Leo Evano mencintai Bianca Anulika di hari pertama dia menatapnya. Namun, Bianca memiliki pria yang dia cintai bernama Gavin.
Padahal Gavin tidak mencintai Bianca sebaik yang dia harapkan, tapi Bianca bersikeras ingin setia terhadapnya.
“Sampai dia membuatmu menangis, aku bersumpah aku akan merebutmu darinya. Saat itu, aku tidak akan takut kau benci. Aku akan melakukan apa pun untuk menyeretmu keluar dari rumahnya.” Itu adalah apa yang Leo tanamkan dalam hati dan hari itu pun datang. Leo memantapkan diri, membuktikan dia bisa memperlakukan Bianca lebih dari pria yang dia cintai. Berharap bahwa Bianca akan segera mencintainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kravei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Untuk Satu Perempuan
FLASHBACK
Pagi itu, pukul enam pagi, Leo sibuk membolak balik beberapa koran dan lembaran brosur. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dan semakin fokus dengan apa yang dia lakukan.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Suara itu milik Devi yang baru saja turun dari lantai atas. Dia berniat ke dapur tapi Leo lebih menarik perhatian, jadi Devi bergabung untuk melihat apa yang sedang dia lihat.
Leo menurunkan koran dari wajahnya agar bisa menatap sang ibu, memberitahu, “semalam kami pergi ke pantai, Mom. Aku, Ian, Joshua, Gavin dan Bianca. Aku sangat syok Bianca pergi bersama Gavin menggunakan motor. Padahal perjalanannya lumayan jauh dan panas.”
“Jadi?” Devi masih belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.
“Aku sedang berpikir untuk memberi kado mobil agar Bianca tidak kepanasan lagi. Bianca tidak bisa menyetir, apa sebaiknya aku berikan ke Gavin karena mereka selalu bersama? Aku binggung bagaimana caranya. Mereka akan menolak jika aku berikan begitu saja.”
Davi entah herus tertawa atau menimpuk kepala anaknya menggunakan batu. Bagaimana bisa dia berbicara begitu santai soal memberi kado mobil hanya karena satu orang perempuan kepanasan?
Leo mengecek satu per satu brosur yang dia punggut di jalanan dan bergumam, “bagaimana kalau aku membuatnya terlihat seolah Gavin memenangkan lotre?”
Iya, itu idenya. Setelah beberapa hari merencanakan bagaimana dan gimana, mobil yang Gavin kira keberuntungan dari dewa pun tiba di depan rumahnya.
…
Satu bulan kemudian, di tempat yang sama. Lagi-lagi Devi menemukan Leo sibuk di ruang tamu dengan berbagai macam buku dan kertas.
“Sedang apa dirimu?” tanyanya yang kemudian duduk di sofa di depan Leo.
Leo terlihat cemberut, dia menjelaskan tanpa mengalihkan pandangan dari kertas-kertas di atas meja. “Mom, Bianca bilang dia seolah tidak melihat ada harapan bersama Gavin. Kau tahu Gavin bekerja di kounter. Gajinya tidak banyak dan dia bahkan tidak bisa membelikan Bianca kado. Bianca berpikir mereka tidak akan pernah menikah jika terus begitu.”
“Jadi?”
“Jadi, aku perlu membantunya dengan memberi Gavin pekerjaan yang lebih baik agar Bianca tidak sedih lagi …, tapi Gavin menolak ketika aku tawarkan untuk bekerja di perusahaan kita. Dia tidak suka dibantu karena berpikir itu memalukan.”
Devi menghela nafas panjang sebelum memberitahu, “tawarkan saja cabang perusahaan kita yang diurus pamanmu.“
“Benar!“ Leo terkesiap. “Dia tidak akan tahu cabang itu juga milik kita. Aku harus memberitahu Bianca. Hihi!”
Dua bulan kemudian, lagi-lagi di tempat yang sama.
Devi bahkan tidak lagi tertarik, meski begitu tetap mendekat. “Apa lagi kali ini?” Dia melirik, menyadari brosur yang sedang Leo lihat adalah perumahan.
“Semenjak bekerja di perusahaan paman, Bianca dan Gavin menjadi jarang bertemu karena lokasinya cukup jauh. Aku tidak sampai hati melihat Bianca sedih, jadi Gavin perlu pindah ke rumah yang lebih dekat. Tempat itu juga harus nyaman dan bagus, jadi Bianca akan merasa nyaman juga.”
Devi menepuk jidat. “Bianca lagi, Bianca lagi. Kau tidak lelah menghabiskan waktu mengurus pacar orang?”
“Hush!” Ekpresi wajah Leo berubah cemberut. “Yang penting adalah Bianca bahagia.” Leo melanjutkan, “bagaimana rumah yang ini?” Leo memamerkan salah satu brosur dari atas meja. “Dua tingkat, lima kamar, tiga kamar mandi. Kawasannya juga elit, bersih dan aman.”
Devi menghela nafas sebelum bisa merespon, “Leo. Kalau kau ingin mereka tinggal di kawasan seperti itu, kau juga harus memastikan mereka sanggup membayar. Rumah petak sudah cukup selama mereka tidak terbebani oleh biaya yang akan datang.”
“Kau benar, Mom.” Leo memegang dagu dan bergumam, “sekarang bagaimana cara aku memberikannya?” Leo berpikir sangat keras untuk itu. “Kalau aku menggunakan ide sebelumnya, apa akan mencurigakan?”
“Mendapat mobil 500jt tanpa mengeluarkan sepeser uang pun sudah aneh!” Devi menjerit di dalam hati. “Beli rumah lamanya!” Devi menjentik jari ketika ide itu melintasi benaknya. “Sewa orang untuk berpura-pura membeli rumah lama Gavin dan tawarkan rumah baru itu sebagai ganti. Karena tidak merugikan, mustahil Gavin menolak.”
“Mom!” Mata Leo seketika berbinar, itu adalah apa yang suka Devi lihat dengan mengabaikan kenyataan putranya menghabiskan terlalu banyak uang untuk orang lain. “Kau adalah yang terbaik!”
Begitulah ketika Gavin terheran-heran mempertanyakan mengapa dewa keberuntungan seolah berpindah ke dalam dirinya? Gavin bukan tipikal yang banyak berpikir, jadi dia percaya dengan semua yang dia dengar dan menikmati apa yang dia dapatkan.
Dan kemudian …
Devi keluar dari dapur dan memasuki ruang tamu. “Kenapa?” Devi penasaran karena kali ini Leo tidak begitu bersemangat seperti yang sudah-sudah.
“Aku tidak mau mereka menikah,” begitu katanya, Devi menoleh, menyadari meja kaca sudah dipenuhi oleh berbagai brosur dan kartu nama dari berbagai butik terkenal. “Aku tidak mau Bianca menikahinya.”
Devi menghela nafas. Dia duduk di samping Leo dan menepuk punggungnya guna menghibur. “Tidakkah kau bahagia melihat Bianca akhirnya menikahi pria yang dia cintai? Aku pikir kau ingin melihatnya bahagia.”
“Aku bahagia, tapi Gavin tidak terlihat seperti pilihan yang pas.” Setelah semua yang terjadi. Setelah semua yang Gavin dapatkan dan semua perubahan atas hidupnya, mengapa Bianca tidak bahagia seperti yang dirinya harapkan?
Gavin tidak pernah memberi kado atau mengajak Bianca kencan di tempat bagus. Bianca juga masih sering menangis dan mengeluh, rasanya seperti ada yang salah tapi Leo tidak tahu apa.
“Tidak!” Leo menguatkan diri, ekpresi wajahnya berubah menjadi lebih tegar. “Selama Bianca mendapatkan apa yang dia mau, aku bahagia untuknya. Kalau dia ingin menikahi Gavin, maka aku harus mendoakannya.”
Itu yang Leo pikirkan sebelum dia menangis di dalam kamarnya semalaman. Setelah itu Leo membuat rencana di mana Bianca akan menikah dengan gaun terbaik dan di tempat terbaik di dalam kota. Bianca juga akan mendapat after party di tepi pantai seperti yang selalu dia bayangkan dan selama dua hari itu, Bianca akan tersenyum sampai giginya kering.
Namun, tebak apa? Gavin menolak after party dan membatalkan semua yang sudah Leo siapkan dengan baik di menit-menit terakhir! Akhirnya mereka menikah kecil-kecilan di gereja dengan hanya mengundang keluarga dan orang terdekat. Bianca menggenakan gaun putih yang bahkan tidak lagi putih atau pun indah.
Hari itu di altar, Leo menyadari Bianca tidak tulus tersenyum, dia hanya tidak ingin terlihat sedih atau marah dan mendatangkan omongan yang tidak dibutuhkan. Saat itu, Leo bergumam, “Gavin sialan.”
Aku berusaha sangat keras membuatnya percaya gaun dan tepi pantai bisa dibooking dengan kartu diskon di mana Gavin bahkan tidak harus membayar lebih dari sepuluh juta! Tapi semuanya malah menjadi seperti ini, jauh sangat jauh berbeda dari apa yang telah Leo bayangkan.
Sepulang dari gereja, Leo membanting jas, kemudian melempar dasi dan tertunduk lesu di meja ruang tamu. “Tujuh ratus jutaku terbang seperti kupu-kupu.“ Karena semua yang telah dipesan tidak bisa dibatalkan. Semuanya termaksud tukang dekor, catering, sewa gaun dan MUA YANG BIANCA MAU. Semuanya!
Ini bahkan bukan soal uang, tapi bagaimana bisa Gavin tiba-tiba berubah pikiran hanya karena dia merasa tidak sanggup berdiri di depan orang-orang ramai?! Dia membuat Bianca tidak tersenyum bahagia di hari pernikahannya, itu adalah yang terburuk bagi Leo. “Bagaimana bisa aku merelakanmu kalau pria yang kau nikahi seperti itu?”
FLASHBACK END