Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9.
Tatapannnya mengintimidasi. Sangat aneh. Pada hal tadi anak muda itu kelihatan takut pikirnya.
Langkah Mumu dihentikan Mirna dengan cara menarik lengannya. Mumu menatap Mirna, Ada apa? Kamu tak mau aku memberikan sedikit pelajaran kepada laki-laki itu?" Di depan orang lain tak mungkin Mumu memanggil Mirna dengan sebutan Kakak. Ia harus bisa menyesuaikan diri.
Mirna menggeleng pelan. Pada awalnya dia memang marah. Tapi demi melihat bagaimana Mumu rela membelanya pada hal Mumu tahu keadaan dia yang sebenarnya, hati Mirna jadi luluh. Dia sangat senang dan terharu sekali akan kebaikan dan perhatian Mumu sehingga dia tak mempersoalkan lagi atas penghinaan dari orang lain.
"Baiklah kalau begitu." Mumu langsung mengambil foto kopy berkas yang diminta dan menyerahkan kepada wanita klinik tersebut. Setelah mendapatkan nomor antrian mereka berdua menuju ruang tunggu. Sebelumnya Mumu masih sempat melontarkan ancaman secara halus kepada laki-laki sombong tadi.
Mereka berdua pun duduk di ruang tamu. Para pengunjung yang lain semuanya diam, tak ada lagi yang berani bisik-bisik.
Begitu juga Mumu dan Mirna, mereka tidak saling bertegur sapa mengingat keintiman yang mereka tunjukkan tadi sehingga mereka menjadi agak malu antara satu sama lain.
Hingga akhirnya suara yang memanggil nomor antrian 27 memecah suasana canggung di antara mereka. Karena antrian 27 adalah nomor urut mereka.
Pada awalnya Mumu tak mau masuk. Segan jika melihat Mirna yang mau di USG. Pasti perutnya akan ternampak. Tapi ketika melihat pandangan memohon Mirna, Mumu tak punya pilihan lain selain ikut masuk ke dalam.
Lagi pula jika Mumu tidak ikut masuk, maka cemoohan yang awalnya sudah reda pasti akan mencuat lagi.
Ruangan periksa berukuran 2x2 meter. Tak banyak perabotan di dalam. Hanya terdiri dari alat USG sebelah kiri masuk dan tempat periksa di sebelahnya lagi. Sedangkan berhadapan dengan pintu ada sebuah meja periksa.
Di sebalik meja periksa duduk seorang wanita yang memakai baju putih. Parasnya cantik sekali. Senyumnya, cara bicaranya dan tatapannya yang penuh perhatian dan rasa menghargai dengan segala keluh kesah ibu hamil membuat pasien betah dan senang berkunjung di sini.
Mumu akhirnya menyadari inilah nilai tambah yang membuat klinik ini begitu dikenal masyarakat dibanding dengan klinik atau tempat praktek dokter kandungan yang lain terlepas dari kesan sederhana dari tempat prakteknya.
"Silahkan duduk, Pak, Buk!" Ucap buk dr. Fitrian Afriani ramah.
"Ini hamil anak pertama ya? Sudah berapa bulan, Buk?"
"Lebih kurang empat bulan, Dok." Mirna yang menjawab.
"Ooo nanti kita periksa lagi untuk memastikannya ya, Buk. Ini nampaknya pasangan muda. Sudah berapa lama menikah, Buk? Apa kemaren langsung dapat?"
Mirna serba salah mau jawab apa. Bukan karena dia tidak tahu, cuma belum terbiasa.
"Kami menikah pada awal tahun kemaren, Dok." Jawab Mumu.
Langsung dapat nampaknya, Buk kalau dilihat dari HPHTnya."
"Oh ya, memang HPHTnya kapan, Pak?" Heran dr. Fitrian Afriani. Karena biasanya jarang suami yang paham dan peduli tentang HPHT kecuali mereka adalah orang kesehatan.
dr. Fitrian Afriani sudah melihat identitas pemuda ini, bagroundnya bukan orang kesehatan.
"Tanggal 10 bulan dua, Dok."
"Benar, Buk?" Pandangan mata buk Dokter mengarah ke wajah Mirna.
"Iya, Dok." Mirna mengangguk.
"Kalau begitu mari kita periksa dulu, Buk." dr. Bangkit menuju alat USG. "Ibuk berbaring di sini."
"Angkat bajunya sebatas perut, Buk." Perintahnya.
Wajah Mirna memerah karena malu. Bukan malu sama dr. Fitrian Afriani tapi malu dilihat Mumu.
"Istri saya agak pemalu, Dok." Kata Mumu sambil memalingkan wajahnya.
"Ooo." Buk Dokter tersenyum heran. Lalu dia menyemprotkan sedikit jeli di perut Mirna dan menggerakan alat USGnya.
"Ternyata benar, Pak, Buk usia kandungannya sudah masuk empat bulan. Ini janinnya udah mulai bergerak ya. Posisinya bagus." Ujar buk Dokter sambil menunjuk layar.
Tak lama kemudian pemeriksaan selesai. Hasilnya diprint langsung.
"Ibuk termasuk Resti ya, Buk karena terlalu muda sudah hamil. Jadi saya sarankan untuk menjaga kesehatan, makan makanan yang bergizi, dan jangan lupa untuk mengkonsumsi tablet tambah darah sama asam folatnya ya, Buk."
Karena Mirna tak mau ke mana-mana lagi, begitu selesai pemeriksaan mereka berdua langsung pulang. Di ruang tunggu tak kelihatan pasangan laki-laki yang sombong tadi. Mungkin mereka tak jadi periksa atau ada alasan lain.
Kembali mereka sama-sama diam sepanjang perjalanan. Tapi kali ini dipikiran Mirna penuh pertanyaan terhadap sosok pemuda dihadapannya ini.
Ternyata banyak hal-hal yang menarik sekaligus mengejutkan yang datang dari sosok Mumu.
Misalnya, sikap Mumu yang lebih dewasa dibanding umurnya. Atau sikapnya yang cepat menyesuaikan keadaan dalam menyelamatkan martabat Mirna dalam pandangan orang-orang. Dan masih banyak lagi.
Sebenarnya ada yang lebih berarti menurut Mirna yaitu Mirna merasa nyaman ketika berada di samping Mumu.
Tapi Mirna menolak mengakui dan berusaha menekan rasa itu.
Mereka tiba dan disambut oleh buk Fatimah di depan teras rumah.
"Buk, Kak Mirna saya serahkan kembali sama Ibuk. Tadi dokter sudah banyak menyampaikan pesan tinggal nanti ibuk kontrol saja mana tahu kak Mirna lupa.
Walau pun secara administrasi kami adalah suami istri tapi pada hakekatnya kami tidak ada hubungan apa-apa. Jadi Ibuk kapan-kapan bisa merubah administrasi tersebut tanpa harus memberi tahu saya terlebih dahulu.
" Saya mohon pamit, terima kasih atas bantuannya selama ini dan mohon maaf jika sikap saya selama ini tidak berkenan di hati Ibuk dan keluarga."
"Eh eh tunggu dulu, Nak! Kamu ini mau ke mana? Seperti mau pergi jauh saja."
"Saya mau cari kerja, Buk. Entah masih tetap di Selatpanjang atau malah ke daerah lain itu tergantung rezeki nanti, Buk.
" Kamu nanti tinggal di mana?"
"Itu pun belum tahu, Buk."
"Kalau begitu kamu tinggal di sini saja. Nanti Ibuk carikan kerja di kantor ibuk saja. Bagaimana, Nak Mumu?" Kata buk Fatimah penuh harap.
Dihati kecil Mirna pun seperti itu tapi dia malu untuk mengungkapkannya.
"Terima kasih atas perhatian dan tawarannya, Buk. Tapi sekali lagi saya mohon maaf, saya tak bisa menerimanya."
Mumu ingin tapi tak bisa.
Pak Wahab sudah mewanti-wanti dirinya supaya tidak dekat lagi dengan keluarganya. Akibat Mumu menolak permintaan pak Wahab untuk memata-matai istrinya sendiri.
Setelah tawaran dan bujukannya ditolak, dengan sangat terpaksa akhirnya buk Fatimah melepaskan kepergian Mumu.
Pada hal pada awal berjumpa, buk Fatimah tidak menganggap Mumu sama sekali. Tapi seiring berjalannya waktu, dia menjadi sayang dan berharap Mumu benar-benar menjadi menantunya.
"Anak yang baik." Desisnya. "Sayang sekali kita tidak bisa memujuknya untuk tinggal di sini. Mama rasa ini pasti karena ulah papa mu.
" Kan tak mungkin orang yang sangat memerlukan pekerjaan tapi tiba-tiba mengundurkan diri tanpa sebab yang jelas. Pasti ada sesuatu yang tidak ingin dia sampaikan kepada kita."
Buk Fatimah dan Mirna masih merenung di teras rumahnya. Pada saat ini Mumu sudah sampai di jalan Kelapa Gading. Ia mendengar suara motor yang melaju kencang dari arah belakang. Perasaanya tak enak. Cepat-cepat Mumu memijak bahu jalan.
Walaupun gerakannya sudah cepat tak ayal bahunya masih terserempet stang motor sehingga Mumu terjatuh hampir masuk got.
Raminten