Malam itu, kabut tebal menyelimuti sebuah desa terpencil di lereng gunung.
Suara angin berdesir membawa hawa dingin yang menusuk tulang.
Di tengah sunyi, langkah empat orang terlihat menuju sebuah bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan.
Nur, seorang editor sekaligus kameraman, mengangkat kameranya, siap menangkap setiap detik keangkeran yang tersembunyi di balik bayang-bayang.
Di sampingnya, Pujo, pria dengan kemampuan supranatural, merasakan getaran aneh sejak pertama kali mereka menjejakkan kaki di tempat itu.
"Ini bukan tempat biasa," gumamnya dengan nada serius.
Ustad Eddy, seorang religius dan spiritualis, melangkah mantap dengan tasbih di tangannya, siap mengusir kegelapan dengan doa-doanya.
Sementara Tri, yang dikenal sebagai mediator, berdiri di antara mereka, mempersiapkan dirinya untuk berhadapan dengan entitas dari dunia lain.
Mereka bukan sekadar pemburu tempat angker, tetapi penjelajah alam gaib yang menyuguhkan kisah-kisah misteri dan horor yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYANG DIUJUNG JALAN 3
Setelah meninggalkan rumah tua yang dihuni genderuwo, keempat sahabat itu berjalan menuju pohon besar yang terletak di ujung desa. Udara semakin dingin, kabut semakin tebal, dan suara angin semakin tajam menghantam mereka, seolah menambah ketegangan di tengah malam yang sunyi. Di tengah langkah mereka yang perlahan, percakapan ringan tapi penuh makna pun mulai mengalir di antara mereka.
“Nih, pohon besar itu kelihatan samar-samar dari sini,” bisik Tri, matanya menatap jauh ke depan.
Nur menghela napas berat. "Apa kalian tidak merasa ini semakin aneh? Kita baru saja berbicara dengan genderuwo, dan sekarang kita menuju tempat yang dia katakan... Apakah kita bisa benar-benar percaya?"
Pujo menatap Nur sekilas, lalu menundukkan kepalanya, berpikir. "Percaya atau tidak, kita tak punya banyak pilihan. Makhluk seperti genderuwo biasanya punya tujuan sendiri. Mereka tak akan repot-repot berbicara jika tak ada sesuatu yang penting."
Tri menoleh ke arah Ustad Eddy. “Bagaimana menurut Ustad? Apakah menurut Anda kita sedang dijebak?”
Ustad Eddy, yang sejak tadi berjalan dengan tasbih di tangannya, merenung sejenak sebelum menjawab. "Segala sesuatu bisa saja jebakan, Tri. Tapi terkadang, ada kekuatan yang lebih besar dari sekadar permainan makhluk halus. Mungkin, genderuwo itu memang sedang menjaga sesuatu, atau mungkin dia takut pada sesuatu yang lebih besar dari dirinya."
Nur mengernyitkan dahi. "Sesuatu yang lebih besar dari genderuwo? Apakah itu mungkin?"
Pujo memotong. "Nur, jangan lupa, di dunia ini banyak yang tidak kita ketahui. Genderuwo hanya salah satu dari makhluk yang menghuni dunia gaib. Di luar sana, ada makhluk lain yang jauh lebih kuat dan berbahaya."
"Kamu bicara tentang apa? Buto Ijo? Tuyul?" Tri tertawa kecil, mencoba menghilangkan ketegangan.
"Tidak. Lebih dari itu," kata Pujo sambil menatap lurus ke depan. "Ada kekuatan kuno, yang bahkan kita sebagai manusia tidak bisa sepenuhnya pahami. Aku tidak ingin menakut-nakuti kalian, tapi kita harus bersiap menghadapi apa pun."
Nur bergidik, meskipun ia mencoba tetap tenang. "Maksudmu, sesuatu seperti ilmu hitam atau pesugihan?"
Pujo mengangguk. "Ya, sesuatu seperti itu. Ilmu kanuragan, ilmu gaib yang diwariskan turun-temurun. Ilmu ini tak hanya memanggil makhluk halus, tapi juga memberikan kekuatan besar kepada pemiliknya. Salah satu yang paling menakutkan adalah pesugihan. Buto Ijo, misalnya, adalah salah satu dari entitas yang biasa dipanggil untuk memperkaya diri dengan cara yang tidak wajar."
Ustad Eddy memandang ke arah langit yang gelap. "Tapi harga yang dibayar selalu besar. Jiwa manusia akan ditukar dengan kekayaan dunia. Itu yang membuat pesugihan begitu mengerikan. Dan biasanya, pohon besar seperti yang kita tuju seringkali menjadi tempat bertapa bagi mereka yang mencari kekayaan dengan cara ini."
Nur berhenti sejenak, tatapannya penuh rasa takut. "Jadi kita mungkin sedang berjalan ke tempat di mana orang-orang melakukan ritual pesugihan?"
"Betul," kata Pujo tegas. "Dan itu bukan hal yang main-main. Mereka yang terlibat dalam pesugihan ini terikat perjanjian dengan makhluk gaib, baik itu buto ijo, tuyul, atau makhluk lain. Jika perjanjian itu dilanggar, maka kematian yang mengerikan menanti."
Tri menggelengkan kepalanya. "Aku pernah dengar cerita tentang itu. Orang-orang kaya mendadak, tapi kemudian keluarga mereka dihantui, bahkan sampai mati misterius. Semua orang di desa selalu bilang itu akibat dari pesugihan. Apakah cerita-cerita itu benar?"
"Benar," jawab Pujo tanpa ragu. "Banyak orang tidak menyadari risiko yang mereka ambil. Mereka hanya melihat harta dan kekayaan yang bisa diperoleh, tanpa memikirkan akibatnya. Itu sebabnya, buto ijo, tuyul, dan makhluk-makhluk seperti itu sering muncul di desa-desa. Mereka adalah alat bagi manusia serakah yang ingin mendapatkan kekayaan secara instan."
Ustad Eddy berhenti sejenak, melihat ke arah pohon besar yang kini semakin dekat. "Itulah sebabnya kita harus berhati-hati. Ada alasan mengapa tempat ini ditinggalkan. Mungkin karena orang-orang di sini dulu pernah terlibat dalam sesuatu yang tidak seharusnya."
Mereka semua diam untuk sesaat, meresapi suasana yang semakin mencekam. Kabut semakin tebal, dan bayangan pohon besar itu kini terlihat jelas di hadapan mereka.
"Baiklah, kita sudah sampai," kata Pujo, suaranya rendah dan serius. "Apapun yang terjadi, jangan panik. Tetap tenang, dan ingat, kita di sini untuk mencari jawaban."
Nur mengangkat kameranya lagi, bersiap merekam apa pun yang mungkin terjadi. "Siap. Aku akan merekam semuanya."
Tri menatap pohon itu dengan mata tajam. "Apa langkah kita selanjutnya, Pujo?"
Pujo mendekati pohon besar itu, tangannya menyentuh kulit kayu yang kasar. "Kita perlu berkomunikasi lagi. Kali ini, mungkin makhluk yang lebih kuat dari genderuwo. Sesuatu yang sudah lama berdiam di sini, yang terkait dengan ritual pesugihan yang kita bicarakan tadi."
"Apakah aman?" tanya Nur, cemas.
"Tak ada yang benar-benar aman dalam hal ini," jawab Ustad Eddy sambil mengelus tasbihnya. "Tapi dengan doa dan niat baik, kita akan dilindungi. Kita di sini bukan untuk mencari masalah, tapi untuk mencari kebenaran."
Tri menghela napas panjang. "Baiklah. Aku siap."
Mereka berdiri mengelilingi pohon besar itu, sementara Pujo mulai menggumamkan mantra. Angin tiba-tiba berhenti, dan keheningan mencekam melingkupi mereka. Detak jantung mereka semakin cepat, merasakan sesuatu yang tak kasat mata mulai bangkit dari dalam tanah.
Tiba-tiba, sebuah suara bergemuruh dari arah pohon. "Siapa yang berani mengusik tempat ini?"
Nur terlonjak kaget, tapi dia tetap menjaga kameranya tetap stabil. "Pujo, itu—"
"Sst, diam," bisik Pujo. "Biarkan aku bicara."
Pujo berdiri tegak, menatap ke arah pohon yang kini seolah bergerak perlahan, seakan makhluk besar sedang bersembunyi di baliknya. "Kami datang bukan untuk mengganggu. Kami hanya ingin tahu, siapa yang menjaga tempat ini? Apakah ini tempat pesugihan?"
Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras. "Pesugihan... orang-orang bodoh yang menyerahkan jiwanya untuk harta dunia. Mereka datang ke sini, memanggilku, tapi mereka tidak pernah siap membayar harga yang seharusnya."
Nur semakin ketakutan, tapi dia terus merekam. "Apakah kita sedang berbicara dengan... buto ijo?"
Pujo mengangguk pelan. "Mungkin, atau mungkin juga makhluk lain yang lebih tua dari buto ijo. Apa pun itu, dia tidak senang dengan kehadiran kita."
Tri melangkah maju, suaranya tenang meskipun tubuhnya bergetar. "Kami tidak datang untuk mengambil apa-apa. Kami hanya ingin tahu apa yang terjadi di sini, dan bagaimana kami bisa membantu menghentikan kegelapan ini."
Tiba-tiba, suara tawa keras memenuhi udara. "Menghentikan? Kalian manusia sombong selalu berpikir bisa menghentikan sesuatu yang sudah berjalan selama berabad-abad. Kalian hanya akan menjadi mangsa berikutnya."
Pujo mengangkat tangan, mencoba menenangkan makhluk itu. "Kami tidak akan melawanmu. Kami hanya ingin tahu. Siapa yang melakukan pesugihan di tempat ini? Dan bagaimana kami bisa menghentikan dampaknya?"
Suara itu terdiam sejenak, lalu berkata, "Pergi ke rumah tua di dekat sini. Di sanalah semua dimulai. Temukan artefaknya... dan kalian akan tahu siapa yang harus kalian hadapi."
Dengan itu, suara itu menghilang, dan Keheningan kembali mencekam setelah suara misterius itu menghilang. Keempat sahabat itu saling berpandangan, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka dengar.
Tri akhirnya memecah keheningan. “Rumah tua? Bukankah kita baru saja melewati rumah tua yang dikatakan genderuwo tadi?”
Pujo mengangguk perlahan, matanya penuh kewaspadaan. "Mungkin itulah yang dimaksud. Kalau benar, kita harus segera ke sana. Semakin lama kita di sini, semakin besar risikonya."
Ustad Eddy meremas tasbih di tangannya. "Jika ini terkait dengan pesugihan, mungkin ada kekuatan hitam yang menjaga artefak itu. Kita harus sangat hati-hati. Ritual seperti ini biasanya dilindungi oleh makhluk yang jauh lebih kuat."
Nur, yang masih memegang kameranya, menggigit bibirnya. "Aku tidak suka ini... Tapi jika kita bisa mendapatkan bukti nyata tentang pesugihan itu, video ini akan menggemparkan semua orang."
"Jangan terlalu fokus pada videonya, Nur," kata Pujo dengan suara rendah tapi tegas. "Ingat, ini bukan sekadar konten untuk YouTube. Kita berurusan dengan sesuatu yang jauh lebih berbahaya."
Mereka mulai bergerak menuju arah rumah tua yang disebutkan oleh suara itu. Jalan setapak yang mereka lalui semakin gelap, diselimuti kabut yang tebal. Setiap langkah terasa berat, seolah ada kekuatan yang mencoba menghalangi mereka.
Tri mencoba untuk memecahkan suasana dengan berbicara, "Kalian tahu, aku pernah dengar tentang sebuah legenda di desa ini. Konon, seorang dukun sakti di masa lalu menjalin perjanjian dengan buto ijo untuk memberikan kekayaan bagi warga desa. Tapi setelah beberapa waktu, seluruh keluarga dukun itu mati dengan cara yang mengerikan."
"Perjanjian yang dilanggar," sahut Ustad Eddy. "Karma dari pesugihan selalu menuntut nyawa sebagai bayarannya. Makhluk-makhluk itu tak peduli siapa yang harus mereka ambil, yang penting mereka mendapat apa yang dijanjikan."
Nur menarik napas dalam-dalam. "Aku benar-benar merinding mendengar itu."
Mereka akhirnya tiba di depan rumah tua. Bangunan itu tampak lebih menyeramkan daripada yang mereka ingat. Dindingnya retak, atapnya hampir roboh, dan jendela-jendelanya tertutup debu tebal. Sebuah aura gelap menyelimuti tempat itu, membuat bulu kuduk mereka berdiri.
"Siap-siap," kata Pujo sambil memegang tongkat kayunya lebih erat. "Apa pun yang kita hadapi di dalam, kita harus tetap bersama dan jangan terpisah."
Dengan hati-hati, mereka masuk ke dalam rumah tua itu. Langit-langitnya rendah dan gelap, dengan sarang laba-laba tebal yang menggantung di setiap sudut. Bau lembap dan debu menyeruak, membuat mereka mual.
Tri, yang berada di depan, tiba-tiba berhenti. "Lihat itu," bisiknya sambil menunjuk ke arah lantai.
Di tengah ruangan, ada sebuah lingkaran yang diukir di atas lantai kayu yang tua. Di dalam lingkaran itu, ada simbol-simbol aneh yang tidak bisa mereka pahami. Namun, satu hal yang jelas: ini bukanlah lingkaran biasa.
"Ini simbol-simbol pesugihan," kata Ustad Eddy, suaranya penuh kekhawatiran. "Lingkaran ini digunakan untuk memanggil makhluk gaib dan melakukan perjanjian."
Pujo berjongkok, memeriksa lingkaran itu dengan seksama. "Ada bekas darah di sini. Ritual ini baru saja dilakukan."
Nur menelan ludah. "Baru saja? Berarti ada seseorang yang masih melakukan pesugihan di sini?"
Pujo berdiri dan mengangguk. "Ya. Dan kemungkinan besar mereka masih berada di sekitar sini."
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari lantai atas. Keempatnya langsung membeku, tatapan mereka beralih ke tangga yang gelap di sudut ruangan.
"Siap-siap," bisik Pujo.
Langkah-langkah itu semakin mendekat, membuat lantai kayu berderit dengan keras. Muncul bayangan dari atas tangga, perlahan-lahan mendekat ke arah mereka. Mereka bisa melihat sosok hitam besar dengan mata merah menyala. Sosok itu berhenti sejenak, lalu mengeluarkan suara tawa yang menakutkan.
"Itu... buto ijo," bisik Tri, wajahnya pucat pasi.
---