu dengan tingkah istranya itu.
Di Madrasah Aliyah.
Dimana ada Adira disitu ada ketiga temannya, dimana ada Almaira, Aruna dan Ayyara disitu pasti ada Adira. Hal apapun yang dilakukan tanpa kehadiran satu teman saja rasanya seperti ada yang kurang, segala hal yang dilakukan tanpanya terasa tidak lengkap.
“Adira memang seperti itu, kalau datang bulan pasti perutnya nyeri.” Celetuk Almaira. Sangat tahu dan sangat hafal sifat Adira. Keduanya mengangguk setuju.
Semuanya kembali terdiam, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka harus membiasakan diri untuk tinggal serumah dengan Agra dkk, bukan hanya sementara waktu tapi untuk batas waktu yang telah ditetapkan oleh takdir.
“Kabur yuk.”
Almaira dan Aruna saling menatap dan kemudian melihat Ayyara yang menyanggah wajahnya dengan tangan kanannya diatas meja.
“Jangan aneh-aneh deh, kita saja belum selesai dengan hukum…,”
“Kita ajak Aidra sekalian.” Lanjutnya lagi memotong ucapan Aruna. Menatap serius kedua temannya, mumpung kelas sedang kosong hanya ada mereka jadi tidak aka nada yang mendengar mereka.
“Mau kabur kemana?” Tanya Almaira pelan. Kursinya sudah merapat dengan Ayyara entah sajak kapan itu.
Ayyara tersenyum penuh arti, lalu menyuruh keduanya mendekat lalu membisikkan rencana gilanya.
“Bagaimana? Kalian mau ikut?” Tanyanya dengan menaik turunkan alisnya.
Almaira dan Aruna tak langsung menjawab, mereka berpikir terlebih dahulu namun sesaat kemudian keduanya tersenyum lalu mengangguk dengan cepat.
“Kita ikut!”
“Bagus, pulang sekolah kita ketemu Adira.”
Apakah yang sedang direncanakan santriwati yang super aktif itu? Hal gila apa lagi yang akan mereka lakukan hingga membuat kepala suami mereka pusing dengan tingkah mereka ini?
xxx
Malam harinya.
Adira tak ikut masuk kedalam masjid, dia menunggu diluar setelah shalat berjamaah bersama dengan santri yang lainnya yang juga sedang datang bulan.
Sedikit takut menyetujui rencana ketiga temannya, namun setelah banyak pertimbangan akhirnya dia setuju walau rasa nyeri ini masih ada.
Sesuai dengan rencana mereka, dirinya mendapat tugas untuk memantau area pondok. Termasuk kiyai Aldan yang sangat suka nongkrong bersama satpam didepan pondok selepas isya’.
Sedangkan didalam masjid Almaira, Aruna dan Ayyara memantau pergerakan Agra dkk. Memastikan para ustadz muda itu tetap berada dipengawasan mereka.
“Kali ini harus berhasil ya, sekali-kali kita keluar tanpa izin.” Cicit Ayyara. Sepertinya dia sangat suka menghasut teman-temannya.
“Kamu yakin ini tidak apa-apa?” Tanya Almaira sedikit ragu. Mereka tidak diawasi oleh kiyai Aldan lagi dimana mereka bisa sedikit bernego kepada kiyai Aldan, namun kali ini berbeda mereka sudah bersuami maka lain juga ceritanya.
Aruna merangkul Almaira, lalu berkata dengan pelan. “Tenang, nanti kalau dihukum tinggal merayu ustadz Bima.”
“Benar, pokoknya setelah semua orang masuk asrama kita langsung pergi. Aku punya jalan rahasia.” Timpal Ayyara. Sudah jauh-jauh hari dia merencanakan pelarian ini.
Setelah beberapa menit kemudian, shalat isya’ berjamaah di pondok pesantren Al-Nakhla telah selesai. Semua santri berbondong-bondong meninggalkan masjid menuju kantin masing-masing untuk mengisi perut yang sedari tadi minta untuk diisi.
Terlihat juga Ayyara dan kedua temannya menunggu sampai semua santri dan termasuk para suami mereka keluar meninggalkan masjid hingga sepi hanya ada mereka bertiga saja, sedangakan Adira menghindari ustadz Agra dkk di luar.
“Ayok ganti mukenah, lalu segera pergi.” Tutur Ayyara dengan cepat mengganti mukenahnya dengan jilbab besar yang telah disiapkannya.
Almaira dan Aruna juga mengganti mukenahnya dengan hijab yang tentunya menutup dada mereka, setelahnya menyimpannya ditas kecil yang mereka bawah.
“Sudah kan? Adira juga pasti sudah menunggu, ayok.” Ayyara berjalan terlebih dahulu diikuti oleh kedua temannya yang mengekor dibelakangnya.
Ini benaran mereka kabur malam-malam begini?
“Adira!” Panggil Ayyara. Melambaikan tangannya dan mendekat kepada temannya itu yang juga terlihat sudah siap.
“Ini benar kita kabur? Kalau…,”
“Huuusssttt Adira! Ayok kita pergi sekarang, jangan banyak tanya nanti kita bisa kemalaman sampai dirumah.” Ayyara menyela ucapan Adira.
Mereka kemudian berjalan kesisi timur pondok, disini adalah halaman kosong pondok yang jarang dikunjungi hanya pekerja kebun saja yang sering datang untuk merawat beberapa tumbuhan kiyai Aldan.
“Ini kita serius mau manjat tembok tinggi ini?” Tanya Adira. Meringis pelan saat melihat tembok didepannya yang menjulang tinggi, ayolah tingginya hanya 150 cm saja.
“Tentu saja tidak.” Jawab Ayyara. “Ayok, lewat jalan rahasia.” Lanjutnya.
“Sejak kapan ada gerbang disini?” Tanya mereka bertiga kepada Ayyara yang tengah membuka gerbang kecil yang hanya bisa dilalui satu orang itu. Gerbangnya tak digembok, jadi sangat mudah mereka kabur.
“Sejak kapan-kapan.” Jawab Ayyara asal. “Buruan.”
Mereka keluar dari pondok, benar-benar keluar dari pondok pesantren lewat gerbang kecil yang menghubungkan langsung dengan gang kecil tak jauh dari jalan raya.
Hukuman apa lagi yang harus diberikan hingga mereka ini bisa jerah?
tinggalkan jejak👣 kalian, dan terimakasih banyak☺
semangat 💪👍