**Meskipun cerita ini beberapa diantaranya ada berlatar di kota dan daerah yang nyata, namun semua karakter, kejadian, dan cerita dalam buku ini adalah hasil imajinasi penulis. Nama-nama tempat yang digunakan adalah *fiksi* dan tidak berkaitan dengan kejadian nyata.**
Di tengah kepanikan akibat wabah penyakit yang menyerang Desa Batu, Larasati dan Harry, dua anak belia, harus menelan pil pahit kehilangan orang tua dan kampung halaman. Keduanya terpisah dari keluarga saat mengungsi dan terjebak dalam kesendirian di hutan lebat.
Takdir mempertemukan mereka dalam balutan rasa takut dan kehilangan. Saling menguatkan, Larasati dan Harry memutuskan untuk bersama-sama menghadapi masa depan yang tak pasti.
Namun, takdir memiliki rencana besar bagi mereka. Pertemuan mereka bukanlah kebetulan, karena keduanya ditakdirkan untuk memikul tanggung jawab yang jauh lebih besar. Menjadi Penjaga Gerbang Semesta. Dan pelindung dunia dari kehancuran!. Selamat menikmati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ansus tri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Sampah
Tawa menggelegar di aula besar Klan Huang. Setiap tawa seperti tamparan keras di wajah Harry, namun, pria itu berdiri tegak bagai gunung, ekspresinya tak tergoyahkan.
Di matanya yang gelap, seberkas cahaya keemasan melintas, begitu cepat hingga nyaris tak terlihat. “Kalian… boleh tertawa sekarang.” Suara Harry datar, namun setiap kata terasa berat, bergema di aula yang mendadak hening. “Tapi aku bisa pastikan, setelah ini… tak akan ada lagi tawa di Klan Huang.”
Saat kata terakhir terucap, aura mengerikan meledak dari tubuh Harry. Lantai marmer di bawah kakinya retak membentuk jaring laba-laba.
Beberapa anggota Klan Huang yang berdiri di dekatnya terpental mundur, wajah mereka pucat ketakutan. Tekanan Aura membunuh yang luar biasa menyelimuti ruangan, seberat gunung, setajam pisau.
Jenderal Song Huang, yang tadinya tertawa terbahak-bahak, terbatuk keras, wajahnya memerah. Dia menatap Harry dengan tak percaya, “Kau… kau…”
“Seorang Grand Master ?” Han Huang menyelesaikan kalimat Song Huang, suaranya bergetar. Matanya melebar tak percaya, menatap Harry seolah-olah baru saja melihat hantu.
“Tidak mungkin…” gumam Charles, tubuhnya gemetar. “Bagaimana bisa… anak muda sepertimu…” Keheningan
mencengkeram aula. Tawa yang tadinya menggema kini berganti dengan napas penuh takut dari para anggota Klan Huang. Mereka terperangkap dalam aura mengerikan Harry, tak mampu bergerak, tak mampu berbicara.
“Kalian… terlalu meremehkanku.” Suara Harry memecah keheningan, setajam es yang menusuk tulang. “Kalian pikir, kalian bisa seenaknya menghina, mengancam, bahkan berniat membunuhku tanpa konsekuensi?”
Mata Harry menyapu wajah-wajah pucat di hadapannya, menanamkan benih ketakutan yang lebih dalam. “Kalian salah besar. Kalian bermain-main dengan api… dan api ini… akan melahap kalian habis-habisan.”
Han Huang, meski terguncang, mencoba menenangkan dirinya. Sebagai kepala klan, dia tak boleh menunjukkan kelemahan di depan bawahannya.
“Harry,” suaranya tetap terdengar berwibawa, meski ada sedikit getar di dalamnya, “aku akui, kami telah meremehkanmu. Tapi kau juga harus tahu, Klan Huang bukanlah musuh yang mudah ditaklukkan.”
“Oh, benarkah?” Harry mengangkat sebelah alisnya, senyum mengejek terukit di bibirnya. “Kalau begitu, coba tunjukkan padaku… apa yang bisa kalian lakukan.”
Suasana semakin menegangkan. Angin berhembus dari arah Harry, membuat jubah hitamnya berkibar dramatis. Para anggota Klan Huang yang berada di dekatnya mundur selangkah, takut jika pria itu tiba-tiba meledak.
“Berani sekali kau!” teriak Charles, suaranya serak oleh kesedihan dan amarah. Wajahnya yang biasanya keras kini dipenuhi garis-garis kesedihan, air mata mengalir tanpa henti di pipinya. “Kau… kau membunuh putraku! Kau harus membayarnya!”
Tanpa ragu, Charles menerjang Harry. Tinjunya yang terkepal erat terayun ke depan, mengarahkan semua kemarahan dan keputusasaannya pada sosok tenang di hadapannya.
Gerakannya penuh amarah, namun di mata Harry, serangan itu sangat tidak berarti, terlihat sangat lambat dan
mudah diprediksi.
Sedangkan, Harry tetap diam. Dia bahkan tidak mengangkat satu jari pun untuk membela diri. Matanya yang
setajam elang kini dipenuhi tatapan kasihan saat memandang Charles, seolah-olah dia bisa merasakan gelombang kesedihan yang menghantam pria tua itu.Tinju Charles berhenti tepat di depan wajah Harry, tertahan oleh dinding energi tak kasat mata.
Udara di sekitar mereka berderak, tegang oleh perbedaan kekuatan yang sangat besar. Charles terengah-engah, dadanya naik turun seiring napasnya yang memburu. Dia menatap Harry dengan mata tak percaya, kebingungan dan ketakutan mulai menjalar di wajahnya.
“Kau…”
Charles tergagap, suaranya bergetar. “Bagaimana bisa…?”
Harry hanya menatapnya dengan tatapan tenang, tanpa kata-kata. Tatapannya seolah-olah berkata, “Aku mengerti rasa sakitmu, tapi kekerasan bukanlah jawabannya.”
Tiba-tiba Di luar pintu, seorang pria berlari masuk. Dia memegang setumpuk dokumen tebal.
"Kepala Keluarga, sudah ada hasilnya." Pria itu melihat informasi dan berkata,
"Harry, 23 tahun, lahir di Desa Batu yang kecil di Pegunungan Meranti Negara Seribu Nusa, ldentitas Biasa, kehilangan ibunya saat pengungsian.
Hidup bersama tanpa ikatan dengan Tabib Larasati dan Dokter Rina,. Dia dikenal sebagai Tabib Ajaib bersama kekasihnya di Kota Seroja. Dan pernah mengikuti Wajib Militer satu tahun yang lalu, mendapat Penghargaan sebagai Tokoh Masyarakat terbaik di Kota Seroja dan Pangkat Kolonel dari Pihak Militer.
Satu bulan yang lalu ditugaskan mengikuti Turnamen Militer mewakili Negaranya dan berhasil sebagai Pemenang. Orang itu terus membaca dokumen, yang mencatat semua data, kerabat dan teman Harry, menyangkut beberapa hal yang terjadi.
"Pokoknya, kepala keluarga, orang ini adalah orang kampung sejati dan orang rendahan." ldentitas Harry akhirnya dirangkum. Setelah dia selesai berbicara, Harry orang biasa?
Harry benar-benar orang biasa..!
Satu-satunya titik terang dalam hidupnya adalah tidak tahu mengapa dia berprestasi dalam bidang Medis dan Militer
Meskipun dia seorang Militer namun ini tidak ada sangkut pautnya dengan hubungan Internasioanal. Paling paling dia Keluarga Huang harus menemui perwakilan Negara Seribu Nusa dan menjelaskan Kejadian sebenarnya, dengan pengaruhnya pasti tidak ada masalah besar. Apalagi disini ada seorang Jenderal dari Keluarga Huang ! Sebaliknya, Harry hanyalah seorang Kolonel.
Tawa meledak di aula besar itu, menggema di antara pilar-pilar tinggi dan langit-langit yang dihiasi lampu kristal mewah.
Para petinggi Klan Huang, dengan jas sutra dan perhiasan berkilauan, terbungkuk-bungkuk sambil memegangi perut mereka, air mata berlinang karena tawa yang tak tertahankan.
“Orang kampung? Tabib rendahan?” seru seorang pria gempal dengan kumis melintang seperti sikat gigi, suaranya dipenuhi ejekan.
“Dan dia pikir dia bisa menaklukkan kita? Ini lelucon terbaik yang pernah kudengar!”
“Mungkin dia ingin mengobati kita dengan ramuan herbal ajaibnya!” celetuk seorang wanita dengan gaun merah menyala, tawanya melengking seperti burung gagak. “Atau mungkin dia akan memanggil pasukan tikus got untuk menyerbu kita?”
Tawa mereka semakin menjadi-jadi, menghujani Harry seperti badai penghinaan. Beberapa dari mereka bahkan sampai terbatuk-batuk, wajah mereka memerah karena terlalu banyak tertawa.
Lalu, bukankah latar belakang Harry lebih buruk dari sampah. Orang kampung ini ... beraninya dia datang ke Keluarga Huang dan mengancam Keluarganya ? Bajingan..!! Siapa yang memberinya keberanian?
"Harry, berlutut!"
"'Apa-apaan kamu? Beraninya kamu berdiri di hadapan Keluarga Huang?"
"Aku akan memberimu tiga detik untuk segera berlutut!"
Di sekitar mereka, orang-orang dari Keluarga Huang saling melotot dan ingin segera membunuh Harry.
Harry berdiri di tengah-tengah ejekan itu, tetap tenang dan tak tergoyahkan. Senyum tipis tersungging di bibirnya, bukan senyum takut atau malu, melainkan senyum yang penuh arti, seolah-olah dia sedang menyaksikan sekelompok anak kecil bermain-main dengan tanpa menyadari bahaya yang mengintai di baliknya.
“Kalian sudah selesai?” tanya Harry akhirnya, suaranya tenang dan datar, namun terdengar jelas di tengah kegaduhan itu.
Tawa mereka terhenti seketika, digantikan oleh keheningan yang mencekam. Semua mata tertuju pada Harry, menunggu reaksinya.
“Bagus,”
kata Harry, masih dengan senyum tipis itu. “Karena sekarang… giliranku untuk
berbicara.” Namun belum sempat Harry Bicara , dia sudah disela lagi oleh Jenderal Song Huang
Eksekutif senior Keluarga Huang selalu serius dan mereka tidak boleh tertawa pada kesempatan seperti itu. Namun, mereka tidak bisa menahan tawa, bahkan Charles, yang baru saja kehilangan putranya.
Namun, apa lagi yang bisa mereka lakukan? Orang ini sangat muda dan sangat arogan sehingga membuat semua orang tidak bisa menahan tawa!
"Aku harus mengagumi keberanianmu karena kamu ingin Keluarga Huang menjadi bawahanmu." Jenderal Song Huang tertawa terbahak-bahak.
"Kamu tahu, aku telah hidup selama hampir 60 tahun dan tidak ada yang berani berbicara dengan Keluarga ku seperti ini."
"Dua belas eksekutif Klan Bangsawan Huang menunggu orang bodoh ini selama tiga hari. Benar-benar membuang waktu!"
"Dia benar-benar gila." Satu-satunya kesabaran Ketua hampir habis karena harry. Dia berkata, "Kamu baru berusia 23 tahun, tapi kamu bisa merasa kamu punya beberapa bakat,tapi ...."