Istri mana yang tidak bahagia bila suaminya naik jabatan. Yang semula hidup pas-pasan, tiba-tiba memiliki segalanya. Namun, itu semua tidak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang akhirnya mengangkat derajat keluarga nyatanya justru melenyapkan kebahagiaan Jihan.
Suami yang setia akhirnya mendua, ibu mertua yang penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya.
Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula Fahmi hadir kembali bersamaan dengan wanita masa lalu Aidan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10~ KITA PERGI AJA, BUNDA
"Sekarang Dafa istirahat ya, Nak. Ibu keluar dulu," Jihan menarik selimut menutupi tubuh putranya, mencium kening lalu segera keluar dari kamar Dafa untuk mencari keberadaan suaminya.
"Loh, kok gak ada. Mas Fahmi dimana ya?" Gumam Jihan begitu masuk ke kamarnya dan tak mendapati keberadaan suaminya.
Ia pun segera keluar kamar, barangkali Fahmi berada di ruang tengah, pikirnya. Namun, ia juga tak mendapati keberadaan suaminya di tempat tersebut.
Melihat ibu mertuanya menuju dapur, ia pun segera menyusul. "Bu, Mas Fahmi sudah pulang, tapi kok gak ada di kamar?" Tanyanya.
"Di kamar Windi," jawab bu Neny tanpa menghentikan langkahnya. Ia terus berjalan kearah dapur.
Jihan mematung, dalam sekejap kedua matanya berkaca-kaca. Bibirnya tersenyum getir, bahkan sekarang kamarnya bukanlah lagi tumpuan bagi Fahmi. Suaminya itu lebih memilih menyambangi kamar madunya bahkan disaat pemiliknya sedang tak berada di rumah.
Dengan gontai, ia pun berjalan menuju kamar Windi. Cukup lama ia mengetuk hingga akhirnya pintu itu terbuka.
"Mas... ." Ucapan Jihan terpotong, ekspresi wajahnya seketika berubah begitu melihat siapa yang membuka pintu kamar.
"Apaan sih, Mbak? Gangguin orang aja!" Sentak Windi.
"Windi, kamu sudah pulang, ini kan belum jam pulang kerja?" Tanya Jihan sembari memperhatikan penampilan adik madunya itu. Rambutnya yang tergerai sedikit berjarak dan hanya mengenakan bathrobe pendek.
"Mas Fahmi kan Managernya, yah jadi aku bisa izin kapan aja!"
Jihan hanya menanggapinya dengan anggukan pelan, ia sama sekali tidak mengerti bagaimana dunia perkantoran. "Aku mau ketemu sama Mas Fahmi." Ujarnya kemudian.
"Nanti aja, Mbak. Mas Fahmi capek baru pulang dari luar kota, Mbak harusnya ngertiin dong!"
"Sebentar aja Windi, aku harus ngomong sama Mas Fahmi." Jihan tetap kekeuh ingin bertemu suaminya. Ada banyak hal yang harus ia tanyakan, salah satunya kenapa lagi-lagi tidak mengabarinya jika sudah pulang dari luar kota. Dan ia juga ingin memberitahu tentang putra mereka yang sedang sakit.
"Ada apa ini ribut-ribut?" Tanya Fahmi yang tiba-tiba saja telah berada dibelakang Windi.
Jihan membuang pandangannya sejenak begitu melihat suaminya hanya mengenakan handuk menutupi sebagian tubuhnya. Kini ia paham kenapa Windi juga hanya mengenakan bathrobe, seketika saja dadanya terasa sesak membayangkan apa yang telah mereka lakukan.
"Mas, kenapa nomor Mas Fahmi tidak bisa dihubungi? Dan sekarang pulang pun juga tidak mengabari aku?"
"Aku mau keluar kota aja gak bilang sama kamu, kenapa aku pulang pun harus mengabari kamu juga? Cuma basa-basi aja, tahu nggak!" Tukas Fahmi.
Refleks, kedua mata Jihan terpejam mendengar kalimat sarkas itu. Ia menghela nafas panjang lalu kembali menatap suaminya, "Mas, Dafa demam."
"Hem, Ibu sudah bilang tadi."
Jihan terperangah, "Mas sudah tahu tapi gak langsung nyusulin ke rumah sakit?"
"Kamu ngerti gak sih kalau aku tuh capek, baru pulang dari luar kota! Kan sudah ada kamu, ngapain lagi aku harus nyusul ke rumah sakit. Lagipula sudah ada yang temenin kamu kan, di rumah sakit? Ibu juga bilang kalau kamu perginya sama Adi tetangga kita. Mau cari perhatian kamu sama dia, huh!"
"Astagfirullah, Mas." Jihan mengelus dada, "Kenapa Mas bisa berpikiran seperti itu? Mas Adi cuma ngasih tumpangan ke rumah sakit dan langsung pergi tanpa ikut masuk ke rumah sakit."
"Halah, memangnya siapa yang lihat? Awas aja ya kalau kamu berani macam-macam dibelakang aku, aku bakal buat perhitungan yang gak akan pernah kamu duga!" Fahmi menunjuk tepat didepan wajah Jihan, sorot matanya begitu tajam penuh peringatan.
"Aku gak akan pernah seperti Mas Fahmi yang tega dan dengan tanpa perasaan mengkhianati janji suci pernikahan kita. Kalaupun aku ada niat selingkuh dibelakang Mas Fahmi, aku akan cari pria yang lajang dan bukan suami orang." Balas Jihan. Sekilas melirik Windi yang raut wajahnya langsung berubah cemberut karena merasa tersindir.
"Udah berani ya kamu!" Fahmi hendak maju, namun Windi segera menahan lengannya.
"Udah, Mas, gak usah diladeni. Lebih baik Mas Fahmi istirahat. Pasti capek banget kan, habis perjalanan jauh dan baru sampai rumah langsung minta jatah." Ucap Windi, tersenyum penuh kemenangan melirik Jihan. Ia bergelayut mesra di lengan Fahmi, ingin menunjukkan bahwa dirinyalah yang kini lebih diprioritaskan oleh Fahmi.
"Lihat Jihan, bisa gak sih kamu itu pengertian seperti Windi? Bisanya cuma bikin kesel aja!" Setelah mengatakan itu, Fahmi pun menarik pinggang Windi lalu menutup pintu kamar.
"Ya Allah, kuatkan hamba." Jihan mengusap dadanya, menengadahkan wajahnya ke atas agar air matanya tak jatuh. Ia kemudian berbalik hendak pergi dari sana, namun langkahnya tertahan begitu melihat Dafa ternyata telah berada tak jauh dibelakangnya.
"Dafa, ya Allah, Nak. Kenapa kok ke sini, kan tadi Bunda suruh istirahat?" Jihan segera menghampiri dan bersimpuh di depan putranya itu. Mengusap kening dan wajah memeriksa suhu tubuhnya, dan bersyukur demamnya benar-benar sudah reda. Tinggal pemulihan tubuhnya saja yang masih lemah.
"Bunda, Ayah udah gak sayang lagi ya sama kita?"
"Dafa, kok ngomong gitu, Nak. Ayah sayang kok sama kita." Jihan tersenyum agar lebih meyakinkan putranya.
"Tapi, kenapa tadi Ayah marah-marahin Bunda? Dafa lihat Ayah nunjuk nunjuk Bunda tadi,"
Jihan tertegun sejenak, rupanya Dafa melihat perdebatannya tadi. "Dafa sudah salah paham, tadi itu gak seperti apa yang Dafa lihat kok. Ayah cuma bilang gak sempat nyusul ke rumah sakit karena capek baru pulang dari luar kota. Jadi sekarang, biarin Ayah istirahat dulu ya, Dafa juga harusnya istirahat kan biar cepat sembuh. Yuk, ke kamar?"
Dafa tak langsung mengangguk, ia mengalihkan pandangannya kearah pintu kamar dimana ayahnya berada bersama ibu tirinya. "Sekarang Ayah lebih sayang sama Tante Windi. Kalau Ayah udah gak sayang sama kita lagi, lebih baik kita pergi aja dari sini, Bunda." Dafa menatap sang bunda dengan mata sendu. Ia memang masih kecil, tapi ia memiliki kepekaan atas sikap seseorang. Dan ia merasakan perubahan sikap ayahnya.
hadech mama Kiara jangan galak2 dong bisa jantungan itu si Jihan papa Denis berasa Dejavu g tu anaknya mau mepet janda 🤭🤭🤭
ayo om dokter Pepet terus jangan kasih kendor dah pasti dibantuin nyomblangin kok ama bang Rian n Nayra 🤭🤭🤭