Ruby Alexandra harus bisa menerima kenyataan pahit saat diceraikan oleh Sean Fernandez, karna fitnah.
Pergi dengan membawa sejuta luka dan air mata, menjadikan seorang Ruby wanita tegar sekaligus single Mom hebat untuk putri kecilnya, Celia.
Akankah semua jalan berliku dan derai air mata yang ia rasa dapat tergantikan oleh secercah bahagia? Dan mampukah Ruby memaafkan Sean, saat waktu berhasil menyibak takdir yang selama ini sengaja ditutup rapat?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan Setelah Berpisah
Keheningan mengiringi perjalanan Ruby di dalam sebuah taksi yang melaju cukup kecang. Lewat jendela kaca, ia hanya melihat bangunan beserta pepohonan yang bergerak menjauh. Tubuhnya terasa lelah dan pegal setelah beberapa jam menempuh perjalanan yang tak kunjung sampai.
Dalam duduknya gadis itu termenung. Berfikir akan jalan hidup yang ia ambil selepas kepergiaannya ini. Tentu setelah dirinya akan berjuang sendiri, mencari nafkah sendiri, menabung untuk biaya persalina janin dalam perutnya kelak.
Kehangatan menelusup relung hati mana kala gadis bermata sayu itu mengusap perut bulatnya yang masih belum menunjukan pergerakan. Sekian tahun hidup dalam kesedirian, Isabel tak mampu menutupi rasa syukurnya saat sang pencipta menitipkan janin yang menjadi buah hatinya. Kini ia tak sendiri. Dia akan punya teman, untuk berbagi rasa dan kasih sayang.
"Nona, kita sudah sampai. Sesuai dengan alamat tujuan."
Ruby terkesiap saat sopir taksi memberi informasi. Tak terasa, taksi bahkan sudah terhenti di halaman sebuah rumah berukuran mungil bercat biru.
"Ya, em kita sudah sampai ya?".
"Benar, Nona. Sebentar, saya akan mengeluarkan barang-barang di bagasi lebih dulu." Pria berusia empat puluhan itu keluar dari taksi dan membuka bagasi, mengeluarkan barang-barang Ruby.
Saat Ruby menejakkan kaki ke halaman rumah itu, dua orang perempuan tergopoh. Setengah berlari menghampiri.
"Nak Ruby?" Perempuan paruh yang dengan daster bermotif batik yang membalut tubuh itu memangil kemudian mendekat pada Ruby. Sementara di belakangnya berdiri seorang gadis cantik yang mungkin saja adalah putrinya.
Ruby menatap pada dua perempuan itu saat dirinya masih berdiri di sisi taksi, menunggu sang sopir menurunkan barang di dalam bagasi.
"Bibi Fatimah?" Ruby hanya menebak, ia bahkan sudah lupa pada wajah perempuan yang merupakan kerabat dekat dari Ibu asuhnya, Rahayu.
"Iya, Nak. Ini Bibi, Bibi Fatimah." Keduanya pun berpelukan. Melepas rasa rindu setelah sekian lama tak bertemu.
"Ayo, masuk. Kiran, ayo bawa barang Kak Ruby masuk ke dalam," titah Fatimah pada Kiran, putrinya.
"Siip," jawab Kiran seraya mengacungkan kedua jari jempol.
Fatimah membimbing langkah Ruby untuk maduk ke dalam rumah sementara Kinan mengekor di belakang dengan membawa tas berisi pakaian milik Ruby.
💗💗💗💗💗
Rumah yang begitu nyaman. Hangat merasuk tubuh saat Ruby memasuki rumah berukuran mungil yang menjadi tempat tinggal Fatimah bersama Kiran. Fatimah membawa tubuh perempuan hamil itu untuk duduk. Sejenak beristirahat untuk melepas rasa lelah.
Di sudut lain Kiran tampak sibuk memasukkan koper dan tas Ruby ke dalam sebuah kamar. Wajah gadis itu terlihat senang. Ia sedikitpun tak merasa marah atau pun menolak saat Fatimah memberinya perintah ini dan itu untuk menyambut penghuni baru di kediaman mereka.
"Bagaimana kabarmu, Nak?" Rahayu bertanya dengan suara lembut. Perempuan paruh baya itu menilik penampilan Ruby lewat pandangan. Rahayu sempat mengatakan jika Ruby datang dalam keadaan hamil selepas berpisah dari suaminya.
Ya Allah.
Hati Fatimah berdesir, perih. Sebagai wanita yang pernah ditinggalkan sang suami saat dalam keadaan mengandung, tentu Fatimah bisa merasakan apa yang dirasakan Ruby saat. Sejatinya seorang perempuan pada umumnya yang butuh sandaran dan tempat bermanja ketika mengandung si buah hati, kini justru harus terpaksa berjuang sendiri. Menafkahi diri sendiri sekaligus menjaga janin yang dikandung tetap sehat dan selamat hingga dilahirkan.
Sepasang mata Fatimah berkabut. Kehidupan yang Ruby jalani kini sungguh tak berbeda jauh dengan yang dialaminya dulu. Namun, satu keberuntungan banginya adalah masih memiliki sanak saudara yang bisa membantunya. Sedangkan Ruby?.
"Kak, Ruby. Ayo diminum, Kiran sudah buatkan teh hangat khusus untuk Kakak." Kiran sudah berdiri dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat yang diberikan kepada Ruby dan Ibunya.
"Terimakasih banyak, Karin. Maaf, sudah merepotkan."
"Tidak, Kak. Kami tidak merasa direpotkan. Justru sebaliknya, kami sangat senang dengan kehadiran Kakak di antara kami."
Ucapan Kiran sontak membuat Ruby haru. Tak mengira Ia dapat diterima dan diperlakukan dengan baik secepat ini. Gadis itu bersyukur, mungkin ini cara tuhan untuk meringankan penderitannya. Ia usap perut bulatnya. Bibir perempuan itu tersenyum seraya menatap bagian perut, di mana janin mungilnya sedang bertumbuh.
💗💗💗💗💗
Seorang pria tampak sibuk megoreskan pena di atas lembaran kertas di ruang kerjanya saat seorang perempuan paruh baya berpenampilan anggun masuk dan menjstuhkan bobot tubuh disebuah kursi yang letaknya tepat berhadapan dengan sang pria.
"Sean," panggil sang Ibu pada putranya.
"Hem." Pria yang dipanggil menjawab sekenanya. Ia juga tak mengalihkan pandangan dari pekerjaannya.
"Lihatlah." Bibir Margaret tersenyum. Ia mengambil beberapa lembar foto dari dalam tas dan mejajarkannya di meja, tepat di pandangan sang putra. "Mereka putri dari geng sosialita Ibu. Cantik, berpendidikan dan yang pasti bisa menjaga harkat dan martabat suami." Margaret tersenyum tipis. Ia begitu bangga menunjukan beberapa gadis putri teman-temannya untuk dijodohkan dengan putranya.
Sean menghela nafas dalam. Ia hanya melirik sekilas pada lembaran foto sebelum mengalihkan pandangannya pada sang Ibu.
"Ibu, berhentilah untuk menjodohkanku dengan gadis mana pun. Aku belum siap. Aku masih butuh waktu untuk sendiri."
Margareth tersenyum sinis dengan sepasang alis yang bertaut. Rupanya Sean masih masih enggan untuk memulai percintaan baru selepas berpisah dari Ruby. Dasar bodoh, guman Margareth dalam hati.
"Jangan katakan jika kau masih mencintai Ruby, hingga selalu menolak gadis-gadis yang ibu sodorkan. Kau tentu ingat, ini bukan sekali dua kali Ibu melakukan hal demikian, tapi apa jawabanmu? Kau selalu menolak gadis-gadis yang Ibu tawarkan tanpa lebih dulu ingin menemuinya." Margareth menarik nafas berulang. Ia mulai tersulut emosi. Entah mengapa saat mendengar kata penolakan dari bibir sang putra begitu ia merencanakan perjodohan, Margareth benar-benar murka dan tak tahan untuk membentak sang putra yang ia lahirka 27 tahun silam.
"Maaf, Ibu. Bukan maksudku untuk menolak, jujur aku masih butuh waktu untuk menyembuhkan luka lamaku hingga sembuh seperti semula."
Margareth berdecak. Tak habos fikir dengan sang putra yang terkesan berlebihan.
"Setidaknya temuilah gadis-gadis itu lebih dulu, Kenalilah mereka dan setelah kau mengenal, pasti ada salah satu dari mereka yang bisa menyembuhkan lukamu dari gadis rendahan itu. Ingat Sean, lukamu tidak bisa sembuh dengan sendirinya tanpa ada obat yang bisa menyembuhkan. Dan cara yang ibu ambil adalah obat paling ampuh untuk bisa menyembuhkan lukamu. Kau faham?".
Sean terdiam. Tak membenarkan juga tak ingin meyalahkan ucapan sang Ibu.
"Kali ini Ibu mohon, fikirkan kembali kata-kata ibu. Jika dalam satu bulan kedepan kau belum bisa memutuskan, maka Ibu sendiri yang akan turun tangan. Jika kau tak ingin memilih, maka biarkan Ibu yang memilih seorang gadis untuk kau nikahi. Ibu harap kau mengerti Sean, usia Ibu kian bertambah dan Ibu merindukan kehadiran cucu di dalam keluarga kita. Tolong, fikirkan kembali ucapan Ibu, setidaknya jangan hanya memikirkan dirimu dan tentangmu, fikirkan juga tentang diriku." Margareth memungut lembaran foto gadis yang terserak di meja. Ia pun bangkit dan meninggalkan sang putra yang tengah bergelut dalam kegamangan.
Tbc.
la ini malahan JD bencana gr2 percaya Sama mamaknya