Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Sebuah Kesalahan
Malam itu, Aira tak bisa tidur. Hatinya gelisah, pikirannya kacau. Pikirannya terus mengembara ke semua percakapannya dengan Beni, Adrian, dan Raka. Apakah memberi Beni kesempatan kedua adalah kesalahan? Apakah ia sedang membohongi dirinya sendiri dengan berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja?
Di tengah malam yang sunyi, ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
"Jangan pikir semuanya akan baik-baik saja hanya karena kau memaafkan. Kau akan menyesal, Aira."
Aira terhenyak. Kata-kata itu terasa seperti ancaman, tapi ia tak tahu dari siapa atau apa maksudnya. Sebuah perasaan aneh menyelinap, membuatnya merasa tak aman. Ia mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi pesan itu terus terngiang dalam pikirannya.
Keesokan harinya, di sekolah, suasana hati Aira tampak tak tenang. Adrian, yang melihatnya dari kejauhan, langsung menghampirinya dengan tatapan penuh kekhawatiran.
"Aira, kamu baik-baik saja?" tanya Adrian, menepuk bahu Aira dengan lembut.
Aira tersenyum tipis, tapi senyumnya tak bisa menyembunyikan kecemasan yang tampak jelas di matanya. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah."
Namun, Adrian tahu bahwa ada yang disembunyikan Aira. Ia mengenal Aira lebih baik dari siapa pun. "Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, aku selalu ada di sini, Aira."
Aira ragu sejenak, tapi akhirnya memutuskan untuk jujur. "Sebenarnya, aku mendapat pesan aneh tadi malam. Pesannya mengancam, dan aku merasa tidak nyaman."
Adrian mengernyitkan dahi, mencoba mencerna informasi itu. "Pesan? Dari siapa?"
"Aku tidak tahu," jawab Aira dengan nada putus asa. "Nomor tak dikenal. Pesannya hanya... membuatku merasa ada yang tidak beres."
Adrian terdiam sejenak, tampak berpikir keras. "Aira, apa kamu yakin ini ada hubungannya dengan keputusanmu memberi Beni kesempatan kedua?"
Aira menunduk, merasa bimbang. "Entahlah, Adrian. Aku sendiri masih ragu apakah aku membuat keputusan yang benar. Mungkin aku terlalu berharap bahwa orang bisa berubah."
Di tengah percakapan mereka, Beni tiba-tiba muncul dan menatap Aira dengan wajah bersalah. Ia tampak lelah, seperti seseorang yang memikul beban berat.
"Aira, bolehkah kita bicara sebentar?" pintanya dengan suara rendah.
Adrian langsung memandang Beni dengan tatapan tajam, tapi Aira mengangguk, mencoba memberikan ruang untuk Beni. Mereka berdua berjalan ke tempat yang lebih sepi, meninggalkan Adrian yang masih cemas.
"Ada apa, Beni?" tanya Aira, mencoba menjaga jarak emosional meskipun hatinya sedikit goyah.
Beni menghela napas panjang, matanya tampak sayu. "Aku hanya ingin jujur kepadamu, Aira. Mungkin... mungkin aku tidak pantas mendapatkan kesempatan ini."
Aira menatapnya dengan heran. "Apa maksudmu? Kenapa kamu tiba-tiba mengatakan hal seperti ini?"
"Aku... aku membuat kesalahan besar, Aira," jawab Beni dengan nada penuh penyesalan. "Kesalahan yang mungkin tak bisa dimaafkan. Dan aku takut kau akan terluka lebih dalam jika kau tahu semuanya."
Aira merasakan jantungnya berdegup kencang, seolah ada sesuatu yang besar yang akan terungkap. "Beni, apa sebenarnya yang kamu sembunyikan dariku?"
Beni menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya dengan rasa bersalah. "Ada sesuatu yang kulakukan... sesuatu yang mungkin tidak akan pernah bisa kau maafkan."
Saat itu, Aira merasakan keheningan yang mencekam, seolah waktu berhenti. Ia tak tahu apa yang dimaksud Beni, tapi kata-katanya cukup untuk membuat hatinya gemetar.
"Katakan, Beni. Aku berhak tahu," desaknya, mencoba mengendalikan emosinya.
Beni menelan ludah, wajahnya dipenuhi rasa takut dan penyesalan. "Aku... aku yang mengirim pesan itu. Pesan ancaman tadi malam. Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya, mungkin karena rasa takut kehilanganmu. Tapi aku tak bermaksud menyakitimu."
Aira terkejut, tak bisa berkata-kata. Rasa sakit dan kekecewaan bercampur aduk dalam dirinya. "Kau... kau yang mengirim pesan itu? Kenapa, Beni? Apa kamu pikir ini lelucon?"
Beni menggeleng, wajahnya penuh penyesalan. "Aku tidak tahu apa yang kupikirkan, Aira. Aku hanya takut kamu akan menjauh lagi dariku, dan aku melakukan hal bodoh ini. Aku tahu aku tak punya alasan, tapi aku hanya berharap kamu mau mengerti."
Aira mundur, seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Beni, ini bukan sekadar kesalahan. Kau bermain dengan perasaanku, membuatku merasa terancam hanya karena ketakutanmu sendiri? Ini benar-benar keterlaluan!"
Beni mencoba mendekatinya, tapi Aira mengangkat tangan, menolak kehadirannya. "Tidak, Beni. Aku tak bisa menerimamu seperti ini. Aku kira kau berubah, tapi ternyata aku salah. Kesempatan kedua ini sudah kau hancurkan sendiri."
"Aira, tolong... beri aku kesempatan lagi. Aku janji, aku akan berubah," ucap Beni dengan suara penuh harap.
Aira menggeleng dengan tegas, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. "Tidak, Beni. Ini sudah berakhir. Kau sendiri yang membuat keputusan ini. Aku tak bisa bersamamu jika kau terus bermain-main dengan perasaan orang lain."
Beni terdiam, tampak putus asa. Ia tahu bahwa permintaan maafnya tak akan cukup untuk memperbaiki semua ini.
Aira berbalik, berjalan pergi meninggalkan Beni dengan hati yang hancur. Di saat itulah, ia menyadari bahwa keputusannya untuk memberikan kesempatan kedua adalah sebuah kesalahan besar. Tapi di balik kekecewaannya, Aira merasa kuat karena telah memilih untuk menghargai dirinya sendiri.
---
Ketika Aira kembali menemui Adrian dan Raka, keduanya segera melihat ekspresi wajah Aira yang penuh luka. Adrian, yang tampak paling khawatir, langsung mendekatinya.
"Aira, ada apa? Apa yang dikatakan Beni?"
Aira tersenyum pahit, mencoba menahan air mata. "Aku... aku baru saja menyadari sesuatu, Adrian. Memberi kesempatan kedua pada orang yang tidak menghargainya adalah kesalahan besar."
Raka, yang biasanya pendiam, tiba-tiba memegang tangan Aira dengan lembut. "Kau tidak sendiri, Aira. Kami di sini untukmu. Jangan merasa bersalah karena mencoba memaafkan."
Aira merasa sedikit tenang mendengar kata-kata Raka, meskipun hatinya masih diliputi kekecewaan.
"Terima kasih, kalian," ucap Aira dengan suara bergetar. "Aku tak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kalian."
Adrian mengangguk, matanya penuh kasih sayang. "Aira, kita semua membuat kesalahan. Yang penting, kau tidak membiarkan dirimu terjebak di dalamnya."
Aira tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. Di balik semua rasa sakit dan kekecewaan yang ia rasakan, Aira sadar bahwa ia harus melangkah maju tanpa melihat ke belakang lagi.
Namun, saat ia pulang malam itu, ia kembali menerima pesan misterius.
"Aku tahu lebih dari yang kau bayangkan, Aira. Kesalahan ini hanya awal dari semuanya."
Aira merasa bulu kuduknya meremang, seolah ancaman ini lebih dari sekadar permainan. Ia menyadari bahwa mungkin kesalahannya telah membuka pintu untuk bahaya yang lebih besar di hidupnya.