Bagaimana jika pernikahan mu tak di landasi rasa cinta?
Begitu lah kisah cinta yang membuat tiga keturunan Collins, Hadiadmaja menjadi begitu rumit.
Kisah cinta yang melibatkan satu keluarga, hingga menuntut salah satu dari kedua putri Hadiadmaja memilih pergi untuk mengalah.
" "Kau sudah melihat semuanya kan? jadi mari bercerai!"
Deg.
Sontak Hati Gladisa semakin perih mendengar semua cibiran yang dikatakan suaminya yang saat ini tengah berdiri di hadapannya itu. Siapa sangka, Adik yang selama ini besar bersama dengan dirinya dengan tega menusuknya dari belakang hingga berusaha untuk terus merebut perhatian semua orang darinya.
"Clara, Katakan ini Semua hanya kebohongan kan? ini kau sedang mengerjakan aku kan Ra??" mesti sakit, tapi Gladis masih terus mencoba berfikir positif jika ini semua hanyalah imajinasinya atau hanya khayalan.
Clara berjalan mendekat lalu tanpa aba-aba Clara nampak mencengkeram kuat Dagu kakaknya sendiri dengan gerakan yang cukup kasar me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon queenindri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sedikit perdebatan
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Gladys hanya bisa memejamkan matanya setelah mendengar obrolan Nathan dan juga Nathania.
Nathan baru saja mematikan sambungan teleponnya. ia fikir Nathania akan mengatakan jika Gladys telah membohonginya soal obat itu, namun ternyata obat itu sama saja kandungannya dengan obat sebelumnya yang ia berikan.
Hanya saja, kandungan dan dosis dari komposisi obatnya saja yang berbeda. Namun agaknya Nathan masih agak janggal karena Nathania bilang, biasanya dokter akan merasakan obat semacam itu hanya untuk ibu hamil dan menyusui.
"Katakan, dari mana kau dapat obat itu?"
Cecar Nathan seolah-olah masih belum lega jika belum memastikan kecurigaannya. Lalu, Nathan duduk di samping Gladys dengan mata yang menyipit fokus kepada wanita itu.
"Aku hanya membelinya di apotek, aku bertanya kepada apotekernya obat mana yang bisa meredakan sakit kepala dan mual. aku hanya bisa meminum obat-obatan herbal."
Jawabnya dengan tenang.
Nathan menatapnya sambil terdiam.
Gladys nampak baik-baik saja. tatapannya, expresi wajahnya bahkan Nada suaranya pun terdengar normal. sama persis seperti nada bicara seperti sebelumnya ia sakit.
Jika Nathan tidak melihat expresi terkejut Gladys tadi, pasti dia sudah tertipu dengan drama yang di mainkan Nathania.
Kini tatapan Mata Nathan terfokus pada Gladys, seperti seseorang yang ingin mengeksekusi musuhnya. "Benarkah? Tapi, kenapa Nathania berkata jika biasanya obat yang kau minum ini di resepkan dokter hanya untuk wanita hamil saja?"
Gladys sedikit terkejut, namun sebisa mungkin ia menutupi keterkejutannya dengan memejamkan matanya sembari mencari jawaban yang tepat untuk ocehan Nathan barusan. "Mungkin kau hanya salah paham. bukan hanya untuk orang hamil, tapi biasanya, perlu kau garis bawahi kata biasanya itu mengandung arti yang cukup luas jika kau....."
"Cukup!!"
Ucap Nathan sembari mendorong tubuh Gladys hingga membentur pada pembatas sofa. hingga kini posisi mereka saling berhimpitan dan nampak begitu intim.
Awalnya Gladys terkejut dan reflek ingin mendorong dada bidang sang suami, namun ketika itu Nathan dengan cepat menangkap tangannya hingga tatapan mereka kini terkunci intens.
Di dalam hati Nathan bahkan bertanya-tanya tentang perasaan apa ini? Kenapa hatinya begitu berdebar saat begitu dekat dengan sang istri.
Sebuah senyum samar muncul tiba-tiba di bibir Gladys, hingga membuat Nathan mengernyit heran.
Sebagai dua orang yang tumbuh bersama sejak kecil, tentu saja Nathan tau bagaimana sikap asli Gladys. hanya saja, setelah menikah dengannya, banyak sekali perubahan yang terjadi pada diri Gladys yang tidak ia pahami.
Ketika Nathan memaksakan tetap menikahi Gladys dan membuatnya sadar Jika menikahinya adalah keputusan yang salah. namun nyatanya, wanita itu bisa bertahan hingga satu tahun lamanya meskipun tak pernah ia akui sebagai seorang istri sebelum Tuan Aiden mengumumkan pernikahan mereka, di hari penyambutan Clara.
"Apa yang salah? kenapa aku seperti tidak memahamimu?"
Hari ini, untuk pertama Kalinya Gladys begitu berani menatap matanya. Ia bagai kehilangan wanita yang sejak awal selalu mengatakan jika ia mencintainya.
Wanita yang ada di hadapannya saat ini, seolah orang asing yang menjelma sebagai Gladys istrinya.
Tanpa Takut, Gladys tersenyum tipis dengan menajamkan matanya.
"Begitu ya? kau berfikir kau sangat memahamiku dan tau semua tentangku, begitu?"
Sesaat kemudian, tangan Nathan meraih tengkuknya. seketika kening Nathan menempel di kening Gladys hingga nafas keduanya menyatu.
Deg deg deg
Aura dingin menguar di seluruh tubuh keduanya yang merasakan sengatan-sengatan aneh pada hati mereka masing-masing, terutama Nathan.
Ia mulai merasakan rasa yang berbeda setelah satu tahun lebih tingga seatap, sekamat bahkan berbagi ranjang dengan istrinya.
Sebuah kalimat akhirnya keluar dari bibir Nathan untuk pertama kalinya.
"Kita sudah tumbuh bersama sejak kecil. jika bukan aku yang memahamimu, maka siapa lagi yang bisa memahamimu selain aku??"
Jantung Gladys berdegup semakin kencang mendengar semua kata yang di ucapkan Nathan kaki ini.
Ternyata, apa yang ia pikirkan tentang sang suami salah. awalnya, ia berfikir jika Nathan tak pernah mengamati dirinya sama sekali, nyatanya ia salah lagi.
Jangan-jangan Nathan memang sudah curiga tentang kehamilannya. haruskah ia mengatakan yang sejujurnya, mengingat seperti nya Nathan sudah mulai berubah dad cukup baik memperlakukannya.
Waktu berlalu cukup Lama, Hingga akhirnya Gladys menghela nafasnya dalam-dalam sebelum berkata.
"Ini sesak, aku tidak bisa bergerak!"
"Bukankah kita sudah biasa melakukannya. bahkan, kita sering melakukan hal yang lebih dari ini."
"Iya, tapi aku tidak nyaman!"
Mendengar keluhan keluar dari bibir Gladys, membuat Nathan kembali emosi.
"Apa? tidak nyaman kau bilang."
Gladys tetap diam tak lagi merespon Nathan.
Melihat wanita itu mengabaikannya, jelas Nathan tak terima hingga meraih bahunya dan sedikit memberikan cengkeraman di sana. "Aku suamimu, aku berhak melakukan apapun padamu bahakan lebih dari pada itu! bagaimana bisa kau mengatakan jika tidak nyaman dekat denganku."
Nafasnya memburu seiring dengan otot-otot lehernya yang menegang.
Sungguh, baru kali ini Gladys melihat Nathan begitu marah seolah tak suka dengan apa yang di katakannya.
"Bukankah selama ini kau tak perduli dengan apapun yang aku lakukan. lalu, kenapa sekarang berubah?"
Gladys semakin berani melawan Nathan.
"sudah ku bilang jika aku lebih memahamimu dari siapapun termasuk keluarga mu!"
Pekik Nathan dengan nada yang meninggi hingga Gladys sedikit tersentak olehnya.
"Bukan, bukan kau." Elak Gladys lagi dengan berani.
Nathan benar-benar terkejut mendengar itu.
"Apa kau hilang? bukan aku, jika begitu, siapa??"
Nathan kembali pada mode tenang sembari menunggu jawaban yang akan di berikan Gladys padanya
Namun, Gladys memilih bungkam dan memalingkan muka ke arah lain sehingga membuat Nathan kembali murka.
"Katakan ,Gladys! siapa? laki-laki atau perempuan? jika dia laki-laki katakan siapa biar aku membunuh nya!"
Deg
Gladys terkejut hingga kembali menoleh ke arah Nathan dengan mata yang melotot tajam.
"Lepaskan aku! kau pikir ini tidak sakit, Hah?" Gladys mendorong tubuh Nathan cukup kuat. Namun , lagi-lagi tenaganya tak cukup kuat untuk membuat pria itu melepaskan nya.
Melihat reaksi tersebut, akhirnya Nathan memilih mengendurkan cengkeramannya dari bahu Gladys. namun, sama sekali ia tak ingin melepaskan istrinya itu begitu saja dari cecaran pertanyaannya.
"Baiklah, aku akan melepaskannya! tapi, kau harus janji untuk mengatakan siapa yang lebih memahamimu ketimbang aku, jangan menutupi apapun dariku karena aku tidak menyukainya!"
Gladys sudah terpojok. lantas, mau tidak mau akhirnya berusaha berfikir untuk menjawab pertanyaan Nathan dengan asal. dan hanya satu nama yang muncul di benaknya yaitu mantan sahabat Nathan sendiri.
"Glad...." Panggil Nathan penuh dengan penekanan agar Gladys mau bicara.
"Dia adalah......Revaldo Mahendra."
Jederrrrrr