Penjaga Gerbang Semesta
**Disclaimer **
Sebelum memulai perjalanan ini, perlu saya tegaskan bahwa cerita ini adalah karya fiksi. Nama, karakter, tempat, dan kejadian yang digambarkan dalam cerita ini semata-mata adalah produk dari imajinasi saya sebagai penulis pemula. Meskipun beberapa elemen dalam cerita ini terinspirasi dari pengalaman pribadi atau tempat-tempat yang nyata, semua yang disampaikan di sini tidak dimaksudkan untuk mencerminkan kenyataan atau mewakili pandangan penulis tentang dunia luar.
Pada bab ke-13 dari cerita ini, saya memperkenalkan konsep poliamori sebagai bagian dari evolusi hubungan antara karakter-karakter utama. Poliamori adalah sebuah tema yang kompleks dan diangkat sebagai bagian dari eksplorasi imajinatif dalam cerita ini. Saya berharap pembaca dapat menerima ini sebagai salah satu aspek dari kehidupan karakter fiksi yang dibangun dalam narasi ini. selamat menikmati.🙏🙏🙏.
Bab. 1. Larasati Dan Harry
Di Desa Batu, sebuah desa terpencil di antara lekuk Pegunungan Meranti, hiduplah Larasati, gadis kecil berusia 13 tahun. Kulitnya sehitam kayu manis, matanya berbinar bagai bintang fajar, dan senyumnya sehangat mentari pagi.
Kehidupan damai Larasati bersama kedua orang tuanya di desa yang asri itu hancur dalam sekejap ketika wabah misterius menerjang.
Kepanikan melanda, penduduk kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Bayangan kematian semakin nyata saat
beberapa warga terinfeksi dan menghembuskan napas terakhir. Evakuasi menjadi pilihan satu-satunya.
Dengan berat hati, Larasati dan kedua orang tuanya meninggalkan desa tercinta. Di tengah perjalanan menuju desa tetangga, takdir berkata lain.
Larasati terpisah dari kedua orang tuanya, terlunta-lunta sendirian di tengah hutan belantara yang sunyi. Kecemasan dan ketakutan mencengkeram hatinya, namun tekad membara untuk bertahan hidup memaksanya untuk terus melangkah.
Hutan lebat dan gelap semakin menebalkan rasa terisolasi yang menggerogoti jiwanya. Di tengah keputusasaan, sayup-sayup terdengar suara isak tangis.Larasati mengikuti sumber suara, dan menemukan seorang anak laki-laki kurus, tak lebih dari 8 tahun, meringkuk di balik semak-semak.
“Hei, apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu menangis?” tanya Larasati lembut.
Anak laki-laki itu mendongak, matanya berkaca-kaca. “Aku kehilangan ibuku…
Aku tidak tahu harus ke mana,” ucapnya lirih.
“Aku juga tersesat,” ujar Larasati, mencoba menenangkan. “Namaku Larasati.
Siapa namamu?”
“Aku Harry,” jawab anak laki-laki itu.
Di tengah kegelapan hutan yang mencekam, Larasati dan Harry menemukan secercah harapan dalam tatapan satu sama lain. Mereka tidak lagi sendirian. Sebuah senyuman tipis mengembang di wajah keduanya, mengusir rasa takut yang selama ini menghantui.
Larasati merasakan iba yang mendalam melihat Harry yang masih kecil harus menghadapi kenyataan pahit kehilangan orang tua. Ia pun mengajak Harry untuk bersama-sama mencari jalan keluar. Hari demi hari mereka lalui bersama, belajar menghargai arti keberanian dan kerja sama. Mereka menyadari, bersama, tak ada yang tak mungkin.
Suatu hari, saat menyusuri sungai mencari ikan, Larasati berkata, “Wah, sepertinya tempat ini cocok untuk kita tinggali.” Harry mengamati sekelilingnya. “Iya, Kak. Bagaimana kalau kita bangun gubuk di sini?”
Maka, dimulailah pembangunan gubuk sederhana di pinggiran hutan, dekat sungai yang tenang. Mereka mengumpulkan daun-daun dan ranting kering untuk dijadikan dinding dan atap.
Harry membangun pondasi dengan kayu-kayu kuat yang ia temukan, sementara Larasati merangkai daun dan ranting menjadi dinding yang
kokoh.
Langit mulai meremang, tanda malam akan segera tiba. Larasati dan Harry bekerja lebih giat, hingga akhirnya gubuk sederhana mereka selesai. Rasa lelah terbayar lunas dengan senyuman puas saat mereka memandang hasil kerja keras mereka.
“Kami berhasil!” Larasati berseru kegirangan.
“Iya, sekarang kita punya tempat berlindung,” sahut Harry, tak kalah
gembira.
Di gubuk berukuran 4×4 meter, beratapkan daun dan berdindingkan ranting, Larasati dan Harry menemukan kedamaian. Api unggun yang membara di depan gubuk menghangatkan tubuh mereka, juga hati mereka yang pernah merasakan dinginnya kehilangan. Di tengah hutan belantara, mereka membangun harapan baru, bersama-sama.
Lima tahun berlalu, waktu menorehkan perubahan pada diri Larasati dan Harry. Harry, ditempa kerasnya hidup di alam liar, tumbuh menjadi remaja gagah, tinggi menjulang, tak seperti anak seusianya yang baru menginjak 13 tahun.
Sementara Larasati, di usianya yang ke-18, bersinar menjadi gadis cantik, kulitnya seindah kayu
manis, wajah oval dengan lesung pipit yang menawan.
Lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Lima tahun mengajarkan Larasati dan Harry arti bertahan hidup di kerasnya alam liar. Hutan yang awalnya terasa asing, perlahan menjadi rumah.
Mereka belajar banyak hal. Berburu, meramu obat dari tumbuhan herbal, membaca tanda-tanda alam, bahkan membangun perangkap untuk hewan buas.
Larasati, dengan jiwa keibuannya, selalu memastikan Harry makan dengan teratur. Ia pandai menemukan umbi-umbian dan buah-buahan di hutan. Tangannya terampil menjalin jerat dari rotan untuk menangkap ikan di sungai. Harry, meski usianya lebih muda, tumbuh menjadi pemberani.
Ia belajar berburu menggunakan tombak buatan Larasati. Tak jarang, ia pulang membawa kelinci hutan atau burung pheasant hasil tangkapannya.
Malam hari, di bawah cahaya api unggun, Larasati akan mengajarkan Harry membaca dan berhitung, membaca jejak binatang, mengenali jenis-jenis tanaman, dan menghitung waktu berdasarkan posisi bintang. Harry selalu mendengarkan dengan seksama, sesekali melempar pertanyaan yang membuat Larasati tersenyum gemas.
Gubuk yang dulunya hanya berukuran 4×4 meter, kini bertambah luas. Dindingnya diperkuat dengan kayu-kayu kokoh hasil temuan Harry di hutan. Atapnya tak lagi terbuat dari daun-daun kering, melainkan anyaman daun kelapa yang lebih rapat dan tahan air.
Di dalamnya, terdapat dua buah dipan sederhana beralaskan kulit binatang hasil buruan Harry. Sebuah tungku api kecil berdiri di sudut ruangan,selalu menyala setiap malam untuk mengusir dingin dan hewan buas.
Kehidupan mereka memang jauh dari kata nyaman. Hujan deras dan serangan binatang buas menjadi santapan sehari-hari. Namun, di tengah keterbatasan itu, terjalin kebersamaan yang tulus. Larasati dan Harry, dua jiwa yang bersatu karena takdir, menemukan keluarga dalam pelukan hutan belantara.
Suatu malam, cahaya rembulan menjadi saksi bisu kehangatan yang terjalin di antara keduanya. Larasati dan Harry terlelap dalam pelukan di gubuk sederhana mereka.
Tiba-tiba, suara gaduh memecah kesunyian malam, membangunkan mereka dari mimpi. Saling berpandangan, rasa penasaran memaksa mereka untuk mengintip keluar.
Dua siluet besar terlihat di tengah gelapnya malam. Dua pasang mata tajam menatap mengancam dari kejauhan. Jantung Larasati dan Harry berdetak kencang, bulu kuduk meremang. Dua ekor serigala besar berdiri dengan gagahnya, tak jauh dari gubuk mereka.
“Apa yang harus kita lakukan, Harry?” tanya Larasati, suara gemetar mengkhianati rasa takutnya.
“Tenang, kita harus siap bertahan,” jawab Harry, berusaha tegar. Kedua serigala itu semakin mendekat, memperlihatkan taring tajamnya. Larasati dan Harry bangkit, saling menguatkan.
Tak ada kata menyerah. Mereka harus berani!
“Kita bisa lawan mereka! Bersiap!” teriak Harry lantang.
Harry segera meraih sebatang kayu besar, sementara Larasati mencengkeram erat tombak bambu runcing andalannya. Mereka berdiri berdampingan, siap menghadapi serangan mematikan.
Dengan gerakan secepat kilat, kedua serigala itu menerjang. Larasati dan Harry bergerak lincah, menghindari cakar dan taring tajam yang siap mengoyak. Lima tahun hidup di hutan telah menempa mereka menjadi tangguh.
“Kita pasti bisa, Kak Laras! Jangan menyerah!” teriak Harry sambil terus melawan serigala di hadapannya.
Larasati tak gentar sedikit pun. Ia terus mengayunkan tombak bambu runcingnya dengan segenap kekuatan. Kedua remaja itu bahu-membahu, saling melindungi, melawan ancaman yang menghadang.
Gerakan mereka lincah, lahir dari insting bertahan hidup yang diasah selama bertahun-tahun di hutan belantara.
Akhirnya, setelah pertarungan sengit, kedua serigala itu terdesak. Dengan geraman frustrasi, mereka berbalik dan lari menghilang ke dalam kegelapan hutan, meninggalkan Larasati dan Harry yang berdiri tegak penuh kemenangan.
“Kita berhasil, Harry! Kita benar-benar hebat!” seru Larasati, senyum cerah mengembang di wajahnya.
“Kita tim yang hebat, Kak! Kita bisa melakukan apa pun jika kita bersama,” balas Harry, mengangguk penuh semangat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
Amelia
aku mampir Thor semangat ❤️👍
2024-07-25
1