Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 : Trauma
Saka kembali duduk di sofa bersama Ara. Perasaanya kini campur aduk. Suasana yang sudah dia bangun untuk meyakinkan Ara buyar sudah gara-gara Devin.
"Maaf, itu..." Saka terbata.
"Adikmu?"
Saka mengangguk kecil. Untuk momen seperti ini ingin rasanya mendepak adiknya dari kartu keluarga dan membuangnya jauh-jauh ke Segitiga Bermuda.
Ara tertawa geli.
"Punya adik laki-laki memang kadang bisa bikin dunia kita jungkir balik ya. Aku kira cuma aku yang ketiban karma. Kamu yang sabar ya, Mas."
Melihat Ara yang tertawa lepas membuat tensi Saka menurun.
Devin tiba-tiba saja sudah masuk dari pintu depan. Saka merasa kecolongan, dia lupa mengunci pintu.
"Maafin kakakku yang rada nggak peka ini ya! Masak nembak cewek cuma pakai dua cangkir kopi latte. Hadeeh, kasih bunga kek, candle light dinner kek. Atau bikin pesta kembang api."
Dengan santainya Devin duduk di sebelah Ara sambil cengengesan.
"Calon kakak ipar, mau tiket liburan ke pulau terpencil nggak? Pemandangannya indah, penginapannya indaaah, hanya kalian berduaa..."
Saka dengan sigap mendekap mulut adiknya itu lalu menyeretnya menjauh dari Ara. Saka memasukkan Devin di dalam kamar. Dia berbisik pada Devin.
"Devin...tolong...jangan mengacau."
"Mengacau apanya? Kamu nggak liat tadi matanya berbinar-binar ketika aku sebutin liburan ke pulau? Kamu harus belajar membaca tiap gerak-gerik perempuan kalau mau sukses. Kamu perlu dibantu, Kak. Kamu payah kalau soal merayu perempuan."
"Tidak, tidak perlu. Kamu diam saja di sini."
"Mau aku ajarin pantun? Serumpun dua rumpun..."
"Halah..."
Saka menutup pintu kamar.
"Kak, gerak cepat lah! Nggak usah pakai mikir!" Suara Devin masih samar terdengar dari balik pintu.
Saka mengibas kerah kemejanya padahal ruangan ini dingin ber-AC. Dia sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa di depan Ara. Saka hanya berkali-kali menghembuskan nafas sambil batuk-batuk palsu.
"Kalian akrab sekali." goda Ara.
Saka menggaruk tengkuknya sambil tertawa kecil.
"Boleh aku pikirkan dulu yang tadi?" Ara mengakhiri kecanggungan Saka.
"Tidak, tidak perlu."
"Hah?" Ara bingung dengan jawaban Saka. Tadi dia minta untuk berjalan bersama, jadi pacar, kok sekarang malah bilang tidak perlu?
"Kamu tidak perlu mikirin kata-katanya Devin. Pulau terpencil itu bukan ide yang bagus. Aku takut sama laut."
"Oh...maksudku...permintaanmu padaku, Mas."
"OH!! Oooh...yang itu ya...maaf aku jadi nggak fokus."
Ara lagi-lagi tertawa geli.
"Iya, silahkan dipikirkan."
"Masih ada lagi yang kamu butuhkan? Kalau nggak ada, aku permisi pulang."
"Udah cukup kok. Makasih."
"Sama-sama. Makasih juga buat kopinya. Enak."
Saka tersenyum puas. Ara beranjak dari sofa menuju pintu keluar diiringi oleh Saka.
Di gerbang depan, seorang wanita berbaju blus merah dan rok hitam berdiri sambil menenteng clutch. Riasannya yang all out menambah kesan tegas di wajahnya. Pembawaannya yang angkuh seolah ingin menantang badai. Sebelah alisnya terangkat ketika melihat Saka keluar dari dalam rumah, membukakan pintu untuk Ara.
Saka yang melihat wanita itu langsung membalikkan badan Ara hingga menghadap ke dadanya. Ara yang terbentur badan Saka seketika berusaha menjauh.
"Ada apa, Mas?"
"Tunggu dulu di sini sebentar. Sebentar saja." pinta Saka.
Wanita itu berjalan mendekati Saka dan Ara. Heels sepatunya yang runcing menimbulkan suara pukulan yang mengintimidasi.
Ara menduga ada seorang wanita yang mendekat, dia ingin menoleh namun kepalanya ditahan oleh telapak tangan Saka.
"Tolong tunggu sebentar, Ara. Jangan berbalik."
Berada sedekat ini dengan Saka menimbulkan sensasi yang tidak nyaman bagi Ara. Dia merasa Saka tidak ingin menyakitinya tapi entah kenapa adegan ini mengingatkannya pada masa lalu.
"Siapa itu? Istrimu?" tanya wanita itu.
"Mau apa kamu ke sini?" tanya Saka ketus.
Wanita itu terkekeh sambil bersedekap.
"Wah, aku kaget kamu bisa nanya gitu. Dulu kamu seneng banget kalau aku datang ke rumahmu. Bukankah ini tempat biasanya aku pulang, Saka?"
"Tidak lagi."
"Karena ada istrimu?"
Saka masih terdiam. Ara bisa merasakan dan mendengarkan detak jantung Saka yang cepat dan nafasnya yang memburu. Demikian pula dengan jantung Ara sendiri.
"Mas, tolong lepasin...aku nggak nyaman..."
Tanpa aba-aba, bibir Saka sudah mendarat tepat di bibir Ara. Cepat dan memburu. Jika tadi jantung Ara yang copot, sekarang seolah nyawa Ara yang melayang. Sungguh mengerikan jika Ara sampai mati berdiri dengan mata melotot dan badan kaku seperti ini.
Ara tidak siap. Memorinya meledak seketika. Dia mencoba menjauhkan kepalanya dari Saka tapi Saka malah memeluk pinggangnya dengan erat.
Ara mulai berteriak dengan suara tertahan. Dadanya mulai naik turun karena sesak.
Devin yang keluar dari kamar tanpa sengaja melihat adegan canggung seperti dalam drama. Tanpa banyak kata, dia menghampiri dan menarik lengan si Wanita lalu mengajaknya pergi menjauh. Mereka masuk ke mobil lalu pergi entah ke mana.
Saka meregangkan rengkuhannya di pinggang Ara. Kepalanya menjauh demi melihat mata Ara yang masih terbuka tapi kosong.
"Maaf, Ara... Aku..."
Air mata Ara seketika menganak sungai. Tubuh Ara gemetar sedangkan bibirnya bergetar mengiringi nafasnya yang memendek. Saka mulai panik.
"Ara? Kamu kenapa?"
Perlahan kedua tangan Ara menutupi kedua telinganya. Bola matanya kini bergerak cepat. Seketika satu teriakan pilu lepas dari mulut Ara, menyayat hati Saka yang tak siap menghadapi guncangan.
...* * * * *...
"Kamu ngapain bawa aku pergi, Vin?!"
Wanita yang ada di seat sebelah Devin menghentakkan kakinya sambil menatap galak pada Devin.
"Harusnya aku yang tanya sama kamu. Ngapain kamu nggak pergi? Ngapain kamu datang lagi?" jawab Devin datar.
"Itu bukan istrinya Saka, kan?"
"Itu bukan urusanmu, Risty Wangsa Sampurna."
Wanita yang dipanggil Risty itu tambah jengkel dengan penolakan Devin.
"Balik ke rumah!" bentak Risty.
"Nggak bisa. Itu sudah bukan rumahmu lagi."
"Aku mau balikan sama Saka!"
Devin tertawa terbahak-bahak.
"Ada apa dengan suamimu, hey?! Kamu bosan lalu ninggalin dia? Sama seperti yang kamu lakukan pada kakakku dulu?! Gila kamu, Ris! Untung kakakku nggak jadi nikah sama kamu! Aku aja nyesel pernah jadi temen kamu. Hubunganku dengan kakakku sudah baik-baik saja. Jadi, berhentilah mengacau."
Risty mendengus lalu memandang jendela mobil sambil menggertakkan rahangnya.
Devin menghentikan mobilnya di depan jejeran gedung penuh gemerlap lampu.
"Turun."
"Kamu beneran gila, Vin! Seenaknya naruh orang di sembarang tempat! Mobilku masih di rumah Saka!"
"Aku balikin kamu ke tempat di mana kamu sering ketemuan sama suamimu loh. Nggak inget? Bukankah aku masih baik hati? Oh ya, itu bukan mobilmu bai de wei. Itu mobil kakakku yang kamu ambil paksa. Baguslah kalau kamu anterin balik ke pemiliknya. Sekarang turunlah."
Risty menyilakan rambut pendeknya sambil mendengus kasar. Dia membuka pintu mobil lalu menutupnya dengan sekali banting.
Seiring dengan perginya Devin, sorot mata Risty semakin menyala merah penuh amarah.
"Apa yang aku inginkan, harus jadi milikku! Tunggu saja."