Tiga sejoli menghabiskan usia bersama, berguru mencari kekebalan tubuh, menjelajahi kuburan kala petang demi tercapainya angan. Sial datang pada malam ketujuh, malam puncak pencarian kesakitan. Diperdengarkan segala bentuk suara makhluk tak kasat mata, mereka tak gentar. Seonggok bayi merah berlumuran darah membuat lutut gemetar nyaris pingsan. Bayi yang merubah alur hidup ketiganya.
Mari ikuti kisah mereka 👻👻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon diahps94, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Taman Gaib
"Kau seharusnya tahu kenapa tuan bertingkah khawatir saat hujan. Ibu mu sangat takut dengan suara hujan, ibumu sangat benci air hujan, tuan takut hal itu menurun padamu, dia takut jika kau sendirian menghadapi rasa takut, rupanya khawatirnya itu tak kau indahkan, ku harap kau lebih bijak meski usia mu masih remaja. Sehat selalu tuan muda."
Djiwa ditinggalkan, tenda milik Mahendra seketika menjadi begitu sunyi. Deru mobil bersahutan, tanpa mengintip Djiwa tahu Mahendra meninggalkan camp. Djiwa terduduk di kursi yang sempat ia tabrak tadi. Dia tertunduk, ada sebagian hatinya yang lara. Jika Mahendra memiliki rasa kasih melimpah haruskah ia mengukir luka baru dengan tamparan yang teramat sakit. Djiwa kecewa, remuk sudah sedikit rasa percaya yang mulai tumbuh. Perih kalbunya, ia menangis sejadinya.
Tangis yang tak pernah di dengar oleh siapapun. Tak ada manusia yang bisa membuat Djiwa menangis begitu sakit. Mahendra seorang yang melakukan itu, Mahendra tak sabaran ingin dekat dengannya. Lantas jika sudah seperti ini, apa Djiwa akan mendekat. Rasanya bersitatap tak sengaja pun tak kan mau.
Suara mobil yang bising menghebohkan. Dayat cemas, langsung berlari ke arah tenda Djiwa, tak mendapati anaknya disana, dia berlari ke tenda Mahendra, benar dugaannya putranya tak baik-baik saja. "Ayo pulang!"
"Hikss aku benci dia Botu, aku benci diriku yang berharap banyak, aku benci darahnya ada padaku, aku benci hiks." Tubuh Djiwa bergetar, remaja itu terguncang batinnya.
Dayat pernah menaruh curiga, lantas menaruh rasa iba, kini benci terhadap Mahendra. "Tenangkan dirimu, ingat citra dirimu, jangan terlihat lemah untuk orang tak penting, disini banyak teman mu."
Isak tangis tak berhenti meski Djiwa ingin menyembunyikan. Isak yang mengundang Yanto dan Ujang datang. Kacau kala semua orang ingin tahu apa yang terjadi. Guru pembina dan panitia meminta izin akses masuk tenda untuk meminta kejelasan. Donatur persami yang diadakan pergi tanpa pamit. Ujang dan Yanto harus memutar otak untuk menutupi tingkah Mahendra yang sewenang-wenang.
Orang tua sibuk mengurus kepulangan, dan sibuk klarifikasi dengan pihak sekolah. Djiwa sendiri dalam kondisi kalut. Dalam bayangnya ia melihat Zalina hadir mengelus pucuk kepalanya. Djiwa mendongak, matanya yang penuh dengan linangan airmata menyipit agar melihat lebih jelas, seulas senyum terukir di bibirnya. Djiwa larut dalam dunianya, hingga ia tersesat dan nyaman.
Hamparan taman bunga warna warni, Djiwa berpijak di jalan setapak yang mengarah ke sebuah rumah di tengah taman bunga. Djiwa mengedarkan pandang ke segala penjuru, disana ada sungai yang mengalir damai, ada ternak kambing yang begitu luas, dan ada dua kakek nenek yang sedang berladang. Djiwa mendekati kedua pasang manusia yang pertama kali dilihatnya.
"Assalamualaikum." Mengucap salam sebagai mula percakapan.
Kakek itu menoleh. "Waalaikumsalam."
Kakek menepuk bahu nenek yang sibuk memetik cabai tanpa tahu ada yang datang. "Mbok, ada tamu."
"Lo...lo...loh, siapa ini cah ganteng?" Wanita dengan tubuh mulia bungkuk itu menyapa.
"Djiwa mbok, salam kenal." Djiwa tak tahu pasti ini dimana, namun sebagai pendatang bukankah lebih baik mengikuti alur lebih dulu.
Sepasang manusia yang tak lagi muda saling melempar pandang. Lantas si pria berinisiatif menanyakan lebih dulu. "Kau putra Zalina?"
Aku mengangguk ceria, di dunia ini hanya mereka orang yang bertanya kalau ia anak Zalina. "Hu'um."
"Wah kebetulan sekali, ayo masuk, si mbok sudah masak ayam dan kambing, tinggal memasak sayur saja." Ajak wanita yang jalan dengan tongkat itu.
Djiwa menawarkan diri membantu si mbok untuk di papah olehnya. Sementara hasil sayuran dan cabai yang ia petik di bawa oleh kakek. Melangkah beriringan masuk ke sebuah rumah tua. Melihat sekeliling Djiwa mengira bahwa mereka berdua tinggal tanpa adanya anggota keluarga lain. Hal itu di benarkan dengan celotehan sang kakek yang bersedih hati tak ada yang menjadi tempat berkeluh-kesah selain si mbok di rumah ini.
Djiwa turut membantu proses memasak. Memotong sayur dan mencucinya sesuai instruksi, mereka semua bekerjasama. Djiwa merasakan kehangatan tinggal di tempat yang ia sendiri tak yakin ini dimana. Namun dia menikmati sensasi bersama dua makhluk lanjut usia ini. Berbincang hingga makanan siap di santap.
"Kau sudah besar sekali rupanya, pantas Zalina sibuk dengan pikirannya sendiri, dia khawatir kau tumbuh menjadi pribadi yang kurang kasih sayang, kurang perhatian, dan pendidikan yang kurang baik." Si mbok memulai bicara pada suapan pertama.
Djiwa tak jadi menyendokan makanannya ke dalam mulut. "Mengapa beliau sampai seperti itu, padahal jelas sekali dia kerap melihat ku dari kejauhan."
"Untuk pergi ke alam mu, dia butuh banyak energi, setelah melintas tubuhnya perlahan melemah, tak butuh satu atau dua bulan lagi mungkin akan hancur lebur." Tutur sang kakek dengan raut sedih.
Deg, apa maksud penuturan si kakek. "Maksud kakek apa? Bukankah kalau arwah gentayangan bebas saja, toh banyak jiwa yang matinya tak sempurna dan tinggal di bumi lebih lama."
"Kasus ibumu berbeda Djiwa, dia mati karena kehabisan nafas dalam kubur, yang jelas banyak hal di luar nalar yang terjadi, intinya Zalina tak lama lagi akan meninggalkan mu seorang." Jelas si mbok.
"Haha pembicaraan apa ini, begitu menggelitik saat aku mendengar. Lagipula memang selama ini aku hidup tanpa ibu bukan, sudahlah apapun yang terjadi biar ibu tenang." Djiwa berdoa untuk raga ibunya yang tak lagi ada.
"Andai Zalina bisa tegar seperti kau, mungkin dia tak akan menderita sakit selama ini, tubuhnya seperti di hantam palu ribuan kali setiap harinya, tapi ia tetap kekeuh ingin menilik mu walau sekelebat saja." Si mbok ingat sekali, tak kurang nasihat yang ia berikan arwah satu itu sulit diatur perihal anak.
"Djiwa, sebenarnya ibumu tak bisa meninggalkan mu karena begitu banyak misteri kematiannya yang belum terkuak, dia sedih saat tahu kau tak akrab dengan ayah kandung mu, dia ingin kau tahu, ayahmu adalah lelaki terbaik yang ia miliki, jadi bisakah kau melunakkan hati mu sedikit saja untuk nya?" Kakek tahu, sensitivitas Djiwa terhadap sosok Mahendra sangat tinggi, jadi dia berhati-hati menyusun kata.
Djiwa tertegun, bahkan konflik dirinya dan Mahendra menjadi bahan kekhawatiran ibunya yang tak lagi menghirup udara di dunia. Alam bawah sadarnya paham, saat ini dia berada dalam dunia jin, besar kemungkinan kakek dan si mbok golongan jin. Apakah ia harus percaya dengan ucapan jin yang kadang menyesatkan, apa tak ada hak baginya untuk memilih hubungan seperti apa yang akan ia jalani dengan Mahendra.
"Tapi hatiku sakit, dia bahkan berani menamparku, aku tak pernah di sentil apalagi di cubit sebelumnya, mereka tak berani menyakiti ku walau seperti gigitan semut, lantas apa aku harus mentolerir tamparan dari orang yang berstatus sebagai ayah kandung, dan tak pernah ikut andil dalam membesarkan ku, apa aku tak boleh untuk menganggapnya tak ada, benar ibu dan dia saling cinta, tapi apa aku harus memaksakan diri untuk tinggal dengannya, saat perangainya tak sedikitpun yang aku suka." Panjang lebar Djiwa mencurahkan isi hati.
"Kau hanya lihat yang di tampilkan, jangan sampai menyesal telah membenci ayah yang begitu tulus, bahkan saat jiwanya tergoncang dan dinyatakan gila dia hanya ingat kau seorang, jangan meremehkan cinta seorang ayah, meski tak semuanya terlihat baik." Papar si kakek.
"Jika sudah benci pada sesuatu kadang kau tak bisa melihat sisi positifnya, mau sebaik apapun itu akan ternilai buruk di mata mu." Si mbok menatap Djiwa penuh kasih sayang.
Djiwa berdiri dari duduknya. "Tapi tidak dengan sebuah tamparan, dari segi apapun mana ada tamparan cinta?"
"DJIWA!"
"Djiwa, kembali nak!"
"Kumohon sayang, kembali lah!"
"Pulang Djiwa, PULANG!"
Suara-suara menyerbu masuk ke kepala, Djiwa harus membagi fokus antara suara yang datang dengan gambaran sosok kakek dan si mbok. Perlahan kedua sosok itu menjadi serpihan lantas hilang. Djiwa celingukan, dia berteriak minta tolong, tapi tak ada yang datang. Hingga rasa sakit di pipinya semakin terasa, bekas tamparan Mahendra berdenyut kali ini.
"Huwahhh." Seolah habis tenggelam, Djiwa kembali, sibuk mencari oksigen untuk suplai paru-paru.
Grep, pelukan dari seorang yang aroma tak asing tapi juga tak familiar. "Syukurlah kau kembali, maaf aku terlalu bodoh."
Djiwa masih linglung, yang ia tahu sekarang di peluk Mahendra di bawah guyuran hujan. Rupanya sekarang raganya masih berada di tengah hutan pinus. Dia tahu itu karena aroma daun kering dan ranting patah menyerobot masuk dalam hidungnya. Raganya sedang di kelilingi keluarga, ada tiga ayahnya dan ada kuncen serta guru dan beberapa sahabatnya. Entah apa yang terjadi, yang jelas kali ini dia tak menolak pelukan Mahendra.
Bersambung
bisa lihat yg ghaib itu berattt loh
😂😂😂