Kapan lagi baca novel bisa dapat hadiah?
Mampir yuk gaes, baca novelnya dan menangkan hadiah menarik dari Author 🥰
-------------------
"Aku akan mendapatkan peringkat satu pada ujian besok, Bu. Tapi syaratnya, Bu Anja harus berkencan denganku."
Anja adalah seorang guru SMA cantik yang masih jomblo meski usianya sudah hampir 30 tahun. Hidupnya yang biasa-biasa saja berubah saat ia bertemu kembali dengan Nathan, mantan muridnya dulu. Tak disangka, Nathan malah mengungkapkan cinta pada Anja!
Bagaimana kelanjutan kisah antara mantan murid dan guru itu? Akankah perbedaan usia di antara keduanya menghalangi cinta mereka? Ikuti kisah mereka di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Beri Saya Waktu
"Perkenalkan, nama saya Nathan,"
Ucapan Nathan saat di sekolah terngiang di otak Anja. Entah kenapa, menurut Anja, perilaku cowok tinggi besar itu terlihat menggemaskan di matanya.
"Ya ampun, lucunya!" tanpa sadar Anja jadi kegirangan dan senyum-senyum sendiri. Hal itu tentu membuat Arka, adik kandungnya yang sedang menyetir motor mengerutkan kening keheranan.
"Kak, ngapain senyum-senyum sendiri nggak jelas begitu? Kesambet ya?"
Senyuman lebar di bibir Anja sontak menjadi rengutan kesal. "Kesambet gundulmu! Nyetir yang bener! Nggak usah lihat-lihat kakak!"
"Yeee, yang lihatin kakak siapa? Orang aku mau lihat di belakang ada mobil apa nggak lewat kaca spion, eh malah keliatan muka kakak yang senyum-senyum sendiri."
Mendengar penjelasan Arka, Anja spontan menjadi malu. Tapi, karena peraturannya adalah 'kakak tidak pernah salah', tentu saja Anja tidak mau mengakuinya begitu saja.
"Awas ya kamu, nggak akan kakak kasih uang saku tambahan lagi. Kakak masih marah gara-gara tadi pagi kamu tinggal pergi duluan," Anja mengeluarkan jurus paling ampuh bagi kakak seluruh dunia, yaitu mengancam tidak memberi uang saku. Hal itu jelas membuat setiap adik yang diancam merasa ketar ketir karena sumber pendapatan mereka akan berkurang. Termasuk Arka.
"Ih, nggak asyik banget mainnya pake ngancem ngancem! Padahal kan salah kakak sendiri bangunnya kesiangan! Aku tuh udah coba bangunin kakak tiga kali, tapi kakak nggak mau bangun!" Arka mencoba membela diri.
"Ya kalau gitu, kamu harusnya bangunin kakak sampai empat kali dong! Kalau kamu bangunin lagi, pasti kakak bangun!" Seperti yang sudah diduga, Anja tidak mau kalah.
Arka tentu hanya bisa menghela napas panjang. Mau bagaimana pun dia berusaha membela diri, tetap saja dia yang akan kalah jika beradu argumen dengan kakaknya itu. Arka juga merasa heran, padahal jarak umur antara dia dan kakaknya cukup jauh, sekitar tujuh tahun, tapi sang kakak sama sekali tidak mau mengalah kepadanya. Ujung-ujungnya, Arka lah yang nantinya akan minta maaf dan mengaku kalau dia yang salah.
Capek berdebat, dua saudara kandung itu akhirnya memilih diam saja sampai motor yang dikendarai Arka berbelok ke sebuah rumah yang tak terlalu besar. Di rumah itulah Anja, Arka, dan kedua orangtuanya tinggal.
Turun dari motor, Anja langsung berlari masuk sambil mengucap salam. Baru ada Ibu di rumah, karena ayahnya biasa pulang kerja di sore hari. Usai menyalami sang ibu, Anja bergegas melesat menuju kamarnya.
"Hai sayang!" Di dalam kamar, Anja langsung membuka ponsel dan menghubungi Raffi, pacarnya. Raffi dan Anja sudah berpacaran sejak semester awal kuliah, dan sekarang mereka harus menjalani hubungan jarak jauh karena Raffi diterima bekerja di sebuah perusahaan besar di Ibukota.
"Halo sayang," terdengar suara Raffi, bersamaan dengan wajahnya yang muncul pada layar. "Baru pulang kerja, ya?"
"Iya!" Anja menjawab dengan nada ceria. "Kamu lagi istirahat, ya?"
"Iya nih, capek banget. Tapi hilang capeknya setelah liat kamu,"
"Aduh, gombalnya!" Anja pura-pura bergidik merinding, meskipun sebenarnya di dalam hati ia merasa senang. "Ada cerita apa hari ini, sayang?"
Raffi pun menceritakan kejadian di kantornya hari ini. Mulai dari diomelin atasan, bertemu klien yang tidak sopan, dan lain-lain. Memang, sejak memutuskan untuk LDR, Anja dan Raffi sepakat untuk menghubungi satu sama lain minimal satu kali sehari, bercerita tentang hari yang mereka jalani masing-masing. Hal sederhana yang menurut mereka mampu mempererat hubungan di antara keduanya.
"Kalau kamu, gimana kabarnya hari ini? Hari pertama sekolah kamu lancar?"
Anja tersenyum mendengar pertanyaan Raffi. Ini dia yang ditunggu-tunggu. Anja sudah bersiap menceritakan kisah serunya di hari pertama sekolah dan pertemuannya dengan Nathan, tapi baru saja beberapa detik Anja bercerita, Raffi tiba-tiba sudah menutup telepon.
^^^Raffi ❤^^^
^^^Maaf ya sayang, tadi ada atasan aku. ^^^
^^^Aku lanjut kerja dulu, kita sambung nanti malam ya. ^^^
^^^I love you😘^^^
Anja menghela napas panjang. Yah, kadang-kadang hal seperti ini juga bisa terjadi. Anja memaklumi karena Raffi memang sedang bekerja. Raffi bilang, dia akan bekerja keras agar bisa cepat-cepat menikahi Anja tahun depan. Jadi tentu saja Anja tidak bisa protes jika dirinya tidak lagi dijadikan prioritas.
Anja
Nggak apa-apa sayang.
Yang semangat ya kerjanya.
Biar buat modal nikah kita, hehe🤭
Love you too😘
Anja menunggu selama hampir satu menit, tapi tidak ada balasan lagi dari Raffi. Mungkin dia sedang sibuk, Anja mencoba menghibur diri. Ia pun akhirnya memilih untuk mengisi ulang daya ponselnya dan merebahkan diri ke atas kasur. Mencoba memejamkan mata untuk mengistirahatkan badan sejenak.
...----------------...
Esoknya, Anja tidak terlambat lagi. Dia sudah menyiapkan alarm yang disetel keras-keras di samping telinganya. Meskipun ia baru terbangun saat ibu teriak-teriak menyuruhnya mematikan alarm, setidaknya ada kemajuan dari hari kemarin.
"Bu Anja," kepala sekolah memanggil Anja saat jam istirahat pertama. Anja segera bangkit dari kursinya dan menuju kantor kepala sekolah.
"Permisi Bu," Anja duduk di kursi tamu yang sudah disediakan. "Ada apa ya Bu?"
"Ada yang mau saya bicarakan soal salah satu murid di kelas Bu Anja," Kepala sekolah memulai percakapan dengan serius. "Bu Anja mungkin sudah berkenalan dengan mereka. Ada murid yang bernama Nathan, kan?"
Nathan, pikiran Anja kembali melayang di waktu kemarin saat Nathan meminta maaf padanya. Tanpa sadar ia tersenyum saat mengingatnya.
"Iya bu, ada, saya mengenalnya. Ada apa ya Bu dengan Nathan?"
"Sebenarnya, pihak sekolah sedang mempertimbangkan untuk mengeluarkan Nathan dari sekolah,"
"Apa?!" ucapan sang kepala sekolah jelas membuat Anja terkejut. "Dikeluarkan, Bu? Tapi kenapa?"
Kepala sekolah tampak menghela napas panjang sejenak sebelum melanjutkan bicara. "Bu Anja mungkin belum tau karena masih baru di sini. Tapi saya sudah sering mendapatkan laporan dari guru yang lain, kalau anak ini sangat bermasalah,"
Kepala sekolah mengeluarkan sebuah map dan menunjukkannya kepada Anja. "Di sini adalah catatan semua pelanggaran yang sudah dilakukan oleh Nathan. Memang bukan pelanggaran yang besar, tapi sudah tak terhitung berapa jumlahnya anak ini membolos, tidur di kelas, dan tidak mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya."
Anja membaca dokumen itu dengan teliti.
"Sekolah ini dikenal dengan sekolah unggulan, jadi keberadaan murid seperti Nathan bisa mencoreng nama baik sekolah ini. Saya memanggil Bu Anja kesini hanya untuk memberikan informasi saja, supaya wali kelas mengetahui kalau ada anak bermasalah di kelasnya."
Anja terdiam lama, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dengar dari kepala sekolah. Pikirannya campur aduk. Dia bingung harus bersikap bagaimana di situasi seperti ini.
"Mungkin begitu saja Bu Anja. Silahkan kembali—"
"Beri saya waktu Bu," Anja memotong ucapan kepala sekolah. "Ah, maaf, bukan maksud saya untuk lancang. Tapi, seperti yang ibu bilang, saya memang guru baru di sini, jadi saya belum terlalu mengenal murid-murid di kelas saya. Termasuk Nathan. Saya rasa, mungkin ada alasan kenapa Nathan seperti itu. Sebagai wali kelasnya, saya merasa bertanggungjawab untuk membantu murid saya. Jadi, kalau boleh, tolong berikan saya kesempatan Bu,"
Kepala sekolah menatap Anja lamat-lamat, heran mendengar permintaan Anja.
"Bu Anja, apa ini nantinya tidak akan merepotkan Ibu? Bukankah seharusnya Ibu bersyukur kalau biang kerok di kelas Ibu dikeluarkan, supaya tidak ada masalah kedepannya? Nathan, anak ini, memang dasarnya sudah bermasalah. Tidak ada satupun guru yang bisa mengatasinya. Apa Bu Anja yakin bisa melakukannya?"
"Tidak Bu," Anja menggelengkan kepala. "Sejujurnya, saya juga tidak yakin bisa melakukannya. Tapi, saya ingin mencobanya. Walaupun hasilnya mungkin sia-sia, saya tetap ingin mencobanya Bu,"
Kepala sekolah menghela napas panjang. "Baiklah," ucapnya kemudian. "Karena Bu Anja sudah bertekad, saya akan memberikan kesempatan. Tapi, hanya satu bulan Bu Anja. Jika dalam waktu satu bulan Nathan tidak berubah, terpaksa kita harus memberinya keputusan final."
"Baik Bu," Anja menganggukkan kepala. "Saya akan mengingatnya,"