Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Silence
----- Saras POV -----
Aku menutup pintu kamar di belakangku dengan kencang hingga menimbulkan bunyi berdebam yang cukup keras.
Apa dia benar tidak sengaja melihatnya? Dia tidak memasukkan apa-apa ke dalam makananku kan? Apa aku tidur dengan nyenyak karena benar-benar ada sesuatu di makananku?
Pertanyaan itu terus terputar di benakku. Emosiku berkecamuk membayangkan betapa teganya Sanu jika ia benar-benar melakukan itu. Aku menghembuskan napas dengan kasar dan membanting diri di kasur. Menenggelamkan kepalaku di antara bed cover yang lembut dan wangi itu seraya terus menyumpah serapah Sanu sampai tanpa sadar aku kembali terlelap.
Aku tidur selama kurang lebih satu jam setengah dan kembali terbangun pukul setengah sepuluh. Bisa-bisanya aku tertidur lagi seperti itu.
Apa aku sangat nyenyak karena selama ini tak pernah mendapatkan tidur yang cukup? Hal itu terus berputar di kepalaku selama belasan menit hingga akhirnya aku memutuskan untuk kembali turun ke lantai satu.
Setibanya aku di bawah, kulihat sudah tidak ada siapa-siapa. Piring-piring kotor telah bersih dan benar-benar hanya dirikulah yang ada di sini.
Saat aku berjalan menghampiri meja makan, sudut mataku menangkap beberapa benda di atasnya. Aku mendekat dan mendapati beberapa salep, obat anti nyeri, serta antiseptik disertai dengan petunjuk pemakaiannya.
Aku kembali menghela napas. Apa selama aku tidur dia pergi membelikan ini semua untukku?
Aku mengambil selembar kertas yang terselip di antara obat-obatan itu, di sana tertulis
"Kompres memar-memarmu dengan es batu yang ada di kulkas saat kamu senggang. Sekarang kamu juga memiliki sopir pribadi yang akan mengantar kemanapun kamu pergi. Jika kamu lapar, kamu bisa memesan layanan apartement atau memanaskan makanan yang ada di kulkas."
Aku menghela napas. Jika diingat, dia melakukan hampir seluruh pekerjaan di apartement ini sendiri. Ia memasak untuk dirinya sendiri, membersihkan piring kotor sendiri, dan menyetir mobil sendiri. Untuk ukuran putera dari pebisnis paling kaya raya dan terkenal di seantero negeri, ia cukup mandiri dan langka. Anak-anak orang kaya lain tak akan pernah mau menyentuh wajan sendiri lantaran hidup dengan pelayan hampir di setiap sudut rumah.
Sejujurnya aku jadi sedikit merasa bersalah karena sudah membentaknya seolah-olah dia melakukan kejahatan besar pagi tadi. Bahkan kalaupun ia benar membuka bajuku dengan sengaja, sebenarnya ia tetap berhak melakukannya karena kami sudah menikah.
Hari itu, aku pergi ke kampus dengan perasaan campur aduk. Di tambah lagi, setelah pernikahanku dengan Sanu, Dany benar-benar tak pernah terlihat olehku. Ia seolah menghilang di telan bumi tanpa kabar sama sekali.
Sebenarnya selama beberapa hari ini aku benar-benar tidak sempat memikirkannya sama sekali. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku tentang Sanu dan pernikahan kami sehingga tak ada ruang untuk Dany di benakku.
Usai menyelesaikan seluruh kelasku hari itu, aku kembali ke apartement dengan di antar sopir pribadi baruku. Sanu sudah duduk di depan televisi saat aku masuk ke dalam apartement. Ia membiarkan televisi menyala, memperlihatkan sebuah film fiksi ilmiah tentang peperangan di luar angkasa.
Meski begitu, ia terlihat tidak memperhatikan tayangan yang tampil di televisi melainkan tablet di pangkuannya. Ia terlihat mengerjakan sesuatu yang tidak kumengerti dan membiarkan TV itu menyala dengan sendirinya.
Entah dia menyadari kehadiranku atau tidak, yang pasti dia tidak berkutik sedikitpun. Tidak ada ucapan selamat datang atau senyum hangat lagi darinya. Ia masih fokus dengan tabletnya saat aku memutuskan untuk naik dan membersihkan diri.
Usai membersihkan diri dan mengoleskan salep yang diberikan Sanu pada tubuhku, aku berjalan turun untuk turut melihat TV bersamanya. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan di kamar selain memandang keluar jendela.
Aku duduk di sebelahnya dan memindah channel televisi itu sesuka hatiku. Ia tidak protes ataupun marah sedikitpun. Terkadang, saat ia sedang asyik melihat tayangan televisi berupa berita atau kartun, aku dengan sengaja mengganti channelnya dan ia tetap tak berbuat apa-apa. Ia masih turut melihat televisi itu bersamaku.
Selama berminggu-minggu, menonton TV bersama seolah menjadi rutinitas harian kami. Meski kadang ia terlihat sangat sibuk dengan tabletnya, ia tetap duduk di depan televisi setiap malam. Jarak kami terpisah hampir satu meter karena aku dan dia duduk di dua sisi paling ujung dari sofa. Meski begitu, aku merasa nyaman dan sangat terbiasa dengan kehadirannya.
Semenjak pertiakaian kami hari itu, Sanu mendatangkan seorang pembantu untuk memasak dan membersihkan rumah. Mungkin ia takut aku akan mencurigainya memasukkan sesuatu lagi jika ia yang memasak untukku. Selama itu pula, dia benar-benar mendiamkanku. Menuruti ucapan yang aku lontarkan saat marah hari itu. Benar-benar tak ada lagi senyuman darinya, tak ada lagi ucapan-ucapan ramah dan perhatian-perhatian kecil darinya.
Sejujurnya aku merasa kehilangan karena ia tak lagi memperlakukanku bak seoarang ratu, tetapi sekarang aku menyadari bahwa meski ia tak melakukannya sendiri, ia membayar orang lain untuk melakukannya.
Selama satu bulan kami bersama, aku selalu tidur nyenyak setiap malamnya. Benar-benar tak ada lagi insomnia maupun mimpi buruk. Entah apa penyebabnya, yang pasti aku selalu bangun dengan keadaan segar dan selalu bisa tidur lebih dari 7 jam.
Meski kami tidur di kamar yang sama, Sanu tak pernah menyentuhku sedikitpun. Kami selalu tidur dengan saling memunggungi dan nyaris tak pernah berbicara satu sama lain. Meski begitu, aku merasa nyaman dan terbiasa dengan kehadirannya. Mataku selalu terbiasa melihat dia yang sedang duduk di depan televisi sembari memainkan tabletnya atau ia yang bersandar di tepian kasur sembari membaca buku di pangkuannya.
Meski kami bersikap layaknya orang asing di rumah kami sendiri, aku tidak keberatan sama sekali karena itu saja sudah cukup bagiku. Terkadang saat aku sudah pulang dan belum melihatnya, aku selalu memperhatikan pintu dan menunggu kepulangannya tanpa sadar. Meski pernikahan kami baru berlangsung selama satu bulan, tetapi aku sudah sangat terbiasa dengan kehadirannya.
Selain di rumah, di kampus pun sama. Selama satu bulan ini aku benar-benar tak bisa menemukannya di sudut manapun. Selama di kampus, aku tak pernah bisa melihatnya walau sekali. Mungkin ia benar-benar menghindariku karena ucapanku saat itu. Entahlah. Yang pasti sepertinya memang hanya aku yang tidak melihatnya karena mahasiswi sosialita lainnya itu selalu membicarakannya tanpa henti di setiap harinya.
Meski begitu, kini aku terduduk diam di depan televisi sembari terus memandang ke arah pintu. Setelah satu bulan kebersamaan kami yang sangat sunyi itu, ia menghilang secara tiba-tiba tanpa kabar. Ia tidak pulang ke rumah selama hampir satu minggu dan aku bahkan tidak memiliki nomor ponsel untuk menghubunginya.
Entah apa yang ia lakukan dan kemana ia pergi, aku benar-benar tidak tau sama sekali. Aku tidak tahu siapa teman-temannya ataupun orang terdekatnya. Aku tak mengerti di mana aku bisa mencarinya. Yang pasti, kepergiannya selama beberapa hari itu memberikan impact yang begitu besar bagiku.
Aku kembali mengalami insomnia parah hingga seringkali aku terjaga sepanjang malam. Kalaupun aku berhasil tidur di malam hari, mimpi buruk yang mengerikan itu terus menghantui. Setiap aku terbangun karena mimpi buruk dan membuka mata, aku merasa hampa karena tidak menjumpainya di sebelahku.
Apa dia marah atas perkataanku? Kenapa dia baru marah sekarang?
Aku lebih senang jika dia memarahi atau membentakku secara langsung daripada ia menghilang tanpa kabar begini. Hari-hariku rasanya sangat kosong dan hampa. Bahkan saat bersama teman-temanku pun, aku tak pernah berhenti memikirkannya. Selama berhari-hari aku mencari dan merindukan kehadirannya. Selama berhari-hari aku tidur tak nyenyak dibuatnya.
Inikah caramu membalasku, Sanu?