Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Masih Mau Disini
Beberapa jam kemudian, suasana di markas itu tiba-tiba berubah ketika terdengar suara teriakan Ricardo dari luar.
Suara berat dan penuh amarah itu menggema di sepanjang lorong, menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya.
Adira dan Heriberto, langsung menegang. Penasaran sekaligus cemas, mereka keluar dari ruangan, mengikuti arah suara menuju tempat Salvatore ditahan.
Ketika Adira dan Heriberto tiba di depan pintu ruangan di mana Salvatore ditahan, pintu itu sudah terbuka lebar.
Dari celahnya, Adira bisa melihat Ricardo berdiri di dalam, penuh dengan amarah yang tampak begitu mengerikan.
Matanya menyala dengan kebencian yang membara, tangan-tangannya terkepal kuat, dan tubuhnya menegang seolah siap meledak kapan saja.
Ricardo berdiri di depan Salvatore, yang terikat, tak berdaya di kursinya.
Ricardo melangkah mendekati Salvatore, amarahnya semakin menggelegak.
Adira bisa merasakan ketegangan di udara, napasnya tertahan saat melihat pria yang selama ini melindunginya begitu marah.
Namun, tiba-tiba Ricardo berhenti dan menoleh ke belakang.
Matanya yang awalnya hanya penuh dengan kemarahan, kini bertemu dengan mata Adira yang penuh ketakutan.
Adira terdiam, tubuhnya sedikit gemetar, tidak terbiasa melihat Ricardo dalam kondisi seperti ini.
Ricardo menatap Adira sejenak, lalu pandangannya tajam beralih ke Heriberto, mengisyaratkan sesuatu tanpa sepatah kata pun.
Heriberto, yang segera memahami isyarat itu, dengan cepat melangkah mendekat dan memegang lengan Adira dengan lembut.
Adira mengikuti Heriberto kembali ke ruangan Ricardo.
Saat mereka berjalan melalui lorong, suara pintu di belakang mereka tertutup. Dalam keheningan yang mendebarkan, tiba-tiba terdengar suara jeritan dari dalam ruangan Salvatore.
Jeritan yang memilukan dan penuh rasa sakit. Adira berhenti sejenak, tubuhnya bergetar mendengar suara itu, tetapi Heriberto dengan lembut mendorongnya untuk terus berjalan.
Sesampainya di ruangan Ricardo, Adira terduduk lemas di sofa dekat jendela dengan perasaan campur aduk memandang kosong ke luar.
Bayangan Ricardo yang penuh amarah dan jeritan Salvatore terus menghantuinya.
Heriberto yang berdiri di sampingnya tiba-tiba mengeluarkan suara berat.
"Kau sebaiknya menyiapkan hati. Sepertinya, kalian akan terpisah selamanya."
Katanya dengan nada serius
Kata-kata Heriberto itu membuat Adira terperanjat. Dia mengangkat kepalanya, menatap wajah Heriberto dengan bingung.
"Apa maksudmu?"
tanyanya, suaranya bergetar, kebingungan dan kekhawatiran terlukis jelas di wajahnya.
"Kejadian ini… semua yang terjadi dengan Salvatore, pasti akan membuat Ricardo tidak menunda-nunda lagi untuk memulangkanmu kembali ke asalmu."
Ia berkata dengan nada pelan, namun tegas.
"Dia pasti tak ingin kau terjebak dalam semua ini, Adira. Dia akan melindungimu dengan cara apapun."
Adira merasa hatinya tercekik. Kenangan indah bersama Ricardo, momen-momen kecil yang penuh kasih sayang, semua tampak berharga.
Melihat Adira yang terkejut membeku Heriberto menggelengkan kepalanya, menatap Adira dengan rasa iba.
"Aku tahu itu mungkin sulit.Tetapi Ricardo memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Dia tidak akan membiarkan kau terlibat lebih jauh dalam dunia yang berbahaya ini."
Adira merasakan air mata menggenang di matanya.
"Tapi… ,"
katanya, berusaha untuk mempertahankan harapan dalam situasi yang gelap ini.
"Dia tidak bisa meninggalkanku begitu saja."
Heriberto menatap Adira dengan penuh cemas.
"Ku harap kau tak terlalu jatuh pada Ricardo. Kalian tak kan mungkin bisa bersama, Karena kalian berdua harus siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya."
Adira merasa hatinya hancur, menyadari betapa rumitnya situasi yang dihadapinya. Dan mencoba memahami betapa sulitnya perpisahan ini, jika itu memang tak terhindarkan.
Ketika Adira masih terbenam dalam pikirannya pintu terbuka dengan keras dan Ricardo masuk ke dalam ruangan.
Aura kemarahan yang menyeliputi dirinya mebuat suasana didalam ruangan menjadi tegang, tanpa ragu dia menarik Heriberto kembali ke pintu dan menghempaskannya, membuat dia terjengkang ke pintu dengan kekuatan yang mengejutkan.
"Heriberto! "
Suara Ricardo menggema, tegas dan mengancam. Dia meremas kerah Heriberto menariknya lebih dekat. Meski tinggi Heriberto beberapa lebih tinggi, Ricardo tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.
"Kau ! cari tau siapa yang ada dibalik semua ini! "
Ucapnya dengan nada menggebu
"Salvatore tak mungkin berani sendiri. Cari informasi nya secepat mungkin kalau kau mau kepercayaan ku kembali! "
Heriberto mengangguk bertekad untuk memenuhi kepercayaan yang diberikan kepadanya.
"Saya akan melakukannya"
Ricardo melepas cengkeramannya, tetapi matanya tetap tajam menatap Heriberto, seolah ingin memastikan bahwa dia bisa mempercayainya.
Heriberto pun permisi keluar tanpa suara.
Adira terdiam, melihat interaksi tersebut dengan cemas .
Ricardo menoleh, matanya yang tajam mulai melembut saat menatap Adira.
"Kau bisa bersiap-siap kembali ke negaramu"
Adira yang kaget, langsung menghampiri Ricardo dengan langkah cepat, matanya penuh kebingungan.
"Bisakah aku tinggal di sini sebentar lagi?"
suaranya penuh permohonan, berharap Ricardo akan berubah pikiran.
Namun, Ricardo hanya mengeraskan rahangnya, menahan emosi yang bergemuruh di dalam dirinya.
"Tak bisa, Adira. Kau harus kembali,"
jawabnya singkat, nada suaranya tak bisa ditawar.
Adira tidak setuju, kepalanya menggeleng pelan, menolak keputusan itu.
Ricardo menarik napas dalam, menjauhi Adira beberapa langkah, punggungnya kaku dan tegang.
“Maaf,”
ucapnya dengan suara yang lebih pelan namun penuh ketegasan.
"Aku egois... membiarkanmu cukup lama di sini."
Adira memohon dengan suara lembut,
"Sebentar saja, Ricardo, aku mau di sini sebentar lagi."
Ricardo yang sejak tadi menahan cemas sepanjang perjalanan dari New York ke Tijuana, mengepal tangannya, berusaha menenangkan diri.
Dia menunduk, tak mampu langsung menatap Adira. Namun, Adira tak berhenti, suaranya penuh harap,
“Aku masih mau di sini, Ricardo.”
Tiba-tiba, Ricardo yang sudah tak kuat menahan perasaannya, mendorong lembut Adira hingga tubuhnya bersandar ke dinding.
Dia mendekat, suaranya rendah namun penuh ketegasan,
"Kau tak bisa lebih lama di sini, Adira."
Matanya menatap lurus ke mata Adira, campuran antara rasa sayang dan kepedihan yang mendalam.
"Kau dalam bahaya,"
lanjutnya dengan suara yang terdengar putus asa, sementara rahangnya semakin mengeras.
“Kan kamu ada di sini sekarang.. ”
kata Adira dengan penuh harapan, menginginkan kehadiran Ricardo untuk memberinya rasa aman.
Ricardo membalas dengan senyuman sinis, nafas hangatnya terasa memburu di kulit wajah Adira, menunjukkan betapa dia menahan diri untuk tidak menyerah pada perasaan yang menggebu.
“Kau tak tahu, Adira,”
katanya, suara Ricardo rendah namun tegas.
“Kau ada dalam dua bahaya. Jika kau terus di sini, kau pasti akan dihabisi oleh musuhku, atau aku sendiri yang pasti akan menghabisimu.”
Adira merasa bingung, tidak sepenuhnya mengerti maksud Ricardo.
Ricardo perlahan mendekat, wajah mereka hampir bersentuhan.
Nafas Ricardo semakin memburu, saat hidung mereka bersentuhan, ia mengeluh,
“Sial.”
Dengan tiba-tiba, Ricardo menarik badannya ke belakang, seolah menjauhkan diri dari godaan yang tak bisa dia kendalikan.
Ricardo berusaha mengontrol nafasnya, tapi tampaknya itu sia-sia.
Dalam keheningan yang membebani, dia membuka pintu dan meninggalkan Adira yang masih kebingungan, jantungnya berdebar kencang.
Adira tidak menyadari betapa dekatnya mereka, dan jika saja dia menyambut Ricardo sedikit lebih awal, mungkin mereka akan berada di tempat yang lebih intim, jauh dari rasa takut dan keraguan yang membayangi.
......................
Ricardo tampak semakin menjauh dari Adira. Sejak saat itu, dia tak pernah memasuki ruangannya lagi.
Hanya ada pelayan yang mengantarkan makanan dan Heriberto yang sesekali masuk untuk mengambil beberapa berkas dari meja kerja Ricardo atau sekedar mengambil baju Ricardo.
Adira merasa hampa dan ditinggalkan.
Dia duduk di dekat jendela, tempat favoritnya dengan pandangan menerawang ke luar.
Sinar bulan yang masuk melalui jendela tampak dingin seperti hatinya.
Dia mengeluh dalam hati, merasa terjebak dalam kesendirian yang menyakitkan.
“Kenapa selalu begini?” gumamnya,
Adira mendengar pintu terbuka, tapi dia tak berniat menoleh ke belakang. Dia tak mau berharap itu Ricardo.
Langkah kaki mendekat, dan tiba-tiba sebuket bunga mawar biru muncul di depan wajahnya
“Maaf,”
kata suara yang dia kenal baik, itu Ricardo.
Adira menoleh perlahan, berusaha untuk tidak luluh oleh mawar itu.
"Kenapa minta maaf?"
tanya Adira dengan nada datar.
“Karena telah membiarkanmu sendirian di sini,”
jawab Ricardo sambil tetap memegang buket mawar di depan wajahnya.
Adira menatap bunga itu dan bertanya dengan nada sedikit tajam,
“Jadi ini sogokan?”
Ricardo, dengan nada yang lebih lembut, berkata,
“Kamu pernah bilang suka warna biru, jadi kupikir kamu akan suka mawar biru.”
Dalam hati, Adira mulai meleleh. Dia terkejut Ricardo ingat warna kesukaannya.
"Mawar biru lagi…Pas banget, aku suka mawar biru. Aduh, Adira, kamu jadi mau ngambek apa nggak, nih?" Gumamnya dalam hati
Ricardo, yang tampak kebingungan karena tak melihat reaksi dari Adira, menambahkan dengan nada ragu,
“Kamu tak suka mawar ?”
(ehemmm/Shhh//Shy/)