Tak pernah terpikirkan sebelumnya jika Aruna harus menikah setelah kehilangan calon suaminya 1 tahun yang lalu. Ia dengan terpaksa menyetujui lamaran dari seorang pria yang ternyata sudah beristri. Entah apapun alasannya, bukan hanya Aruna, namun Aryan sendiri tak menerima akan perjodohan ini. Meski demikian, pernikahan tetap digelar atas restu orang tua kedua pihak dan Istri pertama Aryan.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bertahan lama? Dan alasan apa yang membuat Aruna harus terjebak menjadi Istri kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Trilia Igriss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Pertemuan
"Mas.. nanti aku mau ikut beli keperluan dapur sama Bi Ima." Ujar Aruna meminta izin.
"Iya." Sahut sang suami dengan mengecup kepala Aruna sebelum Ia pergi. Sempat ada pertanyaan berputar di kepala Aruna. Sejak kapan Ia terbiasa dengan kecupan-kecupan yang diberikan suaminya?
"Mas pergi dulu. Kalau bisa, pakai ponsel yang Mas belikan."
"Em... takut rusak, Mas. Gapapa yang ini aja."
"Padahal Mas niat belinya loh. Sebagai permintaan maaf."
"Iya Mas. Nanti aku pakai. Nanti siang sekalian beli kartu buat ponsel yang itu." Menanggapi hal itu, Aryan mengangguk pelan kemudian berlalu meninggalkan Aruna yang masih ingin berada di dalam kamar.
...----------------...
"Alice.. ayo sayang, kita harus check up. Biar Alice tidak sakit lagi." Rahayu terus membujuk Alice yang tak bisa berhenti menangis sejak Adnan berangkat bekerja. Hari ini, hari Alice untuk kembali jadwal check up karena tubuhnya yang kian melemah.
"Tapi Alice mau sama Tante Una ke rumah sakitnya." Rengek Alice. Lagi, Rahayu mendengar nama perempuan yang tak tahu dimana sekarang. Ia sendiri penasaran mengapa kepergiannya terasa misterius, dan seakan Adnan tak bisa menemukannya.
"Iya nanti kita ketemu sama Tante ya."
"Janji ya Oma..." Rahayu tak menjawab, Ia hanya tersenyum berharap ini hanya sebuah bujukan tanpa hasil. Meski sebenarnya Ia juga ingin bertemu dengan Aruna dan mempertanyakan mengapa tiba-tiba menghilang.
...----------------...
"Bu... kata Pak Aryan, jangan makan pedas dulu." Tegur Bi Ima saat majikannya dengan santai memasukkan beberapa makanan pedas ke dalam trolly.
"Tapi aku mau Bi. Sepertinya ini enak."
"Lambung Ibu nanti sakit lagi."
"Enggak Bi. Ini sudah sembuh." Bi Ima yang mendengar majikannya yang keras kepala ini pun hanya bisa menghela nafas dalam. Ia harus mempersiapkan diri jika nanti Aryan akan memarahinya.
"Nanti sebelum pulang kita makan dulu di tempat makan yang dekat rumah sakit ya. Aku mau ayam goreng sambal ijo nya." Ujar Aruna selanjutnya. Bi Ima tak menolak, Ia menurut saja dengan setiap ajakan Aruna. Asal jangan menyeretnya ke dalam masalah besar saja. Untuk makan pedas mungkin Ia bisa mencari alasan pada Aryan nantinya. Dan, Bi Ima mulai merasa heran, mengapa akhir-akhir ini Aruna tak kapok memakan makanan pedas padahal efeknya selalu kambuh. Apa lambungnya memang sudah sangat parah? Pikir Bi Ima menerka apa yang mungkin terjadi pada Aruna.
"Bu... kalau lambung Ibu tidak kuat pedas. Tolong jangan dulu ya Bu. Saya khawatir lambung Ibu semakin parah." Tegurnya lagi. Memang raut wajah khawatirnya bukan rekayasa atau kepura-puraan, namun Aruna merasa jika Bi Ima terlalu berlebihan.
"Bibi tenang saja. Aku bisa nguatin lambung aku Bi." Baru saja Ia selesai bicara, bagian perut atasnya terasa ada yang ingin keluar, alhasil Ia menutup bagian mulut lalu mencari toilet. Tanpa bicara, Ia berlari meninggalkan Bi Ima yang kebingungan bercampur panik. Langkahnya semakin cepat mengejar Aruna yang sudah menghilang memasuki toilet area di sana.
"Kenapa mual terus ya? Apa lambung aku udah bener-bener parah? Smpai-sampai makan pedas sedikit aja langsung kambuh gini." Batin Aruna setelah Ia selesai dan menatap dirinya dibalik pantulan cermin. Ia mulai merasa lelah dengan kondisinya akhir-akhir ini. Sempat ada terpikir ingin memeriksakan tubuhnya, namun niat itu pudar kala mengingat wajah Adnan yang sangat membahayakan melebihi penyakit lambungnya. "Enggak. Aku kuat! Kalau ke klinik atau rumah sakit, aku gak bisa hadapin kalau nantinya ketemu sama Mas Adnan." Batinnya lagi.
Lama Bi Ima menunggu dengan gelisah, akhirnya Ia dapat menghela nafas lega kala Aruna datang dengan lesu. Dengan penug kekhawatiran, Bi Ima meraih Aruna layaknya ibu dan anak.
"Aku gapapa Bi." Ujar Aruna meyakinkan.
"Saya Khawatir Bu. Soalnya beberapa hari ini Ibu bolak-balik kamar mandi terus. Saya takut lambung Ibu makin parah." Mendengar hal itu, Aruna tersenyum lalu mengajak Bi Ima untuk melanjutkan acara belanja mereka.
...----------------...
"Tantenya dimana Oma?" Lagi, Alice merengek mempertayakan hal yang sama dan jelas tak bisa Rahayu jawab asal.
"Nanti ya... kita makan dulu. Terus nanti kita ketemuan sama Tante." Sahut Rahayu memberi alasan seraya membujuk agar cucu semata wayangnya bisa Ia ajak untuk mengisi perutnya.
Entah kebetulan yang memang berpihak pada Alice, gadis kecil itu berlari melepaskan genggaman tangan Rahayu yang sontak terkejut lalu spontan mengejar Alice. Terlihat pula anak itu tiba-tiba memeluk seorang wanita tepat di depan sebuah tempat makan yang tak jauh dari jalan raya. Rahayu bergumam untuk menyesali keteledorannya karena Alice lagi-lagi bersikap seperti dulu. Dimana Ia selalu menghampiri wanita dewasa lalu melamarnya untuk menjadi ibunya. Dan ketakutan jika Alice berlari ke arah jalan dan mobil yang berlalu-lalang mungkin akan membuatnya terpental jika terjadi.
"Tante...." rengek Alice mulai menangis keras bersmaan dengan genggaman tangannya yang kuat. Tubuh wanita itu membeku akan pelukan erat dari sosok anak kecil yang jelas tengah Ia hindari. Hampir 2 bulan Ia tidak memberi kabar apapun dan tidak menampakkan dirinya sedikitpun pada Alice, mengapa hari ini harus bertemu.
"Aruna..." lirih Rahayu kala menyadari jika wanita dalam pelukan cucunya itu memang Aruna. Pandangan Aruna begitu sendu ketika Ia melirik ke arah Rahayu.
"I-Ibu...." tak kuasa Aruna berucap, Ia merasa jika lidahnya mendadak kelu. Segera Ia mencium tangan wanita tua tersebut dengan berlinang air mata karena dirasa sudah membuatnya kecewa. "Maaf Bu..." lirihnya kemudian. Entah maaf untuk apa, yang jelas Aruna merasa jika Ia terlalu bersalah pada Rahayu dan Alice.
"Kemana saja kamu nak? Alice setiap hari nunggu kamu." Ujar Rahayu membuat Aruna menunduk lalu berjongkok untuk membalas pelukan Alice yang menangis semakin keras. Kerinduan anak itu terbayar tuntas hari ini, namun tidak dengan Aruna yang mendadak ketakutan jika sampai Aryan tahu bahwa Ia bertemu dengan anak dari lelaki yang dicemburui Aryan. Ditengah pertemuan haru Aruna dan Alice, Rahayu sengaja mengirimkan kabar ini pada Adnan yang tengah bekerja.
Mata teduh itu membulat sempurna kala membuka pesan dari sang Ibu. Adnan yang akan memasuki ruangan pasien pun berbalik dan berlalu begitu saja.
"Maaf aku harus pergi. Ini darurat." Ucapnya ketika seorang perawat hendak menghentikan langkahnya. Memang masih ada dokter lain, namun bukankah ini sama saja dengan lari dari tanggung jawab? Meski demikian, karena bersembunyi di balik kata darurat, tak ada yang berani menghentikannya.
"Aruna... akhirnya kau menampakkan dirimu juga." Batinnya terus pada tujuannya.
...----------------...
Adnan menepikan mobilnya di sebuah tempat makan yang dimaksud Ibunya. Dengan masih mengenakan stelan kerja berupa snelli lengkap dengan stetoskop yang masih ada di saku snelli. Dengan tiba-tiba, Adnan meraih kedua bahu turun ke lengan Aruna dan mencengkram keras dengan tatapan lebih tajam.
"Kemana saja kamu Aruna?" Tanyanya dengan tegas. Aruna yang mendapati perlakuan kasar dari Adnan 0un hanya terdiam membeku dengan tubuh yang mulai gemetaran. "Jawab Aruna!" Tegasnya lagi. Bukannya menjawab, Aruna malah menitikkan air mata karena ketakutan. Tak sadar, semua orang yang stay ataupun yang melewati mereka memusatkan pandangan ke arah mereka berdua.
"Dokter, maaf majikan saya ketakutan" tegur Bi Ima hendak menjauhkan dokter tampan itu dari majikannya.
"Anda diam! Jangan ikut campur!"
"Mas... lepasin... sakit.." lirih Aruna memohon belas kasihan. Lengannya memang sudah terasa nyeri.
"Papa... lepasin Tante... kasihan sakit." Rengek Alice ikut memohon. Tepat pada saat itu, ponsel Aruna berdering, dan Adnan dengan terpaksa melepaskan genggamannya. Saat Aruna hendak melangkah menjauh, Adnan meraih pergelangan tangan Aruna dan Ia sempat mengernyit kala nadi Aruna tak sengaja Ia sentuh. Namun beberapa detik setelahnya Ia mematung, bahkan tangan Aruna terlepas begitu saja meski Ia tak bergerak sedikitpun. Terlihat Aruna berpamitan pada Ibunya setelah menerima telepon.
"Aruna. Apa kamu sudah menikah?" Tanya Adnan tak mendapat jawaban apa0un dari Aruna yang memilih pergi dari sana.
"Tante... jangan pergi lagi. Alice mau ikut sama Tante." Lagi, Alice kembali tantrum namun Adnan tak bis membiarkan putrinya mengejar Aruna. Ia mengetahui apa yang tidak orang lain ketahui.
"Kalau benar kamu menikah, kenapa kau tak bilang sejak awal?" Batinnya pilu.
...-bersambung...
gimana ya thor aruna dg Adnan
biar nangis darah suami pecundang
masak dak berani lawan
dan aku lebih S7, Aruna dg Adnan drpd dg suami pecundang, suami banci
drpd mkn ati dg Aryan, sbg istri ke 2 pula
berlipat lipat ,
memikiran gk masuk akal sehat..